Bab 10. Giliran Salimah

574 70 4
                                    

Harapan Dila setelah direnggut keperawanannya akan diperlakukan romantis ternyata tidak terkabul.

Semalam, usai melayani Bagas yang hasratnya seolah tak pernah padam, Dila ditinggal pergi begitu saja. Lalu pagi ini dia menemukan Bagas sedang berbicara dan bersenda gurau di teras vila bersama Salimah. Di sela-sela senda gurau itu, Bagas sesekali mengecup tangan Salimah. Kemudian mereka bertatap mesra sebelum menyatukan bibir.

Dila melihat semua pemandangan itu dari ambang pintu ruang tamu. Bahkan kehadirannya tidak mereka sadari. Dua sejoli itu bagai dimabuk asmara, lupa akan keberadaan orang lain di vila ini. Wajar saja, mereka memang suami istri. Sedangkan tujuannya berada di sini hanya sebagai pemberi seorang anak saja.

Dila memutuskan untuk kembali ke kamar. Apa haknya mengganggu suasana romantis mereka?

Duduk di kursi dekat jendela, Dila mengusap perut. Semalaman melayani Bagas, lalu pagi ini sudah mandi, memakai baju terusan cantik selutut dan bersolek tipis, kini dia malah berakhir duduk sendirian di kamar dengan perut kelaparan. Meminta sarapan pun tidak berani, mengingat statusnya hanya sebagai gundik saja di vila ini.

Timbul tanya dalam benak. Apa hanya dia saja yang merasa kelaparan? Apakah Bagas dan istrinya yang cantik itu tidak merasa lapar juga? Entah dengan Salimah. Namun semalaman Bagas merajai tubuhnya dengan sangat jantan. Tidakkah pria itu butuh makan untuk mengisi energi lagi?

Dila menghela napas panjang lalu beralih duduk pada pinggiran kasur untuk mengambil ponsel di atas nakas. Batang sinyal di pojok kanan atas berganti silang. Tidak ada jaringan sama sekali. Keinginan menelepon neneknya di kampung urung seketika. Dia tidak tahu harus mengalihkan rasa laparnya dengan apa lagi.

"Dila ..."

Sapaan itu membuat wajah Dila mendongak. Bagas sedang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Ya, Pak?"

"Kita sarapan sekarang." Ajakan itu berasal dari wajah tampan dan datar tidak sehangat kemarin malam saat mereka berbagi peluh dan desah.

Kendati begitu, Dila tetap menyambutnya senang. Dia segera bangkit dan berjalan ke ruang makan di belakang tuan majikan.

"Duduk sini, Cah Ayu." Salimah yang sudah berada di salah satu kursi mengajak Dila duduk di sebelahnya.

Dila mengangguk lalu menggeret kursi di sebelah Salimah. Sementara Bagas duduk di hadapan mereka.

Sejumlah hidangan masakan khas Jawa yang mewah dalam jumlah banyak langsung menjadi pusat perhatian Dila. Air liurnya hampir menetes hanya dengan melihat dan mencium aromanya saja. Saat memasukkan sesendok nasi lauk kuah sayur bening, secuil ikan tongkol, dan sedikit sambal tomat, Dila mengunyahnya dengan penuh rasa syukur. Hampir saja mulutnya memuji Asma Allah, namun segera sadar untuk mengurungkannya. Salimah tentu tidak akan suka nama Tuhannya disebut. Wanita itu akan murka dan acara sarapan pagi ini akan bubar begitu saja. Padahal perutnya sudah sangat kelaparan minta diisi.

"Enak, Nduk?"

Pertanyaan Salimah mengganggu kegiatan mengunyah. Namun demi kesopanan Dila tetap mengangguk. Mulut penuhnya mengucap, "Enak, Ndroro Ayu."

Wanita bergaun dan kerudung satin tersenyum senang. Keanggunan tidak pernah luput dari gerak-geriknya. "Makan yang banyak. Kamu butuh banyak energi untuk melayani suamiku sampai kamu hamil."

Diberitahu seperti itu, Dila hampir tersedak. Dia segera menepuk dada agar nasi yang tersangkut di kerongkongan segera turun. Melihat itu, Salimah khawatir. "Hati-hati. Ndak usah buru-buru. Semua makanan ini untukmu. Aku dan Bagas hanya makan secukupnya saja."

Mendengar ucapan Salimah, Dila sontak mengibaskan tangan. "Bukan begitu, Ndoro Ayu." Dia memaksa berbicara di tengah kunyahan makanan. "Monggo didahar (silakan dimakan) sesuka Ndoro Ayu dan Pak Bagas. Semua ini terlalu banyak untuk saya makan sendiri. Uhuk!" Kali ini dia tersedak sungguhan.

Tumbal CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang