Bab 8. Ritual Taruni Ugra Timira

539 86 12
                                    

Aneh.

Semua yang ada di vila ini terasa sangat aneh dan janggal. Salah satunya adalah perkara keyakinan atau kepercayaan dalam beragama.

Jika mereka, sepasang suami istri kaya raya ini, mengaku sebagai penganut kepercayaan entah apa--Dila juga tidak tahu--mengapa Ndoro Ayu Salimah berjilbab? Bukankah jilbab merupakan identitas bagi seorang Muslimah terutama di negara ini?

"Ada apa, Nduk? Sejak tadi kamu memandangku tak berkedip." Salimah berbicara tanpa menoleh pada Dila. Tatapannya masih tertuju pada jarik batik yang sedang dilebarkan oleh Pak Kirno. Dari mana dia tahu Dila memandangnya tanpa kedip?

"Ngapunten, Ndoro Ayu." Dila menelan ludahnya kasar. "Boleh saya tanya lagi?"

Salimah memberi isyarat pada Pak Kirno untuk melipat jarik batik itu, lalu menoleh pada gadis perawan di sebelahnya. "Arep takon opo, Cah Ayu?"

Dila membenahi duduknya secara gusar seperti bersiap menerima bentakan lagi. "A--anu ... itu, Ndoro. Kalau bukan beragama Islam, kenapa Ndoro Ayu pakai jilbab?"

Salimah melebarkan sudut-sudut bibirnya. Senyumannya berubah menjadi seringaian. Hidung dan dagunya yang lancip membuat wajah wanita itu menjadi menakutkan. "Aku memang bukan orang Islam. Tapi ndak pa-pa to pakai jilbab?"

Dila mengangguk lalu lekas menggeleng untuk meralat jawabannya. "Bukankah jilbab itu untuk identitas seorang Muslimah?"

"Oh, ya?" Salimah memegangi dadanya. Wanita itu menatap Dila dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Terus, kenapa kamu kok ndak berjilbab, Nduk? Kata suamiku, kamu orang Islam."

Ditanyai begitu Dila menunduk, merasa kalah telak.

Salimah mendengkus, mengibaskan tangannya yang ditumbuhi kuku-kuku panjang terawat dan dicat merah. "Jangan merasa bersalah. Aku tidak sedang menyalahkanmu. Jilbab itu cuma aksesoris bagiku, bukan identitas. Ngerti, Cah Ayu?"

Dila mengangguk patuh. "Nggih, Ndoro Ayu."

Salimah kembali mengawasi Bagas dan Pak Kirno yang sedang menyalakan dupa di dalam tungku berukiran klasik. Asap putih kurus panjang membumbung ke udara, menguarkan wangi mistik yang mengusik. Dila kembali bergidik.

"Bawa sini," perintah Salimah pada kedua pria itu. "Sekalian sama jariknya."

Bagas dan Pak Kirno menyerahkan tungku dan jarik ke hadapan Salimah dengan tubuh membungkuk selayaknya jongos kepada majikan.

"Letakkan di meja." Salimah kembali memerintah, menegakkan tubuh, menyejajarkan kedua telapak tangan di hadapan tungku, lalu mulai komat-kamit dalam bahasa asing yang tidak Dila mengerti.

Wanita beraura mistis itu mengangkat tungku untuk diputar-putar ke atas jarik. Setelah meletakkan tungku di meja, Salimah menyerahkan jarik pada Dila. "Ganti bajumu dengan ini."

Dila menerima jarik kebingungan. "Sekarang, Ndoro Ayu?"

Salimah mengangguk. "Kita lakukan ritualnya sekarang juga. Jangan menunggu terlalu lama."

"T--tapi, di luar masih hujan petir." Dila menunjuk pintu ganda yang sedang terbuka lebar menampakkan derasnya hujan diiringi kilatan petir.

"Ndak ada tapi-tapian. Turuti saja perintahku." Telunjuk Salimah teracung. Wajah ayu nan mengerikannya mendekat. "Cah Ayu harus tunduk dan patuh pada titah Ndoro Ayu, mengerti?"

Dikendalikan rasa takut, Dila reflek mengangguk. "Ng--nggih, Ndoro Ayu."

Salimah tersenyum menang, kembali menegakkan punggung. "Den Bagus, tolong antarkan Cah Ayu ke kamarnya, sekalian dibantu pakai jarik biar ndak keliru."

Tumbal CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang