Bab 6. Junjungan Bagas

506 78 30
                                    

Srek ... srek ... srek ....

Jam digital di ponsel menunjukkan pukul 03:01 saat Dila mendengar suara orang menyapu halaman di dekat jendela kamarnya.

Berusaha mengumpulkan kesadaran, Dila menggeliat lalu menyibak selimut tebal yang melindungi tubuhnya dari embusan pendingin udara. Sebenarnya dia sudah menyetel suhu AC di angka 28 derajat selsius. Tapi dikarenakan lokasi yang sedang dia huni sekarang berada di lereng gunung, suhu AC terpanas pun masih terasa beku.

Suara orang menyapu itu masih terdengar jelas sekali. Dila kembali menuntaskan niatnya untuk membuka jendela. Dia ingin melihat seperti apa wujud pekerja vila yang belum sempat ditemui sejak kemarin.

Namun ternyata, Dila tidak melihat seorangpun. Halaman samping vila yang berupa taman dan jalan setapak menuju candi megah nan mengerikan itu kosong. Tidak terlihat seorang pekerja pun sedang menyapu. Anehnya, suara sapuan itu masih saja terdengar sangat jelas, seolah sedang berada di depan matanya.

"Dari mana suara itu berasal?" Kebingunan, Dila menoleh kiri kanan, tapi tak menemukan sosok si penyapu. Sejauh matanya memandang, yang terlihat hanyalah taman dengan jarak pandang terbatas karena minim penerangan. Kabut putih pun masih bergulung tebal.

"Eh, apa itu?" Mata Dila menyipit saat menangkap siluet manusia.

Di bawah pohon angsana yang berdaun lebat dan berbatang kokoh setinggi tiga meter, sosok itu berdiri membelakangi. Sepasang kaki bercelana jin biru dan punggung yang dibalut kemeja kotak-kotak tampak sibuk menyibak halaman taman dari daun-daun kering. Namun anehnya, siluet itu berhenti sampai di situ.

Merasa ada yang ganjil, Dila bergegas mengambil ponsel dari nakas untuk menyalakan senter agar dapat melihat lebih jelas.

Benar saja. Saat senter ponselnya menyorot, sosok itu tidak punya kepala!

Dila memekik histeris, membanting jendela dan segera menguncinya kembali.

Terduduk di lantai dengan debaran jantung tak beraturan, Dila menggigil ketakutan. "Apa itu tadi? Ya, Allah. Apa itu tadi?"

Dia memeluk dirinya sendiri agar segera tenang. Butuh beberapa detik sampai tubuhnya berhenti gemetaran. Setelah yakin kakinya sudah kuat, Dila segera berlari keluar kamar untuk mengetuk kamar Bagas yang terletak di utara ruang tamu, berseberangan dengan kamarnya.

"Pak!" Pintu diketuk Dila secara panik. "Pak Bagas, tolong buka pintunya!"

Berulang kali pintu Dila ketuk, namun tak jua dibukakan. "Tolong buka pintunya, Pak! Saya takut!" Panik, dia kembali berteriak.

Sst ...
Suara desutan terdengar.

Dila menoleh, kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh ruang tamu.

Kosong.

Tidak ada siapa-siapa. Pengharum ruangan otomatis yang mungkin diletakkan entah di bagian mana dinding ruang tamu ini menjadi pikiran positifnya.

"Pak Bagas, tolong buka pintu ..." Dila kembali memohon.

Sst ... ojo rame!

Mendengar teguran yang entah dari mana, Dila kembali menoleh untuk mencari asal suara. Tidak ada siapa-siapa. Ruang tamu masih tetap kosong. Namun entah mengapa, Dila merasa hawa ruangan ini penuh sesak seperti saat sedang makan malam kemarin.

"Pak! Buka pintunya! Saya takut!" Dila semakin panik mengetuk pintu.

Dikandani ojo rame! Menengo!

Suara itu menggelegar murka, namun sosoknya tak jua terlihat.

Dila menjerit, terduduk, menutup telinga dan memejamkan matanya rapat-rapat.

Tumbal CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang