SATU

26.7K 2.9K 195
                                    

Huah terharuuuu 🥹🫶🏻 baru juga 3 hari di wattpad sudah rating 3 aja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Huah terharuuuu 🥹🫶🏻 baru juga 3 hari di wattpad sudah rating 3 aja. Alhamdulillah ✨🧡

Btw terima kasih sudah meneror Author gaes

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Btw terima kasih sudah meneror Author gaes. Padahal aku nunggu bab baru dari Agamnya😌. Tapi makasih banget loh antusias kalian😭🫶🏻🫶🏻
Terus dukung kami yaaa, dan ingat versi Wattpad dan Novel berbeda. Kalau di bab ini kalian akan mendapatkan sisi-sisi tegang dari Agam bercerita, tapi kalau di Novel, ringan dan renyah bangettt. Dan lebih rapih, sama dialeg Agam kelihatan buangett ciri khasnya wkwk. NABUNG DARI SEKARANG YAW!!!😤😤💛
.
.
.

"Tak ada masa kecil yang tak bahagia. Setiap anak tumbuh dengan kasih sayang, selebihnya terbentur dan terbentuk oleh lingkungan dengan keadaan yang berbeda-beda."

Jika setiap anak terlahir dengan sempurna di muka bumi, maka sudah tentu Allah menghendaki segala sesuatu yang terjadi pada hambanya. Termasuk aku, Agam Fachrul. Seorang anak yang terlahir prematur; hanya tujuh bulan di kandungan Mama. Oleh karena lahir tidak tepat waktu dengan kondisi ekonomi serba terbatas, aku merasa kelahiranku menjadi beban. Bahkan biaya persalinanku saat itu mahal dan sudah membuat Ayah harus berutang ke kerabatnya.

Lahir empat mei di Bandung pada tahun milenium, tidak membuatku lantas seperti anak milenial pada umumnya yang mengikuti perkembangan zaman. Kebanyakan seusiaku saat sekolah dasar sudah mulai mengenal gadget, aku sendiri disibukkan dengan aktivitas belajar al-qur'an.

Terlahir sebagai keluarga yang serba terbatas; awam ilmu agama dan bukan orang berada, sejak kecil tidak menurunkan kualitas Ayah sebagai orang tua yang bertanggungjawab. Anaknya nomor satu, kebutuhan lahir batinnya harus terpenuhi.

Bahkan memasuki umur tujuh tahun, saat aku mulai mendaftar sekolah untuk pertama kali. Ayah dan Mama tidak membolehkan aku masuk sekolah negeri, mereka kekeh menyekolahkan aku di Madrasah Ibtidaiyah yang basic-nya islami. Padahal, jarak sekolah yang ingin aku masuki menyatu dengan tembok rumah, persis di sebelah kanan rumah. Sedangkan jarak sekolah madrasah pilihan mereka kisaran tiga sampai empat kilo jauhnya. Saat semua teman-teman komplek mengawali sekolah dasarnya di sana, aku justru harus menempuh perjalanan pulang pergi diantar-jemput Ayah. Belum lagi drama ketinggalan bekal buatan Mama atau buku PR yang harus dikumpulkan di hari yang sama.

Pernah kejadian saat Ayah dan Mama sama sekali tidak bisa mengantar aku ke sekolah karena urusan kerjaan, aku terpaksa harus jalan kaki pulang pergi ke sekolah selama beberapa hari. Sebelum terbiasa dengan itu, aku sampai meminta tolong sama orang-orang yang mengendari sepeda motor untuk mengantarku ke sekolah padahal aku tidak mengenali mereka. Kalau balik sekolah harus jalan kaki tidak masalah, tapi berangkatnya minimal aku tidak bermandi keringat. Makanya aku sok kenal dengan pengendara motor yang setiap hari berbeda-beda mengantarkan aku ke sekolah. Kalau diingat-ingat lagi, siapa aku ya? Kok bisa, sih, mereka mau mendengarkan permintaan anak kecil tengil yang baru belajar memakai dasi dan ikat tali sepatu.

Satu waktu saat aku dan Ayah berduaan saja di ruang tengah, aku pernah bertanya padanya seperti ini saking kesalnya dulu kenapa aku harus sekolah jauh dari rumah.

"Ayah ... kenapa sih Kakak harus sekolah jauh? Kan di sebelah rumah kita lebih enak. Dekat gitu, Yah. Jadi kalau telat dikit nggak masalah."

Ayah cuman bilang begini, "Bukan masalah jauh dekatnya. Tapi ilmu yang didapatkan itu jelas berbeda, Kak. Ayah ini bukanlah berasal dari keluarga agamis, apalagi seorang ustadz. Jadi, Ayah mau kakak masuk ke madrasah biar ada pembuka jalan bagi keluarga Ayah yang paham agama, berguru dengan yang juga paham agama. Ya, bagus lagi kalau kakak bisa jadi penghafal Qur-an."

"Oh, gitu. Tapi Ayah, kan, lulusan Kedokteran UGM. Apa setidaknya kakak ikut jejak ayah aja masuk sekolah kedokteran?" kutanya dengan polosnya saat itu.

"Ayah mau, Kakak kelak bisa memahkotai Ayah dan Mama di syurga. Sudah banyak dokter yang menyembuhkan luka dan penyakit di luar sana, Kak. Tapi menjadi penghafal Qur'an bukan sekadar dokter penyembuh penyakit, tetapi juga penyelamat kelak di akhirat. Coba kakak lebih pilih mana?"

Mendengar ucapan Ayah, aku langsung semangat. "Oh, jelas pengen jadi dokter cinta dunia akhirat untuk Ayah dan Mama, juga Adek, dong," kujawab cekat sambil tersenyum tipis.

Seiring waktu, aku pun mengambil hikmah daripada alasan Ayah dan Mama menyekolahkanku ke madrasah saat di bangku sekolah dasar. Sebab aku bukan berasal dari keluarga yang paham agama, maka kupastikan generasi itu berawal dari aku.

Didikan yang Ayah berikan padaku tak lain untuk kebaikanku. Masa kecilku mungkin aku beranggapan bahwa yang Ayah lakukan padaku itu kurang tepat, dan cuman aku yang diperlakukan berbeda dari teman-teman komplek lainnya. Sekarang, aku paham bahwa tak ada masa kecil yang tak bahagia. Setiap anak tumbuh dengan kasih sayang, selebihnya terbentur dan terbentuk oleh lingkungan dengan keadaan yang berbeda-beda. Seperti pepatah, Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Dan aku bersyukur terlahir dari rahim Mama dan terbentuk oleh didikan Ayah.

***

To be continue ...

Tantangan untuk pembaca:

1. Pastikan kalian sudah follow akun wattpad ini dan instagram dua penulis novel ini (@agamfachrul04 dan @yudiiipratama)
2. Narasi/dialog yang membuatmu terkesima dari novel ini, silakan sebar ke sosial media dan jangan lupa tag instagram para penulis
3. Pastikan kalian menjadi 1 juta pembaca pertama di Wattpad untuk novel tentang Agam ini (Bantu wujudkan, ya!)
4. Versi Wattpad dan Novel nanti akan berbeda, jadi jangan sampai ketinggalan setiap bab-nya.

4 Masa 1 MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang