EMPAT

12.9K 1.4K 70
                                    

Tantangan untuk pembaca:
1. Pastikan kalian sudah follow akun wattpad ini dan instagram dua penulis novel ini (@agamfachrul04 dan @yudiiipratama)
2. Narasi/dialog yang membuatmu terkesima dari novel ini, silakan sebar ke sosial media dan jangan lupa tag instagram para penulis
3. Pastikan kalian menjadi 1 juta pembaca pertama di Wattpad untuk novel tentang Agam ini (Bantu wujudkan, ya!)
4. Versi Wattpad dan Novel nanti akan berbeda, jadi jangan sampai ketinggalan setiap bab-nya.

Suatu hari, musim lomba MTQ tingkat sekolah dasar terdengar sampai desa tempat aku tinggal, dan sampai pulalah ke telinga Mama. Di hari aku pulang sekolah, tiba-tiba Mama menyodorkan selembar kertas padaku yang berisi informasi lomba MTQ.

"Apa ini, Ma?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Kau baca lah, Bang," sahut Mama duduk di kursi sebelahku. "Itu lomba MTQ se Kota Bengkulu."

"Terus?"

"Mama mau Abang ikut cabang lomba ceramah," ucapnya penuh semangat.

Aku langsung menekuk dahi saat itu sambil geleng-geleng kepala. "Nggak mau, Ma. Abang nggak mau," rengekku tidak mengindahkan permintaan Mama.

"Loh, kenapa? Ya cuman tampil aja, kok."

"Nggak mau ... nggak mauuu."

"Abang, kan, suka tuh ngomong cepat, suka ngobrol juga. Jadi sekalian aja Bang di atas mimbar biar lebih berfaedah."

Mama tidak menyuruhku ikut lomba cerama oleh karena jika juara pasti akan mendapatkan hadiah juara berupa uang, melainkan Mama hanya ingin melihat aku tampil saja di atas mimbar. Itu saja. Sebab Mama tahu aku sangat suka cerocos dan ngobrol. Tapi untuk di depan umum, aku belum pede saja saat itu.

Selama tiga hari, aku menghindar terus dari Mama sampai kabur-kaburan ke rumah tetangga. Aslinya sih cuman main saja sampai magrib karena Mama terus-terus saja memaksaku untuk ikut lomba tersebut. Namun aku tetap kukuh tidak mau, sampai akhirnya pendaftaran ditutup dan perlombaan pun terselenggara tanpa aku ikut serta.

Beberapa pekan kemudian, pengumuman juara MTQ keluar. Lagi-lagi informasi dengan cepat tersebar ke penjuru desa. Samar-samar terdengar juga ke telingaku bahwa yang menjadi juara lomba MTQ cabang ceramah seorang anak seusiaku yang tempat tinggalnya tak jauh dari rumahku.

Di situlah kekecewaan pertama kali muncul dalam diriku. Andai saja aku ikut permintaan Mama, mungkin aku yang jadi juaranya.

"Maaa ... Abang nyesel nggak ikut lomba ceramah kemaren," keluhku sambil melempar tas ke atas meja.

Saat itu Mama lagi santai-santainya di ruang tamu. "Kan ... apa Mama cakap? Abang sih pakai malu-malu segala. Coba Abang yang ikut, uh Mama yakin Abang juaranya," jawab Mama dengan percaya diri.

Oleh karena kejadian tersebut, dari kekecewaan aku termotivasi memiliki tekad yang kuat untuk ikut lomba MTQ selanjutnya. Selain itu, selang beberapa waktu kemudian kabar duka muncul dari pendakwah tanah air, salah satu pendakwah tersohor meninggal dunia, almarhum Ustadz Jefri Al Buchori. Beliau salah satu ustadz panutan yang setiap dakwahnya di televisi tak pernah aku lewatkan. Mendengar kabar duka itu pulalah yang membuat tekatku bulat untuk mengikut jejak beliau. Sampai akhirnya aku mengambil telepon Mama dan di memo aku ketik sebuah reminder.

Bismillah.

Pokoknya saya ingin menjadi seperti Almarhum UJE!

Abang anak Mama termanis.

Setelah itu, aku langsung mencari surat kabar yang menumpuk di etalase ruang tamu dibantu sama Mama. Beberapa kali Mama bilang, "Yok Abang bisa! Bisa! Pasti bisa!"

Mama terus saja menyemangatiku. Aku pun ingin membuktikan ke Mama bahwa kesalahan sebelumnya bisa aku perbaiki dengan memulai untuk memberanikan diri ikut lomba tanpa ada lagi keraguan sedikitpun.

Tak hanya Mama saja yang support aku, ayahkupun lebih lagi. Beliau ingin aku tumbuh menjadi seorang penghafal al-qur'an dan besarnya menjadi seorang pendakwah yang membuka jalan terang untuk keluarga.

Pada saat kecil dulu, aku dibebaskan oleh Ayah untuk mengaji dan berguru ilmu agama di mana saja.  Sebab dulu tidak ada uang, jadi satu-satunya alternatif yang bisa aku perbuat adalah ngaji dari tempat satu ke tempat lainnya. Makanya aku tahu semua jenis-jenis dan perbedaan dari kajian salaf sampai modern oleh karena bekal yang aku miliki sejak kecil. Sehingga aku bisa memposisikan diri di setiap kajian yang aku ikuti.

Ayah selalu bilang padaku begini, "Ayah tidak mau anak Ayah seperti Ayah dulu, kecilnya tidak tahu ngaji. Jadi Ayah mau minta tolong sama Abang, ngaji di mana aja dulu yang nggak harus ngeluarin duit. Sering ikut-ikut majelis pengajian, ya, Bang." Kurang lebih seperti itulah permintaan Ayah.

Sebisa mungkin aku harus ngaji kata Ayah, bagaimanapun carannya. Kendati tidak berangkat dari keluarga yang paham agama, tapi aku ingin tumbuh menjadi sosok Agam yang kelak namanya dikenal di mana-mana sebagai pendakwah.

Atas dorongan orang tua yang begitu besar, kecilku harus mati-matian belajar ilmu agar tak hanya mendapat peringkat di sekolah saja tapi juga di luar sekolah. Tidak hanya terbukti menjadi juara di kelas berturut-turut. Ya karena aku bukan anak guru, jadinya berturut-turut cuman dapat juara empat. Sejujurnya, aku kurang suka sama anak guru karena saat kecil dulu aku begadang belajar sungguh-sungguh untuk mendapatkan predikat terbaik. Sampai aku pernah berpikir jika nanti aku masuk SMA dan ada anak guru yang sejurusan dan sekelas dengan aku, kutunjukkan caranya bagaimana menjadi seorang juara kelas yang benar.

Pokoknya, aku kesal sama anak guru!

Beberapa teman aku yang anak guru di sekolahanku dulu selalu membuatku overthinking, "kenapa bisa juara kelas padahal ... hmm!"

Berangkat dari masalah itu, aku semakin menambah minat belajarku di dalam maupun di luar sekolah agar suatu hari kelak aku bisa membuktikan kalau anak guru yang katanya memiliki privilege sama rata dengan anak lainnya yang tanpa embel orang dalam.

***

To be continue ....

4 Masa 1 MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang