ENAM

24.5K 1.3K 154
                                    

ABSEN LAGI DONG GHUISSS!!!🧡

APA KABS TEGA (Teman Agam)?
MASIH KUATKAN PUASANYA?

Coba komen sampai 10K di sini, pengen kutengok lah antusias klean kek mana menyambut novel ini☺️

Udah vote & komen?
Ya udah, kita lanjut yaaaw. Baca sampai bawah, ada tantangan untuk pembaca! Berhadiah mobil kalau beruntung😋
.
.
.

Hasbulallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'man nashir.

"Cukuplah bagi kami Allah sebaik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penolong."


Laju mobil menuju pondok pesantren begitu pelan, seperti sengaja Ayah perlambat agar bisa leluasa mengobrol denganku sebelum perdana anak kebanggaanya ini masuk pondok. Setelah dinyatakan lulus menjadi santri dengan perolehan nilai tertinggi dengan nama paling kece "Agam Fachrul" di urutan nama paling atas.

"Pokoknya nanti Abang nggak usah sering-sering nelpon ke rumah, ya. Harus fokus belajarnya di pondok," tegas Ayah.

"Siappp, Yah! Insya Allah, anak Ayah nih pasti akan membanggakan keluarga," kujawab dengan antusias.

"Oh, harus itu, Bang," timpal Mama.

Saat itu, aku diantar Ayah yang nyetir mobil milik tetangga yang ia rental. Satu mobil itu ada aku di kursi penumpang, Ayah yang nyetir, Mama yang duduk di sebelah Ayah, adik perempuanku juga ikut duduk di sebelahku.

"Abang ingat ya jangan sampai berulah, jangan nakal. Jadi anak kesayangan ustadz," pesan Ayah lagi.

Sepanjang jalan isinya semua ceramah Ayah yang kepengen anaknya menjadi yang terbaik di pondok, lalu diselingi dengan Mama yang menyuruhku untuk rajin makan tepat waktu dan jangan lupa rutin shalat dhuha setiap hari jangan sampai putus.

Perjalanan dari rumah ke pondok aku kurang lebih menempuh waktu sampai tiga jam lebih, lumayan jauh dan akses jalan menuju pondok penuh dengan pendakian. Memang daerah pegunungan, setibanya di lokasi pun sore itu langsung dingin. Padahal bengkulu dikenal dengan terik mataharinya yang cukup menyengat, namun sore itu udara dingin menyapu keramaian pesantren yang dipenuhi dengan santri-santri baru.

Setibanya di lokasi, semua barang-barangku diturunkan dari mobil, lalu diangkut masuk ke dalam asrama. Perasaan aku ingin ditinggal saat itu biasa-biasa saja, seperti biasanya. Ayah membantu mengangkut barang bawaanku sedang Mama menemui ustadz yang akan menjadi pengasuhku selama di pondok.

Sore itu ramainya bukan main, dan dari teman sekolah dasar aku dulu tidak ada yang melanjutkan pendidikan ke pondok yang aku lulusi. Entah tak ada yang daftar, atau memang hanya aku dari sekolahku yang daftar dan keterima di pondok yang cukup bergengsi yang terkenal dengan segudang prestasi.

Aku dan Ayah berjalan di salah satu koridor pondok, terlihat jelas berjejeran penghargaan-penghargaan yang telah didapatkan ponpes itu atas kemenangan dari para santri dan alumni yang mengikuti kompetisi kejuaraan di luar.

Mata Ayah kutengok begitu melotot, seperti harapannya padaku kembali membara. "Selanjutnya, piala Abang yang dipajang nanti di ujung sana," ucapnya semnagat sambil menunjuk ke depan. "Paling besar dan mengkilat."

Aku tersenyum mengangguk sembari lirih, "insya Allah."

Harapan Ayah begitu besar padaku, hingga aku begitu takut menegecewakan beliau. Ayah sudah begitu banyak memberi padaku, sudah seharusnya kubalas dengan mewujudkan harapannya itu.

"Ya udah, yaaa. Mama, Ayah, Kakak balik dulu, ya, Bang." Mama langsung memelukku saat berpamitan. "Jaga diri baik-baik, nurut apa kata ustadz."

"Iya, Maaa. Doain Abang, yaaa." Pelukan Mama yang hangat berhasil membuat aku tersentuh, bola mata sudah mau berkaca-kaca tapi aku berusaha menahannya.

Lalu disambut pelukan Ayah. Begitu erat, seperti berat melepaskan anak kesayangannya waktu itu. Adik aku satu-satunya juga langsung menyalimi tanganku setelah ia kuacak-acak rambutnya.

Perpisahan pertama di waktu SMP adalah awal aku merasakan kesendirian. Aku berada jauh dari keluarga, hanya bertemu saat di hari-hari penjengukan orang tua santri. Itu pun masih mending kalau mereka menjengukku tiap pekan. Sebab Ayah masih ada urusan kerjaan yang mengharuskan ia bolak balik rumah sakit.

Di halaman pondok, ramai dengan orang tua berpamitan pada anak-anaknya. Ayah, Mama, dan adikku tengah bergegas masuk ke dalam mobil. Lambaian tangan Mama tak henti-hentinya ditujukan padaku. Matanya berkaca-kaca, pandai betul Mama menyembunyikan tangisnya. Perempuan dengan sejuta cara menyembunyikan kesedihannya dimenangkan oleh Mama. Di sana aku masih terlihat biasa-biasa saja. Aku tidak biasa menampakkan kesedihanku di depan banyak orang. Lagipula saat itu, di sebelahku ada pengasuh pondok yang mulai akrab dengan Ayah dan Mama. Ibarat kata ia diamanahkan oleh orang tuaku untuk menjagaku selama di pondok. Padahal, aku bisa jaga diri sendiri. Pokoknya saat itu, aku terlihat tangguh di depan ustadz.

Mobil Ayah sudah melaju kembali ke arah pulang, aku masih melambaikan tangan sampai mobilnya tidak terlihat lagi dari pandangan. Tak ada lagi suara Ayah dan Mama yang sering menasehati, teman ngobrolku. Tak ada lagi suara adikku yang hanya berbicara ketika ditanya. Asli adikku introvert akut, beda dengan kakaknya.

Sore itu, keramaian keluarga kecilku tidak lagi terdengar. Pelan-pelan perasaan hampa itu muncul. Apa seperti ini rasanya anak santri setiap pertama kali pisah dengan orang tuanya? Bertemu dengan orang baru pun tidak langsung saling mengenal, ya namanya orang asing, butuh waktu untuk bisa saling terbuka.

Saat malam tiba, kesendirian itu semakin terasa. Aku yang biasanya bersama orang tua, pisah untuk pertama kali bagaikan hati ini tersayat. Dan itu baru kurasakan di malam hari, saat semua santri sudah tertidur pulas.

Aku pun menuju kamar mandi yang tau jauh dari asrama seorang diri. Mataku sudah berkaca-kaca. Memasuki kamar mandi, aku menutup pintu rapat-rapat. Lalu jongkok di atas kloset dan air mata langsung mengalir dengan deras. Sudah sedari sore aku menahannya, barulah malam itu tumpah ruah.

Masuk pondok pesantren adalah pilihanku, dan juga atas restu Ayah dan Mama. Namun tidak ada yang bisa menahan sesak kalau sudah perkara berpisah dengan orang tua untuk pertama kali dalam sejarah. Terlebih kasih sayang mereka tak pernah putus tiap hari, meskipun dituntut mandiri tapi aku tak pernah sejauh ini dari rumah.


***

To be continue...

Tantangan untuk pembaca:
1. Pastikan kalian sudah follow akun wattpad ini dan instagram dua penulis novel ini (@agamfachrul04 dan @yudiiipratama)
2. Narasi/dialog yang membuatmu terkesima dari novel ini, silakan sebar ke sosial media dan jangan lupa tag instagram para penulis.
3. Pastikan kalian menjadi 1 juta pembaca pertama di Wattpad untuk novel tentang Agam ini (Bantu wujudkan, ya!)
4. Versi Wattpad dan Novel nanti akan berbeda, jadi jangan sampai ketinggalan setiap bab-nya.
5. Bagi yang beruntung akan mendapatkan special gift dari penulis!

4 Masa 1 MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang