Waktu kecil kita diperhadapkan dengan banyaknya mimpi ketika besar ingin menjadi apa. Dan salah satu cita-cita aku sewaktu sekolah dasar mau menjadi kepala sekolah. Kenapa? Sebab aku ingin menghapus kebudayaan tugas membawa kotoran kambing ke sekolah oleh wali kelas.
Belum lagi tugas membawa sapu lidi. Kalau di kota masih mending banyak yang jual, kalau aku berasal dari desa terpencil, tidak ada aku temukan toko satu pun yang menjual sapu lidi. Mesti ngambil dulu dari daun kelapa, lalu diiris-iris tepiannya, dikumpulkan menjadi satu dan dijemur sampai menjadi cokelat gelap. Barulah jadi sapu lidi. Pokoknya ribetlah waktu itu.
Untungnya tidak ada tugas mencari dan membawa kapal Nabi Nuh ke sekolah, atau temukan tongkat Nabi Musa, dan menangkan hadiah nilai dari guru. Jiwa fantasiku meronta-ronta.
Apesnya lagi kalau aku kasih tahu Mama pagi-pagi sebelum berangkat sekolah, siraman rohaninya dimulai.
"Guru nggak mungkin lah ngasih tugas yang aneh-aneh, Bang. Kalau masih sapu lidi doang mah gampang. Abang bikinlah dari daun kelapa di belakang rumah tuh." Saat itu Mama lagi motong sayur di dapur.
"Ya lama lagi lah, Ma. Mending Mama ngasih Abang uang, nanti nitip di temen yang tinggal di kota buat beliin sekalian."
"Kalau masih bisa bikin sendiri, kenapa harus beli, Bang?" tambahnya lagi.
Aku hanya tertunduk diam, lalu berangkat ke sekolah dengan hati pasrah. Pikirku dulu tugas sekolah adalah tugas Mama juga, tapi Mama dari kecil aku disuruhnya mandiri. Alhasil sapu lidi tetangga aku ambil. Beberapa hari setelah dikumpul, baru aku minta izin sama pemiliknya.
Ayah mungkin bisa saja belikan aku, tapi tidak mungkin juga aku bertanya ke Ayah untuk perkara sapu lidi; belum lagi disuruh bawa ember, sikat wc. Entah itu sekolahan atau tempat kumpulan perabotan rumah tangga.
Sekali lagi kutegaskan, aku bukan dari keluarga orang yang berada sejak kecil. Saat itu pekerjaaan Ayah serabutan dan ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga. Latar belakang keluarga dan keterbatasan ekonomi menuntut aku untuk tidak manja. Namun tentu saja tidak menurunkan kualitas Ayah sebagai orang tua yang bertanggung jawab. Buktinya, ia tidak melepasku ke orang yang ingin membeliku.
Sejujurnya, tak hanya Orang Tionghoa yang hampir membeliku karena tertarik dan menyebut kalau aku ini anak mereka.
"Anak ini punya kami," kata Kokoh Lee pada saat menerawang sioku yang katanya membawa keburuntungan.
Aku yakin betul kalau sebenarnya Orang Tionghoa itu tidak akan menawar sampai sebegitunya kalau memang benar-benar tidak tertarik setelah mengetahui tanggal dan tahun lahirku.
Lantas kedua orang tua aku bingung. Hingga Ayah bilang, "anak ini bukan milik Kokoh dan Cici. Bahkan juga bukan milik kami."
Wajah Mama pada saat itu jelas terkejut, semua mata tertuju pada Ayah.
"Terus ini anak siapa?" Cici itu bertanya.
"Anak ini milik Allah, dan alhamdulillah dipercayakan kepada kami untuk merawatnya sampai tumbuh menjadi anak yang soleh dan berguna bagi nusa dan bangsa," dijawab Ayah dengan bahasa yang santun nan lugas agar tidak menyinggung perasaan sepasang pasutri yang mengharapkan anak semanis aku ini.
Oleh karena rasa cinta kedua orang tuaku begitu besar kepadaku, mereka pun menerimanya dengan lapang.
Kemudian, ada satu lagi yang juga pernah ingin aku menjadikan aku sebagai anaknya. Saat itu Ayah pernah daftar di suatu pabrik snack yang terkenal, tetapi tidak lolos karena memang tes perhitungan yang sulit. Ayah orang yang pintar, bahkan tes masuk kampus ternama saja berhasil lolos dari banyaknya orang. Hanya enam puluh orang yang diterima, dan salah satunya Ayah.
Pada saat itu, bos dari pabrik tersebut juga berkebangsaan Tionghoa. Ia melakukan penawaran ke Ayah sampai akhirnya aku sekeluarga diboyong Ayah pindah dari Cimahi lantaran orang itu terus-terusan saja datang menawar berkali-kali. Kalau sebelumnya dengan cara santun, kalau yang satu ini sudah seperti rentenir penawarannya.
Hmm ... kenapa aku semenarik itu, ya, saat kecil dulu?
Padahal aku jauhlah ya dari si Boboho.
Hanya anak bayi yang lahir dari perut Mama yang luar biasa.
Bahkan kata Mama, selain orang Tionghoa, ada orang Indonesia juga yang menawar aku dan mereka bilang hanya ingin mengadopsi sementara sebagai pemantik agar mereka bisa punya anak, setelah itu aku akan dikembalikan ke orang tua kandungku lagi saat sudah besar.
Namunbagaimana pun penawaran yang datang silih berganti dalam keluarga kecil Ayah,ia tetap kukuh mempertahankan aku. Sekarang aku paham bahwa Ayah tak pernahmempertanyakan kabar aku langsung melalui lisannya, tetapi rasa cinta dansayangnya padaku tersampaikan melalui lisan Ibu. Aku tak perlu mencari-carisosok panutan dalam hidup, karena aku telah menemukannya dalam diri Ayah.
***
To be continue ...
Tantangan untuk pembaca:
1. Pastikan kalian sudah follow akun wattpad ini dan instagram dua penulis novel ini (@agamfachrul04 dan @yudiiipratama)
2. Narasi/dialog yang membuatmu terkesima dari novel ini, silakan sebar ke sosial media dan jangan lupa tag instagram para penulis
3. Pastikan kalian menjadi 1 juta pembaca pertama di Wattpad untuk novel tentang Agam ini (Bantu wujudkan, ya!)
4. Versi Wattpad dan Novel nanti akan berbeda, jadi jangan sampai ketinggalan setiap bab-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
4 Masa 1 Mimpi
SpiritualUpdate setiap hari Sabtu & Minggu Blurb: "Prinsipku, hadiah terbaik adalah apa yang aku miliki dan takdir terbaik adalah apa yang aku jalani." Siapa yang tak kenal dengan Agam? Pernikahannya sempat ramai di lini masa berbagai media sosial. Siapa yan...