"Belajar yang bener."
Setelah menyalimi tangan Bang Rendi, dia mengacak rambutku pelan. Suka banget bikin rambutku berantakan, padahal sudah rapi paripurna dari rumah.
"Ck! Rambutku jadi jelek," keluhku lantas bercermin pada kaca spion.
"Yaampun, Han. Masih cantik, kok, tenang aja," katanya tanpa rasa bersalah.
"Hana memang selalu cantik!" ujarku dengan mengibas pelan rambutku yang lebat.
Bang Rendi kembali melaju meninggalkan latar sekolah. Aku melangkahkan kaki menuju kelas yang berada di lantai atas. Andai saja ada lift seperti sekolah tetangga, aku tidak perlu lelah-lelah naik turun tangga.
Seperti yang diperkirakan, belum terlalu banyak orang di sekitar sekolah. Namun rupanya di kelasku sudah ada dua orang, satu cewe dan satu cowo yang tengah piket.
"Rajin banget kakak-kakak,"gurauku.
"Iya, dek. Kenapa komen-komen? Mau bantu?" sahut perempuan bernama Mila dengan nada gurauannya.
"Ngga dulu. Keenakan Kakaknya nanti."
Kemudian aku melirik cowo yang juga sama-sama menyapu seperti Mila. "Diem-diem bae nih si Aziz. Tumben berangkat gasik, biasanya top score kesiangan."
Lelaki bernama Aziz itu berbalik badan badan ke arahku. Dia menghela napas lelah sambil membenarkan posisi kacamata yang bertengger di hidungnya. "Orang ganteng emang serba salah," katanya dengan PD tingkat dewa sambil geleng-geleng kepala.
"Aduhhh iya nih! Silau banget ngeliat kegantengan lo!" balas Mila tak kalah dramatis.
"Asal kalian tau ya, gue selama ini udah habisin duit buat bayar denda terlambat ke bendahara gara-gara konsekuensi dari Bu Bety. Miskin gue lama-lama," lanjut Aziz dengan nada menggebu-gebu hingga membuat aku dan Mila menertawainya.
Bu Bety adalah wali kelas kami. Dia dikenal dengan slogan 'otak kanan' nya. Dirinya juga menerapkan konsekuensi yang tidak tanggung-tanggung pada anak didiknya. Katanya sih biar kapok.
"Ohh karena lo miskin sekarang jadi tobat? Bagus deh!" sahut Mila.
"Ya lagian lo ada-ada aja, terlambat sampe satu jam lamanya," timpalku menguak kembali kesalahannya.
"Cita-cita gue jadi bad boy SMA." dia berbicara sembari berlagak layaknya trouble maker sok kecakepan. Sedangkan yang menonton merasa kecapean.
🤑🤑🤑🤑
"Misi-misi mangkok panas lewat!"
Aku membawa sebuah baki berisi dua mangkok bakso dengan kecap, saus sambal menyertainya. Di belakang ku ada Mila yang membantu membawa dua gelas es teh karena bakinya sudah tidak muat.
"Duduk mana, La?" tanyaku kepadanya sebab tempat favorite kami sudah diduduki oleh siswa lain.
"Itu kosong tuh! Kita duduk di sana aja!" Mila menunjuk pada meja yang terletak tak terlalu jauh dari tempat favorite.
Kami menikmati bakso kantin kesukaan anak SMAPA yang enak dan juga ramah uang saku. Konsumennya mayoritas ciwi-ciwi karena mereka butuh makanan pedas untuk mengembalikan moodnya.
Aku yang melihat salah satu teman kelasku yang kebingungan cari tempat duduk pun memanggilnya. "Gilang, sini!"
Laki-laki yang kupanggil Gilang menoleh dan berjalan menghampiri kami berdua. Gilang menatap polos dan bertanya, "Kenapa?"
Kutarik lengannya pelan dan menyuruhnya duduk. "Duduk di sini aja sama kita. Lainnya udah penuh semua."
Dia mengangguk menurut kemudian menyeruput pop ice coklat yang ada di tangannya. Gilang ini anak kesayangan XII Mipa 4, ngga bisa ditelantarin gitu aja. Wajah baby face nya didukung dengan otak polosnya yang sering membuat anak kelas gemas terhadapnya.
"Han, ini rumah lo bukan sih?" kata Gilang sambil menunjukkan layar ponselnya.
Baru saja mau ku periksa," Yaampun, Lang. Terang banget itu layarnya, ngga bisa di redupin dikit apa? Sakit mata gue liatnya." Udah sama persis kaya orang tua zaman old yang baru pegang hp.
"Hehe sorry-sorry," cengirnya.
Gilang menunjukkan kembali ponselnya kepadaku. Di sana terlihat sebuah foto kertas yang juga berisi gambar rumah kos Papa di belakang rumah. "Iya itu rumah gue yang dijadiin kos-kostan. Kenapa?"
"Gue mau kos di situ boleh ga?" katanya tiba-tiba yang membuatku tersedak sehingga membuat Mila cepat-cepat menyodorkan air putih.
Aku menatapnya aneh, "Lo mau ngapain kos di tempat gue?"
Ada alasan aku bilang begitu padanya. Secara dia itu orang kaya, rumahnya aja mewah di perumahan elite. Jadi buat apa susah-susah nge kos? Yang artinya dia harus masak sendiri, makan sendiri, cuci baju sendiri, sedangkan di rumahnya ada ART yang selalu membantunya.
Gilang menunduk,"Gue nggak mau dibilang anak mami. Gue bakal jadi anak mandiri, Han."
Mila yang mendengar hal itu lantas merasa tersinggung,"Siapa yang bilang gitu ke lo? Kasih tau gue cepet!"
Gilang menggeleng,"Ada lah intinya. Jadi gimana? Boleh ngga gue kos di tempat lo?" Gilang kembali menatap Hana.
Aku mengangguk jenaka, "Rejeki ngga boleh ditolak. Terus lo mau mulai nge kos kapan?"
"Kurang tau juga. Tunggu aja kedatengan gue," katanya seolah-olah misterius.
Aku berdecak,"Kalau mau niat ngekost harus yakin dulu. Jangan ga jelas gitu, keburu kamarnya ditempatin orang." tadinya emang agak aneh melihat Gilang nge kos, tapi setelah dipikir-pikir mengenai money, sabi juga lah...
"Pokoknya lo harus minta izin dulu sama bokap-nyokap ya? Jangan jadi bad boy, ngerti?" kata Mila memperingati membuatku teringat pada Aziz yang sok kecakepan itu.
"Iya, La," jawabnya dengan mengangguk patuh.
Bersambung.
Untuk part ini pendek banget wkwk
Terimakasih sudah membaca
10 Maret 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Saya Terima Kost Putra (Selesai)
أدب المراهقين'Terima kost putra' 'Tersedia 3 kamar kosong Harga 200 ribu/bulan Bebas biaya listrik dan air Potongan harga 10% khusus pelajar' ----- Di belakang rumah Hana, ada rumah kosong yang masih berdiri kokoh dengan perabotan lengkap. Bahkan lebih canggih d...