01.

89 11 2
                                    

After the dark dawn
The sun that had been asleep will rise
When it shines on us
Faded happiness and
The love that didn't bloom
Will grow back again

Never give up

Treasure

01. When It All Started

Ruang kesenian sore itu lenggang. Hanya ada dua siswi yang goleran di atas tumpukan kardus di salah satu sudut ruangan. Yang satu sibuk dengan ponsel sambil sesekali menyeletuk kalau ada hal yang ingin diobrolkan. Yang satu lagi, gadis dengan dobok melekat di tubuhnya, tengah memejamkan mata.

Suara radio rusak di atas meja terdengar, beradu dengan sorakan anggota ekstrakurikuler basket yang sedang latihan. Sebuah perbandingan yang jomplang. Anggota club basket ramai dan penuh semangat, sedangkan club lain di ruangan itu kelihatan tidak punya kegiatan.

"Gawat!"

Pintu terbuka, menyentak dua gadis di ruang kesenian.

Lenka Ais Almaira, ketua club theater itu berdiri di ambang pintu dengan terengah. Rambut pendeknya berantakan. Tampak sesuai dengan setelan seragam penuh peluh yang ia kenakan.

"Kenapa?" tanya Dita, si gadis berpakaian serba putih yang sedang mengumpulkan nyawa. Ia menguap.

Ais berjalan mendekat. Duduk di potongan kardus lain sembari mencoba menjawab. "Gini... gue tadi... Bu Wirda nyuruh bubar!"

"Minum dulu coba!" Putri yang untungnya lebih peka menyodorkan botol minumnya. "Coba jelasin pelan-pelan."

Ais meminumnya hingga tandas sebelum berujar, "Bu Wirda nyuruh kita bubar."

"Hah apaan?" Dita menyela, terdengar tidak terima.

"Club teater kita disuruh bubar. Kita nggak pernah ada kegiatan apa-apa. Nggak punya anggota tetap dan katanya nggak guna buat sekolah."

Ini terlalu tiba-tiba. Dan jelas, mereka tidak suka. Meski kenyataannya pernyataan Bu Wirda dan pendapat guru-guru lain itu fakta.

"Lah bukannya mau ada festival di kabupaten beberapa bulan lagi? Kalau bubar, kita ngga bisa ikutan dong," ungkap Dita merasa tidak terima. "Masa taun ini SMA kita nggak ada perwakilan?"

Putri menghela napas. Kelihatan tidak punya pilihan lain. "Ya mau gimana lagi, Ta."

Ais menatap dua temannya itu. Merasa sedih karena club mereka tidak lagi seperti dulu. Tahun lalu masih ada anggota lain yang meramaikan, tapi semenjak ada rumor dan skandal tentang club mereka, satu persatu anggota mulai ke luar. Bahkan siswa siswi baru pun enggan bergabung padahal mereka sudah membuat promosi gencar-gencaran.

Tadi selepas dari kelas. Bu Wirda, pembimbing mereka, memanggil Ais ke ruang guru. Memberitahu bahwa guru-guru lain sepakat untuk membubarkan club teater yang sudah lama tidak berpartisipasi untuk acara-acara sekolah. Ais tentu kecewa, tapi ia tidak punya alasan untuk menyanggah.

Mereka sudah kalah. Tapi bukan Ais namanya kalau tiba-tiba menyerah. Gadis itu berpikir sebentar.

"Kalau gitu jangan sampai bubar!" ucap Ais ditengah lamunan mereka.

"Gimana bisa, anggota kita aja cuma tiga biji," kata Dita skeptis. "Kalau kita tampil bertiga, yang ada diketawain."

"Kita cari anggota baru kalau gitu," ceplos Putri, membuatnya kena gaplokan kecil di bahu. "Kenapa sih, Ta!"

"Awal semester kemarin juga kita udah buka pendaftaran. Tapi mana? Ada nggak yang gabung sama kita?"

"Ya kan gue cuma ngasih ide. Siapa tau ada anak lain yang mau gabung."

The Way We GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang