09. Kita yang Selesai Hari Ini
Kegiatan belajar hari ini terasa sangat melelahkan. Ada dua ulangan harian yang Dita kerjakan. Jadi sejak semalam ia menghabiskan waktu untuk belajar dengan sistem kebut semalam.
Banu belum lagi menemuinya. Lebih tepatnya, Dita yang mencoba menghindar dari cowok itu. Ia takut kalau mereka bertemu dalam waktu dekat dari pertengkaran beberapa hari lalu, bisa jadi ia malah memaafkan perlakuan cowok itu.
Sejak kecil Dita sulit berteman dengan anak-anak lain. Dia anak tunggal dan tentu saja kedua orangtuanya tidak membiarkan dirinya bermain bebas di luar rumah. Banu adalah teman pertamanya. Mereka bertemu di sebuah reuni sekolah orangtua mereka. Dalam waktu singkat mereka yang punya hobi dan kegiatan ekstrakurikuler sama bisa bersahabat.
Sebenarnya Dita tidak percaya kalau bocah manis yang dulu ia kenal menjadi sosok yang seperti sekarang. Hubungan dekat mereka berkembang menjadi cinta-cinta ala remaja mulai tahun terakhir sekolah menengah pertama. Di tahun yang sama kedua orangtua Banu berpisah. Dari sanalah Dita merasa banyak hal mulai berubah.
"Lo mau duduk terus di situ atau pulang?" tanya sarkastik dari teman sebangkunya membuyarkan lamunan Dita. Gadis itu mengerjap, mengembalikan fokusnya pada masa sekarang. "Udah ditungguin sama cowok lo, tuh!"
Dita menoleh ke arah pintu. Tapi sosok yang dimaksud temannya tidak terlihat. "Cowok yang mana?"
"Ya emang lo punya cowok berapa, sih?!"
Cibiran dari sang teman membuat Dita memutar bola mata. Cowoknya sekarang ya cuma satu. Tapi mana berani Banu masuk ke area sekolahnya, apalagi menunggu di kelas.
Mengikuti rasa penasarannya, Dita buru-buru mengemasi alat tulis di atas meja. Lantas melangkahkan dua kakinya dengan cepat keluar kelas.
Kehadirannya disambut senyuman lebar dari cowok berkaca mata. Luka-luka di wajahnya mulai memudar, meninggalkan bekas lecet dan sisa lebam kehijauan.
"Ngapain?"
"Nunggu lo, lah!" balas cowok itu. Siapa lagi yang punya wajah tengil menyebalkan kalau bukan Amon Setha. "Anjir ternyata gini rasanya nungguin pacar di depan kelasnya. Berasa jadi main lead di drama oppa-oppa."
"Alay!" cetus Dita. Ia memilih berjalan lebih dulu. "Lagian gue bukan pacar lo."
"Ngayal dulu kali," rengut Setha sebal. Ia melepaskan kacamata yang dikenakan, memasukkannya di sebuah kotak, kemudian menyelipkannya di saku ransel.
Dita meliriknya diam-diam. Kalau boleh jujur, walau kelakuannya sering bikin naik darah, Setha nih lumayan. Tipe-tipe cowok friendly yang bikin jejeritan adik kelas. Kalau senyum, tuh kan, manisnya kelewatan.
"Kenapa ngeliatan gue kayak gitu?" Setha bertanya tengil. "Mulai naksir gue ya lo?"
"Ih apaan!" Dita mengeram. Emang ya hal-hal positif dari sosok Amon Setha ini ketutup sama kelakuan minusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way We Go
Teen FictionThe Way We Go: Dream Theater Klub teater sekolah terancam dibubarkan. Tidak adanya kegiatan dan partisipasi klub itu membuat banyak guru beranggapan bahwa anggotanya hanya buang-buang waktu. Karena hal itu Ais ingin membuat klub itu aktif kembali. T...