Memulai

1 0 0
                                    


..............

Melihat para murid saat mengikuti ekstrakurikuler karate dengan sang sahabat yang menjadi pelatih untuk adik kelas menjadi kebanggaan tersendiri untuk Rangga, karena dia tahu pasti bagaimana sang sahabat yang giat berlatih untuk setiap perlombaan yang ada. Hanya kata bangga yang bisa dia katakan untuk Arsean atas semua perjuangan sang sahabat sampai saat ini, Arsean orang yang berjasa baginya dari dulu. Angannya memutar jauh ke masa masa SMP dulu ketika murid lain menjauhinya bahkan melakukan bullying baik fisik ataupun mental, Arsean malah mengulurkan tangannya ke arah Rangga dan mengajaknya berteman. Ragu terlintas di benaknya saat melihat uluran tangan Arsean kearahnya, lebih memilih untuk menghindar dan menjauh karena tidak percaya dengan apa yang di tawarkan untuknya.

Bukannya berhenti Arsean malah semakin mencoba untuk terus berusaha berteman dengannya, sibuk dengan fikirannya sendiri sampai tidak sadar sang sahabat sudah berada di depannya memandang aneh. Dengan menepuk pundak Rangga cukup kencang membuat nya kembali tersadar dan tersenyum ketika melihat Arsean duduk tepat di sebelahnya, bercanda bersama dan saling memukul sudah menjadi kebiasaan dalam pertemanan mereka. Hanya di luar lingkungan rumah Rangga bisa merasakan kebebasan walau hanya sementara, setidaknya dia bisa merasa bebas dan menjadi diri sendiri untuk sementara waktu. Arsean kembali membahas murid baru di kelas mereka beberapa minggu lalu, Rangga hanya terkekeh dan sesekali menggoda sahabat nya itu.

"Udah bisa move on nih ceritanya?" Kebiasaan Rangga menggoda sahabatnya itu dengan tatapan jahil yang di balas pukulan sayang di kepalanya.

"Gue mudah ikhlasin masalalu ga kek lo yang gamon mulu dari dulu," hanya dengusan yang di terima Sean sebagai balasan

"Iyain dah yang paling ikhlas, tapi sumpah bagian darimananya sih yang lo suka dari itu cewe bunga?" Rangga bertanya dengan nada serius kali ini

"First sight love maybe? Entahlah gue juga bingung, untuk saat ini gue cuma bisa nyimpulin kalo gue cuma tertarik ke dia. Gatau gimana nanti ke depannya"

"Hmm... Menarik, seorang Arsean tertarik pada pandangan pertama. Gue akan bantuin lo buat deket sama tu cewe bunga di saat perasaan lo udah yakin buat itu cewe"

"Gue fokus ke lomba dulu Rang, lo tau sendiri di gelanggang gimana. Gue lengah dikit pasti langsung bonyok, malu maluin sekolah nanti," Sean mengambil sebotol air mineral yang masih tersegel dan meminumnya sampai tandas

"Bukannya anak kelas 3 udah ga boleh ikut lomba ya? Kok lo ikut?"

"Lo liat sendiri kan sekarang gue yang jadi coach mereka di latihan ini, so gue juga harus turun lomba dampingin mereka dan peserta lomba untuk tingkat gue ga ada yang bisa di harapin"

"Bener juga sih lo, gue juga di suruh jadi coach anak inti basket tapi gue gamau. Mending gue jadi babu di perpus lebih enak"

Rangga sibuk memantulkan bola basket yang tadi dia pinjam dari anak inti basket di lapangan, lalu melemparkannya ke atas dan menangkapnya berulangkali. Hingga tiba tiba Rangga berteriak dan melemparkan bola basket itu ke arah Sean yang berjarak beberapa langkah di depannya. Semua murid di lapangan terdiam dan langsung mengalihkan perhatian ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa dengan senyum jenaka andalannya, untuk beberapa murid yang mengenal Rangga termasuk Sean hanya terkekeh pelan melihat kelakuan anehnya karena sudah terbiasa. Berbeda dengan adik kelas dan murid baru yang hanya bisa bertanya tanya tentang kelakuan kakak kelasnya itu.

"Kebiasaan lo ga pernah berubah Rang, kasihan tuh ade kelas pada kaget" Sean membawa bola basket yang tadi di lempar Rangga ke arahnya dan melemparkannya kembali ke arah Rangga, yang langsung bisa di tangkap nya

"Hehehe... Maaf ya ade ade semua, maklum orang ganteng emang suka random ga jelas begini" yang hanya di balas dengan anggukan kepala pelan dan senyum

Latihan sudah selesai dan sekolah juga sepi karena memang sudah hampir menunjukkan waktu maghrib, Rangga pulang ke rumah dalam diam dengan wajah yang terlihat sangat fokus memikirkan sesuatu sampai tidak sadar ada seseorang yang memanggilnya. Orang itu berlari kecil ke arah Rangga dan berjalan tepat di sebelahnya, lalu menepuk pundak Rangga cukup kencang yang membuat nya kaget bahkan hampir memutar tangan orang itu namun di urungkan saat melihat siapa yang mengganggunya. Hanya tatapan datar dan dengusan yang Rangga keluarkan berbeda dengan orang yang mengganggunya tadi, sampai di beberapa rumah sebelum rumahnya juga masih sama. Kesal yang pasti Rangga rasakan sekarang, tapi mengingat orang yang mengikutinya ini lebih tua jadi Rangga mencoba untuk menahan rasa kesalnya meskipun mulutnya sudah gatal memaki orang di sebelahnya ini.

"Kapan kamu mau ke RS lagi? Saya tunggu kamu beberapa minggu kemarin juga tidak datang." ya orang itu adalah seorang psikiater langganan keluarganya dari awal sang kakak memutuskan untuk mengikuti jejak ayah mereka menjadi abdi negara

"Aduh dok, Rangga kan suka amelia sama janji jadi Rangga usahain deh nanti. Tapi ya ga janji juga," sebelum Rangga berbalik dan melanjutkan langkahnya, orang yang di panggil dokter tadi menarik kerah seragam bagian belakang Rangga

"Aduh dok yang bener dong, ke cekek nih lehernya. Dokter Saka bisa Rangga aduin ke komnas perlindungan anak dan pihak rumah sakit"

"Nah itu kamu masih ingat nama saya, besok kamu datang ke rumah sakit untuk mulai periksa lagi. Tidak ada bantahan yang mau saya dengar, mau alasan apa lagi? Mau alasan sibuk? Saya tahu kamu sudah kelas akhir jadi kegiatan mu berkurang, saya sendiri yang akan jemput kamu. Mau alasan ada kegiatan sampai sore di sekolah lagi? Saya jemput langsung kamu ke sekolah" khutbah yang cukup panjang dari dokter Saka membuat Rangga mendengus kasar dan menatap kesal ke arah nya

"Rangga udah bilang kalo Rangga ini baik baik aja, lagian kemarin itu Rangga cuma lagi capek sama kegiatan dan rumah. Hasil tes psikologi Rangga juga baik baik aja kan, jadi buat apa lagi Rangga konsultasi?" Tidak habis fikir dengan dokter di depannya ini yang memaksa  nya sampai seperti ini

"Rangga saya tahu apa yang kamu ceritakan ke saya soal orangtua mu semuanya bohong kan? Wafri abang mu sendiri yang bilang sama saya kebenarannya dan dia minta saya untuk bantu kamu." Rangga hanya bisa terdiam mendengar penjelasan dari Saka

"Oke Rangga mau ikut kemauan kalian, tapi Rangga minta ke dokter Saka untuk ga kasih tahu apapun hasilnya ke bang Wafri. Cukup dokter aja yang tahu"

"Baik kalau begitu, jangan lupa hari Minggu nanti saya tunggu kamu di RS" 

Hanya diam dengan pandangannya fokus ke arah punggung Saka yang terlihat semakin menjauh, menghela nafas dalam beberapa kali sebelum berbalik dan lanjut berjalan kembali ke arah bangunan yang di sebutnya sebagai 'rumah'. Melihat ada motor milik abang nya dan Scoopy berwarna merah terparkir di halaman rumah membuat sebuah senyum tipis yang tulus terbit di wajahnya, segera Rangga masuk dengan riang dan langsung memeluk sang kakak yang sudah lama tidak pulang dengan kabar terakhir yang Rangga dengar jika kakaknya di tugaskan sebagai relawan perbatasan selama satu tahun. Juga Rangga lihat ada seorang perempuan memakai hijab berwarna hitam lengkap dengan jas dokter yang terlipat di kursi dekat kakaknya, senyum jahil di tujukan untuk kakaknya dan mulai menggodanya.

Biarlah untuk saat ini Rangga sedikit bahagia sebelum mendapatkan hukuman lagi dari ayahnya, setidaknya Rangga harus menunjukkan kebahagiaan kepada kakaknya agar tidak terlalu khawatir. Rangga tahu jika adiknya juga tidak akan melaporkan kejadian yang di alaminya kepada kakak mereka, meskipun harus mengeluarkan beberapa bujuk rayu dan sedikit sogokan. Biarlah hanya Rangga yang memendamnya tanpa bercerita lebih jauh tentang yang di alaminya, melihat raut wajah bahagia kakak dan adiknya sudah lebih dari cukup untuknya. Karena Rangga tahu pasti jika tidak bisa membandingkan kehidupan dengan milik orang lain karena setiap orang pasti memiliki plus minus masing masing, dan Rangga cukup bahagia dengan kehidupannya sekarang.


...........

AccismusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang