Bab 2

60 0 0
                                    

****

Ponsel yang sedari tadi tergeletak di meja belajar, yang awalnya aku abaikan, kini memaksa untuk menggeliat, merenggangkan otot-otot yang awalnya tegang, mulai melemas. Awalnya aku masih malas untuk beranjak, tapi setelah ingat kalau hari ini aku ada janji dengan seseorang, akhirnya aku bangkit.

Pagi ini tak seperti biasanya, aku paksa untuk semangat memulai pekerjaan baruku. Setelah sarapan, aku berpamitan dengan Ibuk yang kebetulan sedang menjemur pakaian di belakang rumah, sedangkan adikku sudah berangkat sekolah. Sebentar aku teringat dengan adikku, setiap hari adikku harus merepotkan tetanggaku, berangkat bareng menuju sekolah. Sebenarnya aku malu, tapi karena tetanggaku orangnya baik hati, ia ikhlas dan sudah menganggap adikku seperti adiknya sendiri. Namanya Dwik, teman sekaligus tetanggaku yang selama ini mau direpotkan.

Sesampainya aku di belakang rumah, aku melihat Ibuk begitu tegar dan kuat. Aku tahu wajah keriputnya yang selama ini menutupi keresahannya, mulai tampak ketika beliau melihat penampilanku yang berbeda. Aku juga tahu apa yang sedang dipikirkan waktu itu. Mungkin Ibuk berpikir, sebenarnya pekerjaan apa yang di ambil Asih? Kok sampai dia bisa merubah penampilannya? Ya... kurang lebih seperti itu, karena dari raut wajahnya aku bisa menangkap keresahannya.

"Buk, ..."

"Iya, Nduk. Mau berangkat sekarang? Sudah sarapan belum? Itu Ibuk masak masakan kesukaanmu dan adikmu." jawab Ibuk, yang mulai nampakkan raut wajahnya yang begitu berat untuk melepas kepergianku.

"Sampun, Buk. Enak masakannya. Aku bakal kangen masakan Ibuk kalo kayak gini."

Sebenarnya aku ingin menangis, tapi aku tahan. Aku tidak mau melihat Ibuku begitu cemas.

"Nduk, sebenere pekerjaanmu apa? Kok penampilanmu ngene banget?" (Nduk, sebenarnya pekerjaanmu apa? Kok penampilanmu gini banget)

"Bikin pangling ya, Buk? Tambah ayu njih, Asih?" jawabku mengalihkan saja. Sebenarnya berat kalau aku harus jujur, tapi mau bagaimanapun aku tidak bisa berkata demikian kepada Ibuku sendiri. Aku tahu itu dosa, tapi... sudahlah yang penting aku ingin Ibuk dan adikku bahagia. Itu saja tujuanku.

"wis buk. kinasih budhal dhisik. ibuk kalian Ratih sehat-sehat njih ten omah. Mangkeh yen pun dugi, kulo kabarin, ben dwik sing ngaturi." ( Sudah Buk. kinasih berangkat dulu. ibuk sama Ratih sehat-sehat ya di rumah. nanti kalau sudah sampai, aku kabarin, biar Dwik yang menyampaikan.)

"Yowes, Nduk. Sing ngati-ati ya. Ojo sampe lali ibadah. Ibuk neng kene ndongakne anake ben sehat lan sukses." ( Yasudah, Nduk. yang hati-hati. Jangan sampai lupa ibadah. Ibuk disini mendokan biar kamu sehat dan sukses.)

"Njih, Buk. Asih pamit."

"Maafkan Asih, Buk. Asih tidak bisa jujur sama Ibuk. Aku tahu Ibuk pasti akan membenciku. Mungkin Ibuk bisa saja tidak menganggap aku anakmu lagi. Tapi aku terpaksa, Buk. Sekali lagi maafkan aku, Buk. Biar Asih yang menanggung dosa ini." Gumamku.

Iringan isak tangis dari ibuku, menghantarkan suasana haru di sebuah persimpangan jalan tanah bergelombang, yang di kanan kiri masih banyak perkebunan tebu dan jagung. Sesekali aku mengangguk dan bertegur sapa ketika berpapasan dengan warga. Aku tahu ini akan menjadi terakhir kali aku menginjakkan kaki di tanah kelahiranku.

Kurang lebih 30 meteran, setelah melewati belokan yang menjadi jalan akhir aku bisa melihat sosok Ibu, sebelum sebuah bus merangkak pelan, melaju meninggalkan tempat kelahiranku, menuju tempat di mana bakal menjadi sejarah kelam nan panjang.

Antara sedih dan bahagia, mungkin itu yang sedang aku rasakan. Sejenak aku terdiam, menatapi tepian jalan yang di lewati kendaraan yang aku tumpangi, terhanyut dalam pikiranku sendiri. Tak berapa lama, sekira perjalanan setengah Jam, bus berhenti di sebuah toko pinggir jalan. Menghampiri seorang perempuan berperawakan tinggi, berkulit bersih dengan setelan layaknya orang kaya.

KINASIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang