Bab 5

37 0 0
                                    


Cuplikan sebelumnya...

"Apa sudah yakin kalian semua mau ke sana?" lelaki tua itu bertanya, menegaskan sesuatu yang membuatku sedikit penasaran.

Gama dan Riri masih terlihat fokus, sedangkan aku dan Murni seperti orang bodoh, layaknya anak SD yang di ajarkan pelajaran kehidupan, yang belum mengerti apa-apa.

"Bapak hanya mengingatkan, Nak. Kalau di sana itu bahaya. Kalau saja kalian bisa masuk ke sana, Bapak tidak tahu, apakah kalian bisa keluar dengan selamat atau tidak."

Terkejut aku seketika, setelah mendengar ucapan bernada peringatan dari Bapak tua tersebut.

"Sebenarnya hubunganku dengan masalah ini apa, Pak? Kenapa aku bisa terseret sampai sejauh ini? Aku bingung dan hampir stres kalau kayak gini."

"Nduk, satu hal yang perlu kamu tahu. Sebenarnya..." belum juga Bapak itu melanjutkan kalimatnya, terjeda oleh satu suara ledakan yang berasal dari atas atap rumah, yang membuat Bapak itu keluar untuk memastikan.

"Bapak rasa, kalian harus menginap semalam dulu! Karena ini adalah sebuah peringatan! Dan jangan sampai kalian keluar dari rumah ini!" tegas dan berat ucapan bernada peringatan kali ini yang keluar dari Bibir tua miliknya. Seolah ada sesuatu yang mengancam.

"Sebenarnya apa, Pak?" aku bertanya, melanjutkan kalimat Bapak tadi yang sempat terjeda beberapa saat.

Sejenak Bapak itu terdiam, pandangannya tajam ke arahku. Sebelum satu kalimat lanjutan yang membuatku terkejut bukan main. Bukan karena ucapan tegas dan beratnya, melainkan satu kalimat bernada kebenaran dari semua peristiwa ini.

***

"Kinasih itu ... saudaramu, Nduk. Tapi beda ibuk." Pelan ucapan yang keluar dari bibir orang tua yang biasa di panggil warga setempat Mbah Warno. Sosok orang tua yang di tuakan di desa.

"Saudara saya, Pak!" aku menggeleng, masih tak percaya.

Mbah Warno mengangguk pelan sembari menghembuskan nafas. Seolah apa yang baru saja ia ucapkan mempunyai sejarah cerita yang kelam, terlihat dari pandangannya menatap lurus ke depan, seperti mempunyai beban yang berat.

"Iya, Nduk. Kinasih itu saudaramu tapi beda ibu. Akan Bapak ceritakan nanti, yang penting kalian bermalam dulu di rumah Bapak. Soalnya kedatangan kalian kesini sudah tercium oleh manusia biadab itu, yang Bapak takutkan kalau terjadi hal yang tidak saya inginkan terjadi." Lagi-lagi Mbah Warno memperingatkan.

"Ya sudah kalau begitu, Mbah. Kami nurut saja." Sahut Gama menyetujui perintah dari Mbah Warno sekaligus mengakhiri obrolan kami berlima.

***

Tak terasa waktu terus berputar, rasa bosan dan suntuk mulai aku rasakan yang sedari tadi hanya duduk bersender di ruang tamu. Ingin rasanya keluar rumah tapi ingat dengan pesan dari Mbah Warno, kalau aku dan semua teman-temanku tidak di ijinkan untuk keluar rumah. Sedangkan Murni, Riri dan Gama, mereka baru saja terbangun dari tidurnya.

Aku kemudian bangkit, ingin menghilangkan rasa bosan. Sesekali aku mengitari dalam rumah Mbah Warno, dari ruang tamu hingga dapur, tak ada yang menarik. Hanya beberapa barang perkakas seadanya. Tiba-tiba aku di kejutkan oleh anaknya Mbah Warno yang mendadak saja muncul dari arah ruangan lain.

"Cari apa, Mbak?" tanya anak perempuan Mbah Warno, saat setelah keluar dari ruangan yang kemudian melihatku.

"Oh... engg ... enggak Mbak. Hanya muter-muter saja, bosan."

"Lha Bapak kemana Mbak, kok saya cari gak ada dari tadi?" sambungku bertanya, membuka obrolan agar anak Mbah Waro tak curiga.

"Bapak lagi keluar Mbak, gak tahu kemana perginya. Kenapa Mbak?" ucapnya balik bertanya.

KINASIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang