Hal 08| Paksaan
☘☘☘
"Mas, apa saya boleh kerja?" tanya Enola saat sarapan. Magan menatapnya curiga Enola buru-buru menjelaskan, "Saya cuma agak bosan di rumah karena nggak ngapa-ngapain. Saya 'kan udah lulus beberapa bulan lalu, jadi—"
"Kalau kamu butuh uang, saya kasih berapa pun yang kamu mau."
"Bukan uang, Mas. Saya cuma bosan."
Enola sudah berbulan-bulan dikurung di rumah seperti burung dalam sangkar. Ia juga tidak diizinkan melakukan pekerjaan rumah apa pun. Kalau bosan, ia hanya bisa duduk di gazebo sambil memberi makan ikan.
Dulu, setelah lulus, Enola berniat melamar pekerjaan sebagai guru di beberapa sekolah. Namun, setelah menikah, rencananya tertunda. Sekarang, karena hanya berdiam diri di rumah, Enola ingin mencari pekerjaan untuk mengisi waktu luangnya. Setelah beberapa hari menimbang-nimbang, Enola memutuskan untuk meminta izin pada Magan agar diizinkan bekerja.
"Mas," panggil Enola. Magan, yang sudah selesai sarapan, bangkit dari kursinya dan keluar tanpa sepatah kata pun. Tak lama kemudian, Enola mendengar suara mobil yang menjauh. Ia berdiri di jendela, memandangi kepergian Magan dengan raut wajah sedih.
Enola merasa sikap Magan semakin hari semakin aneh. Awalnya, Magan terlihat penyayang dan perhatian, meski ekspresinya datar. Tapi lama-kelamaan, Magan jadi lebih temperamental, posesif, dan bahkan suka main tangan. Mungkinkah Enola terlalu cepat menerima pinangan Magan?
Bukannya Enola menyesal, tapi seharusnya ia menjalani ta'aruf lebih lama dan mengenal Magan lebih dulu. Ketegasan Magan sejak awal telah membuatnya patuh, sehingga ia langsung setuju dengan setiap keputusan Magan.
Tok! Tok!
Lamat-lamat Enola melamun, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Enola bangkit dari sofa dan membukakan pintu. Asisten Magan berdiri di depan pintu, membawa paper bag di tangan kanan dan ponsel di tangan kiri.
"Nyonya, ada titipan dari Bos Magan."
Enola menerima paper bag itu. Ia mengintip isinya dan melihat beberapa bola benang berwarna-warni di dalamnya.
"Tuan mau bicara." Asisten rumah tangga itu menyodorkan ponsel ke Enola. Meskipun tak tahu apa yang diinginkan Magan, Enola menerimanya dan menempelkan ke telinga.
"Assalamu'alaikum,"
"Kamu udah terima barang yang saya kirim?"
Enola melirik benda di tangannya. "Udah."
"Ya udah, buat sesuatu dari benda itu biar kamu nggak bosan."
"Tapi... saya nggak bisa merajut," akunya jujur.
"Belajar aja dari media sosial. Saya nggak mau dengar keluhan kamu lagi karena merasa bosan. Terserah mau ngapain aja sama benda itu." Sambungan telepon langsung diputus. Enola menatap benda di tangannya dengan linglung, sebelum asisten rumah tangganya berkata,
"Nyonya bisa belajar dari TV. Banyak kok yang bisa dibuat dari benda-benda itu."
"Baik, terima kasih."
Asisten mengambil kembali hpnya dan pamit undur diri. Enola memegang ponsel itu dan berjalan ke ruang TV untuk belajar merajut. Ia mengeluarkan beberapa bola benang berwarna lembut. Sambil menonton TV, ia belajar merajut sambil mempraktekkannya. Ia begitu fokus hingga tak menyadari sudah berapa lama duduk di depan TV.
Saat hendak mandi, shalat, atau makan malam, ia akan berhenti sebentar dan kembali melanjutkan aktivitasnya di kamar sampai Enola merasa mengantuk dan lelah. Setelah meregangkan otot-ototnya yang kaku, Enola merapikan peralatan rajutan dan syal setengah jadi itu ke dalam sebuah kotak, lalu menyimpannya di lemari.
Saat menyimpan barang di kabinet paling bawah, Enola tiba-tiba teringat foto yang dilihatnya seminggu lalu. Ia sebenarnya takut penasaran, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setelah berpikir sejenak, Enola menggeleng keras. Lebih baik ia tidak ikut campur urusan yang bukan urusannya.
Enola berwudu, membaca surah Al-Mulk, lalu berbaring di ranjang. Magan belum pulang, mungkin masih sibuk bekerja. Setelah mematikan lampu, Enola langsung tertidur. Namun beberapa saat kemudian, ia merasa sesak napas.
Enola merasa ada yang ganjal di kulitnya. Ia memaksakan diri untuk bangun, dan mendapati Magan menindihnya lagi. Enola hampir menendang Magan, sebelum teringat bahwa itu adalah suaminya. Hidung Enola berkerut, mencium aroma menyengat dari tubuh Magan.
Enola hampir menendang laki-laki itu sebelum teringat bahwa itu Magan, suaminya. Hidung Enola berkerut, mencium aroma menyengat dari tubuh Magan.
"Mas Magan mabuk, ya?" tanya Enola ragu. Ia tak yakin dengan aroma alkohol, tapi tingkah Magan benar-benar seperti orang mabuk.
"Kenapa? Kamu nggak suka lihat saya kayak gini?" Magan mendengus, menahan tangan Enola yang berusaha mendorongnya menjauh.
"Mas," protes Enola pelan. Bukannya menolak Magan, tapi aroma tubuh Magan membuatnya tidak nyaman. Ia ingin Magan mandi dulu sebelum melakukan hal itu. Namun, Magan salah paham dan mengira Enola menolaknya.
Cengkeraman Magan di pergelangan tangan Enola semakin kuat, matanya menyala marah. Giginya bergemeletuk, dan dengan ekspresi menakutkan ia berkata, "Kamu berani nolak saya, Nola? Saya ini suami kamu!"
"Ta-tapi Mas harus mandi dulu,"
"Kenapa? Saya bau?" Magan mencemooh.
"Bukan gitu, Mas. Tapi—"
Magan menyipitkan mata, menatap Enola dengan tatapan tajam sebelum memaksanya berhubungan. Perlakuan Magan kasar, Enola beberapa kali meminta berhenti, tapi Magan seperti kehilangan akal sehat dan tak menggubrisnya.
Sekali lagi, Enola dihancurkan secara fisik dan batin oleh suaminya.
****
VOTE + KOMEN

KAMU SEDANG MEMBACA
Kembalikan Cintaku S1 [REPUBLISH]
General Fiction[TAHAP REVISI] Enola tidak menyangka dihari kelulusannya, ia didatangi oleh laki-laki asing yang mengaku-ngaku telah mengenal Enola cukup baik. Dengan penuh keberanian, menemui kedua orang tuanya dan melamarnya dihari yang sama. Enola tidak pernah...