Dua hari sudah aku di rumah mama mertua. Namun, Azam tak ada datang. Dia hanya menghubungi orang tuanya lewat telepon.
Saat ini, aku sedang duduk santai di balkon kamar sambil menatap nomor suamiku yang aktif, tapi tak menerima panggilan ataupun balasan pesanku.
Sepertinya, dia masih marah kepadaku.
Tok tok tok
Terdengar suara pintu kamar diketuk dari luar. Dengan cepat, aku masuk ke kamar dan membuka pintu.
Ternyata Sabrina.
"Kak, aku mau bicara sebentar. Boleh?" tanyanya serius.
"Tentu, ayo masuk!" Aku segera menutup kembali pintu kamar setelah, Sabrina masuk ke dalam kamar.
Kami duduk di sofa saling berhadapan.
"Ada apa?" tanyaku penasaran.
"Apa kak sedang bertengkar dengan Kak AZam?" tanyanya dengan mata yang menatapku lekat.
Aku mendesah, berpikir sejenak. Lalu balas menatapnya.
"Iya, dia sangat marah padaku." Aku menjawab dengan jujur.
"Pasti ada alasannya dong, gak mungkin kakak semarah itu padamu." Sabrina terlihat serius dan sepertinya menganggap kalau aku lah yang bersalah dalam hal ini.
Tapi, memang begitu sih kenyataannya. Aku lah yang bersalah padanya.
"Begitulah, sebenarnya...." Aku kemudian menceritakan semuanya kepada Sabrina.
Bukan bermaksud menceritakan masalah rumah tangga kami, tapi berharap Sabrina bisa turut membantuku dan siapa tau, Azam gak marah lagi sama aku.
Sabrina mendesah, setelah mendengar penjelasanku.
"Kak Azam tidak marah, sepertinya dia hanya kecewa saja. Bukan kecewa karena kakak belum hamil, tapi lebih kecewa karena kakak menganggap pernikahan ini hanya main-main. Karena, kakak gak percaya sama Kak Azam. Dan itu, sungguh menyakiti hatinya," ujar Sabrina.
Aku hanya menunduk pasrah, ya itu benar adanya.
"Percayalah Kakak sangat mencintaimu, dia akan segera datang menjemputmu," ujar Sabrina.
Lalu, dia pamit. Katanya mau ada acara bareng teman-temannya.
Dan disini lah aku sekarang, duduk sendiri dalam kesedihan.
[P o v Author]
Azam sedang berada di kantornya. Dia bekerja lebih keras dari biasanya, hanya untuk membuang rasa kesal kepada istrinya.
Dia kecewa, karena Ayda sampai sekarang masih berpikir dirinya belum mencintainya.
Azam masuk ke dalam ruangannya, dia baru saja selesai meeting bersama Fadil.
"Kenapa ikut masuk?" Azam melirik Fadil dengan malas, yang mengikutinya masuk ke ruangannya.
"Hehehe, aku cuma mau ngobrol sebentar." Fadil nyengir kuda, lalu duduk di sofa, tepat di samping Azam.
"Ngobrol apa? Cepat, ini waktunya kerja," dengan malas Azam menjawab.
"Hm, apa kalian sedang bertengkar?" tanya Fadil kepo.
"Ck ck, kamu kepo banget," malas membahasnya sebenarnya, tapi Azam pikir mungkin Fadil bisa sedikit memberi solusi.
"Ish, siapa tau aku bisa membantumu Kak," sahut Fadil cepat.
"Kamu kan jomlo, mana ngerti urusan beginian," ledek Azam dengan senyuman tipis penuh ejekan.
"Hey aku sudah gak jomlo lagi kali!" sahut Fadil cepat, dengan pipi yang memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Istri Pura-pura
DragosteAyda terkejut, ketika seorang pria yang sama sekali tidak ia kenal tiba-tiba saja membawanya paksa dari tempat ia bekerja dan memintanya untuk menikah dengannya. Hanya sekedar untuk menjadi istri kontrak, untuk terhindar dari yang namanya mantan ist...