25| MUARA WAKTU

74 11 5
                                    


Empat bulan sudah Mikha menjauh dari Afghan, dan empat bulan juga Afghan selalu gencar mengejarnya, tanpa ada rasa lelah sedikitpun. Tidak ada kehangatan setiap kali Afghan menatap kedua netra gadis itu, sampai sekarang dia belum mengetahui apa alasan gadisnya memilih menjauh. Tidak mungkin tidak ada angin tapi terjadi badai. Seperti sekarang di rumah Excel, Afghan berdiri di samping gadis itu sembari menggengam tangan Mikha.

"Nggak usah sedih gitu, ntar kalau kangen Excel, kita pergi ke Malang," ucap Afghan menenangkan Mikha, jari-jemari cowok itu bergerak mengelus punggung tangan Mikha.

Mikha tidak peduli dengan perbuatan Afghan, yang ada di pikirannya hanya nama Abriel dan Excel. Selama lebih dari satu tahun bersama tidak mudah melepas keduanya. Tiga bulan yang lalu dia kehilangan Abriel. Apa sekarang dia juga harus melepaskan Excel.

Iya, tiga bulan lalu. Saat mereka baru duduk di bangku kelas XII. Tepatnya setelah Abriel dan Atlas pulang dari LCC. Abriel yang rela menyelamatkan Excel sampai rela mengorbankan nyawanya sendiri. Dan sekarang, Excel juga akan pergi ke Malang. Bagaimana bisa Excel melupakan Abriel jika setiap tempat yang dia lewati mengingatkannya pada cowok itu. Abriel dan Excel adalah sahabat sedari kecil, rumah mereka juga berhadapan. Pasti sangat susah buat Excel mengikhlaskan cowok itu. Makanya Excel memilih untuk pergi ke Malang, bukan untuk melupakan Abriel tapi untuk belajar mengikhlaskan kepergian cowok itu.

"Las, jagain Starla, ya."

"Lo juga, Af. Jagain Mikha, gue berharap hubungan kalian berdua cepet membaik. Oh, ya. Kalau kalian kangen gue, ke Malang aja, sambil liburan di sana."

Semuanya mengangguk, Excel tidak kuasa menahan air matanya. Dengan kekehan dia kembali berucap. "Pokoknya jangan lupain gue, kalau sampai berani lupain gue. Siap-siap gue tendang lo pada ke neraka."

"Nggak jadi mellow." Starla mengusap ujung matanya yang sedikit berair, lalu tawanya pecah begitu saja. Gadis itu mendekati Excel kemudian memeluknya, pun dengan Mikha. Gadis itu melakukan hal yang sama dengan Starla.

"Jangan lupain kita juga, ya," kata Starla.

"Gue yakin lo bisa ikhlasin Ariel," sambung Mikha. Kedua gadis itu masih memeluk tubuh Excel.

"Iya-iya, udah ih lepas. Bisa mati gue," ucap Excel jenaka. Untuk hari ini saja dia tidak mau terlihat sedih di depan teman-temannya, sudah cukup selama tiga bulan terakhir teman-temannya dibuat repot karena kesedihannya yang belum bisa mengikhlaskan Ariel.

Kedua gadis itu lantas melepas pelukannya. Excel lantas menatap Afghan dan Atlas yang hanya diam. "Lo berdua nggak mau peluk gue?"

Afghan spontan menggeleng. "Takut cewek gue marah," ucapnya sembari melirik Mikha. Yang dilirik malah terlihat cuek tidak peduli.

Dengan bibir mengerucut Excel bertanya pada Atlas. "Lo, Las?"

"Star, boleh?" Atlas meminta izin terlebih dahulu pada Starla. Atlas sama seperti Afghan takut jika gadisnya marah, Starla kalau marah susah banget dibujuk soalnya.

Starla mengangguk membuat Atlas langsung mendekati Excel dan memeluk sahabatnya sedari kelas sepuluh itu. "Kalau ada apa-apa kabari gue," pinta Atlas.

"Las, makasih, ya. Karena buku matematika Ariel yang lo kasih, gue bisa sadar hehe." Excel kembali menangis di pelukan Atlas, tapi gadis itu masih sempat-sempatnya tertawa supaya tidak membuat dirinya ditatap menyedihkan lagi.

Atlas mengelus punggung Excel. "Lo cewek kuat. Ikhlasin Ariel, ya. Biar dia juga tenang di sana."

"Kok gue jadi sedih." Afghan mengusap ujung matanya yang tidak kenapa-kenapa. "Mau ikut," lanjutnya lalu berjalan mendekati Excel dan Atlas.

HELLO, AFGHAN! | ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang