18| HARI YANG MELELAHKAN

112 12 3
                                    

Hallo, i'm back 🤟

Satu vote + komen kalian, semangatku!!!

🔥🔥🔥🔥

Angin malam menerpa wajah Afghan yang sesekali meneteskan air mata kesedihan. Semesta seolah sedang mempermainkan dirinya. Hidup dengan menyenangkan yang selalu dia minta pada Tuhan sampai detik ini belum juga dia dapatkan. Duduk di atas motor besarnya dengan tatapan tidak lepas dari rumah mewah di depan pelupuk matanya. Rumah mewah yang selalu memberinya rasa sakit. Rumah mewah yang tidak pernah memberikan kenyamanan sedetikpun kepadanya. Rumah mewah yang sudah hampir dua tahun dia tinggalkan, dan malam ini dia harus kembali menapakkan kaki ke dalam sana.

Turun dari atas motor besarnya, lalu sedikit merapikan kemeja yang dia kenakan. Sungguh, Afghan terpaksa datang ke sini. Setelah mengantarkan Mikha pulang, dia langsung datang ke rumah orangtuanya. Lagi-lagi karena ancaman papinya. Hari ini Afghan sudah sangat capek, karena perkelahian dirinya dengan Mikha. Ditambah malam ini, Afghan yakin malam ini akan menambah lukanya.

Dengan langkah berat Afghan memasuki rumah milik kedua orangtuanya. Saat baru masuk, netranya sudah disuguhkan dengan tatapan dingin dari kedua orangtuanya yang sudah duduk sebelahan di meja makan. Tidak hanya orang tuanya, di sana ada kakek yang menatapnya tidak kalah dingin. Mengembuskan napas pelan, Afghan berjalan ke sana. Dia langsung saja duduk di kursi yang memang sudah dikhususkan untuknya, tanpa menyalimi tiga orang dewasa yang sama-sama menatapnya dingin. Makan malam bersama kakek, begitulah kira-kira pesan yang papinya kirim.

"Habis dari mana kamu?" tanya papi Afghan---Rendra.

Afghan tidak menjawab, malas sekali rasanya menjawab basa-basi dari papinya ini. Dasar tua bangka, sudah tua masih saja suka acting. Memilih untuk mengambil nasi dan lauk, lalu mulai memakannya.

"Afa! Papi tanya kamu habis dari mana?!"

Dentingan sendok dan garpu yang sedikit keras langsung terdengar. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Afghan.

Cowok itu mengangkat pandangannya menatap papinya bengis. "Habis main sama jalang," sarkas Afghan tanpa takut.

Urat di leher Rendra langsung menonjol, Afghan dapat melihat itu. Dia juga bisa melihat, kalau papinya menahan diri untuk tidak menggamparnya. Afghan tidak peduli, dia sudah siap menerima amukan dari tua bangka satu ini jika nanti kakeknya sudah pulang.

Tidak hanya papinya, Vina---mami Afghan juga tidak kalah tajam menatapnya. Sekali lagi Afghan tidak peduli. Dia tidak akan mau mengikuti acting dari kedua orangtuanya ini.

"Kamu masih saja seperti itu, Afa? Mau sampai kapan kamu meniru sikap papi kamu, hah?"

Kali ini bukan suara Rendra, tentu saja suara kakeknya atau lebih tepatnya ayah Vina. Tua bangka satu itu memang tidak bisa diam, rasanya Afghan ingin menyumpal mulutnya atau menendang kakeknya ke neraka saja.

"Anda sudah tahu, kan, sikap papi saya seperti apa? Suka gilir pelacur, dan itu turun ke saya. Lantas kenapa anda tidak menyuruh putri anda cerai dengan papi saya?" Afghan tidak takut sama sekali, dia justru menatap bengis kakeknya itu.

"Afa, kamu bisa jaga ucapan kamu? Itu kakek kamu, di mana sopan santun kamu sebagai cucu, hah?" suara Vina terdengar sangat jelas dan penuh penekanan di setiap katanya.

Afghan yang mulanya menatap kakeknya kini beralih menatap maminya. "Mami nyuruh Afa jaga sikap? Gimana caranya, Mi? Mami bahkan nggak pernah ngajarin Afa sopan santun." Afghan tersenyum smirk.

Vina mengepalkan tangannya kuat. Sedangkan Rendra hanya diam, Afghan tahu jika papinya juga ingin menghabisi kakek. Tapi, sebisa mungkin papinya menahan untuk melakukannya.

HELLO, AFGHAN! | ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang