Sudah Sebulan berlalu sejak dia datang untuk menjemput, selama itu juga dia rasakan risau hati yang berlarut-larut, meski hati ingin membenci namun rasa kasih yang dirasa begitu kuat untuk bertahan, bahkan hanya untuk melupakan dengan mendekati yang lain, bayangannya sulit untuk dihempaskan.
Pertemuan yang mengundang luka dihati tak sanggup untuk diri melupakan dia yang terkasih, terkadang rindu selalu datang bagai angin yang menggebu-gebu, namun ucap luka yang dikatakan membuat rindu hanya bersarang lantas membuat sesak dikala rindu sesekali keluar.
Malam yang menjadi awal penyatuan dan sisa senja yang menjadi akhir dari pertemuan, jalan pikiran yang sulit untuk diurai membuatnya tak pernah bisa mengerti dia yang kini jauh dari diri, apa yang sebenarnya dia pikirkan? Kenapa setiap kata, sikap serta sorot matanya tak pernah bisa di mengerti. Sebenarnya kehampaan apa yang dia alami?
Katakanlah mereka masih terlalu muda untuk memahami sebuah perasaan. Namun lambat-laun pengertian akan Rasa yang bersarang akan segera dimengerti, meski sang lelaki yang sedikit tak sabaran dan tak ingin mengerti apa yang dia lakukan. Cinta. Tak ada yang mengerti itu.
Dia hanyalah sebuah rasa yang rumit namun begitu berharga untuk dilindungi.
•
•
•
Riuh-piuh isi kelas F ketika jam kosong membuat bangga hati seluruh siswanya, pemanfaatan waktu seperti ini sangatlah berharga hanya untuk mengisi perut dengan makanan kantin dan gosip yang puaskan mulut gadis-gadis diiringi tawa yang hiasi perbincangan akan rumor-rumor yang beredar.
Jim mulai kembali kedalam kebiasaanya yang hanya tidur dikelas, sejujurnya mata yang tertutup tak benar-benar membawanya masuk kealam bawah sadar, dia menutup mata mencoba untuk melarikan diri dari kenyataan jika sang terkasih akan segera menuju pelaminan meninggalkan dia yang kini melirih dengan perasaan mulai retak dan berserakan.
"Ini makanlah, kau semakin kurus kawan" suara berat lelaki tampan itu terdengar dengan sebuah roti isi daging yang dia simpan tepat didepan Jim yang masih bersandar dimeja dengan mata yang tertutup.
"Bawa saja. Aku tidak lapar" Suara lirih terdengar malas untuk Leo dengar,
"Minji bilang kau jarang makan, apa dengan memikirkan Jennie membuatmu kenyang? " Dengan malas Jim membuka mata dan menatap Leo yang berdiri memandangnya, mata tajam lelaki itu begitu mengintimidasi.
"Meembuatku sakit bukan kenyang dan kesakitan itu membuatku malas makan. Mengerti kau?" Jim berucap ia mulai duduk tegak, ia buka perlahan roti yang Leo beri, Leo menghela nafas,
"Lusa kau mau datang kepernikahan Jennie? " Leo bertanya pada Jim, membuat lelaki itu seketika tersedak,
"Ugh. Kau gila? Mana mungkin, aku tidak mau datang hanya untuk menghancurkan hati, hanya orang bodoh yang datang kepernikahan orang yang dicintai" Leo terkekeh dengan apa yang Jim ucapkan, Dia menghela nafas kembali,
"Besok aku akan kesana, kau mau menitip salam?"
"Katakan padanya, Membusuk saja dengan Sibajingan anjing itu. " Jim tak benar-benar berucap dari hati, namun ia menggunakan perkataan menghina hanya untuk menguatkan hatinya sendiri.
"Huahahaha, baiklah akan ku beritahu dia" Jim hanya mengangguk dengan gigi mengunyah Roti,
Bagai ribuan jarum yang menembus jantung, sakit dalam dada terasa begitu meenyakitkan, hati yang teriiris dengan kabar yang membuat pilu perasaan.
Sejujurnya...aku tak ingin melepaskanmu. Namun aku juga tak ingin mengorbankan perasaanku lebih jauh lagi.
Cinta itu menyakitkan dan aku tak ingin lagi merasakannya.