Hal 18 | Keluarga
🐞🐞🐞
Enola sangat terpukul setelah kehilangan calon bayinya. Ia menangis berhari-hari hingga suaranya serak. Ia menggenggam erat pakaiannya di sekitar perut, pikirannya dipenuhi bayangan perutnya yang kosong, tak lagi berisi buah hatinya.
Magan begitu kejam, membunuh bayi mereka dengan cara licik. Enola menyalahkan dirinya sendiri. Seandainya ia curiga sedikit saja pada susu yang diberikan Magan, mungkin ia tak akan meminumnya. Kini, ia telah kehilangan buah hatinya.
"Tsk!" Magan baru saja pulang dari perjalanan bisnis. Begitu pintu terbuka, yang dilihatnya adalah Enola duduk di tepi ranjang, menangis. Magan sudah muak dengan keadaan Enola yang tak kunjung membaik, meski ia telah pergi berhari-hari.
Apa yang Magan harapkan dari Enola? Bahwa seorang ibu yang baru saja dipaksa berpisah dengan anaknya—bayi yang bahkan belum sempat merasakan dunia—dapat pulih dengan cepat? Apakah Magan mengira kesedihan mendalam yang dialami Enola akan sirna begitu saja, bahwa luka di hatinya akan sembuh dalam waktu singkat? Tentu saja tidak semudah itu. Enola baru saja merasakan kebahagiaan, dia baru saja merasa senang sebelum semuanya buyar di lenyapkan oleh sang suami.
"Berhenti nangis!" bentak Magan. Dia mencengkeram dagu Enola, memaksa perempuan itu menatapnya. "Kalau kamu pengen banget punya anak, gimana kalau kita coba lagi? Kali ini saya akan berbaik hati, ngebiarin kamu hamil beberapa bulan. Setuju?"
Enola menelan ludah, gugup. Kepalanya menggeleng kuat, tubuhnya menegang, berusaha menghindar dari Magan. Ia memeluk selimut erat-erat.
Magan berdecih, berjalan ke lemari mengambil pakaian bersih, lalu masuk ke kamar mandi.
Setelah menutup pintu kamar mandi, Enola menyeka kasar air matanya. Ia mengawasi pintu dengan waspada. Setelah yakin aman, ia perlahan menurunkan kaki ke lantai, hati masih berdebar-debar. Ia harus kabur dari sini jika ingin selamat. Statusnya sebagai istri Magan tak lagi penting. Magan semakin hari semakin menyeramkan, Enola takut berada di ruangan yang sama dengannya.
Pintu ternyata tidak terkunci, setelah Enola berhasil membukanya dengan mudah. Kepalang takut tertangkap, Enola langsung melarikan diri tanpa menyadari para pengawal ada di belakangnya dan mengejar. Bahkan para pembantu yang kebetulan lewat ikut terkejut menyaksikan adegan menegangkan itu. Enola berlari sekencang-kencangnya, meninggalkan kekacauan di belakangnya.
Detak jantungnya berdebar kencang, campuran antara rasa takut dan lega. Ia hampir berhasil melarikan diri. Hanya beberapa meter lagi sebelum mencapai pintu, kebebasan sudah di depan mata, tiba-tiba sebuah bayangan hitam melintas cepat, dan pintu dibanting menutup. Enola lemas, jatuh terduduk di lantai, menangis tersedu-sedu. Magan menyeretnya berdiri dengan kasar. Ia menggertakkan gigi, menahan diri untuk tidak membunuh Enola saat itu juga.
Setelah menutup pintu kamar, Magan menguncinya dan melempar kunci ke sembarang arah. Ia menyeret tubuh Enola yang lemas, melemparnya ke atas ranjang. Lalu, ia berbalik menuju lemari, mengacak-acak laci dan mengeluarkan rantai panjang.
Enola tak melawan lagi saat kedua tangannya diikat rantai di sisi ranjang. Semangatnya telah padam setelah kembali tertangkap Magan. Kemarahan membara di mata Magan. Tanpa ragu, ia mengambil kapak dari dalam kabinet—kapak yang sengaja ia simpan untuk berjaga-jaga. Ia berdiri di bawah kaki Enola, mengangkat kapak tinggi-tinggi. Enola pasrah, menerima takdirnya. Hati Enola bergetar hebat, menanti kematian yang terasa begitu dekat. Namun... tiba-tiba...
BRAK!!
Kapak itu jatuh ke lantai. Dadanya kembang kempis, menahan marah. Ia mengacak rambutnya frustasi lalu mondar-mandir di depan ranjang dengan gelisah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kembalikan Cintaku S1 [REPUBLISH]
Ficción General[TAHAP REVISI] Enola tidak menyangka dihari kelulusannya, ia didatangi oleh laki-laki asing yang mengaku-ngaku telah mengenal Enola cukup baik. Dengan penuh keberanian, menemui kedua orang tuanya dan melamarnya dihari yang sama. Enola tidak pernah...