Chapt. 7

614 35 2
                                    

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bagaimana kabarmu, Chaens? Kuat puasa? Semoga, lancar terus sampai lebaran, ya.

Selamat Membaca ^•^
Jangan lupa vote dan komen

================================================





Keluarga Aiden telah tiba di pondok pesantren, yang saat ini ada di Ndalem bersama Abah Kyai. Mereka tiba, tepat saat shalat dhuhur selesai dilaksanakan. Untungnya, saat itu, ada Nyai yang ada di sana. Tidak ikut shalat berjamaah.

Sejak tadi, penuh pertanyaan di dalam benak Aiden. Namun, ia enggan untuk bertanya karena menunggu orang tua, sekaligus kakeknya yang memberitahu.

"Nak, kamu tahu, apa maksud kedatangan orang tuamu ke sini? Sekaligus, maksud kakek menyuruhmu untuk ke ponpes ini," ujar Abah Kyai.

Aiden menggeleng. Wajahnya masih menampilkan wajah yang sama. Heran dan penuh curiga. "Tidak, Kakek. Mengapa?"

Abah Kyai, yang dikenal dengan Kyai Walid, tersenyum tipis. Kemudian, melempar tatapan pada kedua orang tua Aiden yang berada di samping Aiden.

"Biarkan ayahmu yang berbicara."

Ayah Aiden bernama Raihan, menegakkan badannya. Kemudian, tatapannya menatap putranya yang kini tumbuh menjadi pria hampir dewasa. Sebenarnya, ia masih berat mengungkapkan hal ini. Mengingat bahwa putranya baru saja lulus SMA dan baru bekerja beberapa bulan.

Namun, semakin cepat, bukankah semakin baik? Raihan tahu, apa yang terbaik untuk anaknya. Terlebih ini adalah pertimbangan dari kakeknya juga.

Coba bayangkan, putranya semakin dewasa. Pastilah punya nalar berkeinginan untuk mencari kekasih selalu ada. Meski belum pernah bercerita mengenai seorang perempuan, kedua orang tuanya yakin, Aiden pernah mengagumi seorang wanita.

Aiden masih menatap ayahnya. Keempat netra itu, saling bertatapan sejak puluhan detik yang lalu. Lantas, Aiden memberanikan diri untuk berujar. "Ayah, ada apa?"

Raihan tersenyum. Suara putranya bahkan semakin dalam saja. "Sebelumnya ayah mau tanya, apa kamu sudah memiliki kekasih, anakku?"

Mendengar pertanyaannya, Aiden sudah cukup was-was. Ini adalah pembicaraan yang belum siap ia bicarakan. Namun, sebisa mungkin, ia menahan ketegangannya.

"Tidak, Ayah. Iden baru saja selesai sekolah, baru bekerja juga. Jikalau Iden punya pun, Iden belum sanggup untuk memberikan kebahagiaan," jawab Aiden.

Jawaban dari Aiden masih dirasa kurang oleh ayah dan kakeknya. Saat putra Raihan itu, menjelaskan bahwa ia belum sanggup memberikan kebahagiaan untuk kekasihnya kelak.

"Kebahagiaan apa itu?" tanya Kyai Walid.

Aiden pun terdiam sesaat. Memikirkan, bagaimana reaksi orang tua sekaligus kakek, neneknya jika tahu alasan yang akan ia berikan.

"Shopping."

Singkat, padat, dan jelas. Meski tak semua perempuan suka berbelanja banyak, namun, untuk berjaga-jaga saja. Aiden ingin mengumpulkan banyak uang dulu. Demi kebutuhannya, keluarganya, juga anak panti yang selalu ia kunjungi bersama ZxVorst Team.

Belum sampai ke pembahasan sana pun, Aiden semakin dibuat bimbang. Ditambah dengan ucapan kakeknya, yang membuatnya diam seribu bahasa.

"Nak, dengarkan, ya. Jangan menyela," ucap Kyai Walid dengan mendekatkan diri ke Aiden. "Kakekmu ini sudah tua. Ada satu permintaan kakek yang kakek mau, kamu menurutinya. Apa kamu sanggup?"

Hi, We Are ZxVorst Team Where stories live. Discover now