Chapt. 8

586 39 1
                                    

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Chaens.
Gimana? 2 bab vibes cem ponpes begini. Gada lawakan sama sekali. Capeeek.

Masih nanya, gimana nasib tasnya Hazell? Yuk, kepoin.

Selamat Membaca ^•^
Jangan lupa vote dan komen

==================================================




"APEN, TOLONG BUANG SAMPAH!"

"APEN, TOLONG MASUKKIN BAJU KE MESIN CUCI!!"

Mondar-mandir Ravend selama di rumah. Menjadi asisten nyonya Rain selama sehari ini. Disuruh-suruh, diminta tolong, seakan tak ada member lain saja.

"Woy, gue capek. Lo kira gue babu? Udah nggak bilang terima kasih lagi," ucapnya sedikit berteriak.

Rain yang sedang memasak itu segera menyahut. Sembari salah satu tangannya berada di pinggang, dan tangan satunya mengaduk sup ayam. "Ya, makasih."

"Apaan, makasih doang?"

"Elo banyak protes, Pen! Kalau nggak ikhlas, nggak usah lakuin!"

Arsen langsung terdiam mendengarnya. Cowok itu masih saja bermain dengan kedua kucingnya sejak jam 10 pagi. Tak ada kata bosan. Ketika kedua kucingnya bergerak aktif ke sana-sini, mengeong, dan membuat ulah.

Kalau kata Ravend, Arsen sibuk sama kucingnya dan bersikap seperti anak kecil, berarti sedang berganti jiwa menjadi Joel. Jika ia bersikap dewasa, maka ia sedang berganti jiwa menjadi Isamu. Ya, terserah lah.

"Huh, serba salah ...." Ravend mendengkus pelan. Beginilah jadi Ravend. Apa saja disalahkan. Kadang benar, tapi ya, kadang.

Ketika suasana kembali hening. Suara Starlie membangkitkan suasana. Ia baru saja datang dan masuk ke dapur dengan tangan tak kosong. Di belakangnya ada Varess dan Jessie juga dan membawa barang.

Taulah. Pasti mereka habis shopping. Sempat izin ke Aiden katanya, namun tidak dijawab oleh Aiden. Mungkin karena sibuknya di pondok pesantren, maka mereka bertiga pun menyampaikan izin ke Hazell. Sayangnya, gadis itu pun tak menjawab sebab hp yang ada di tasnya tertinggal di Ndalem.

"Hai, penghuni rumah bernyawa. Bintangmu yang bersinar ini membawa berkah!"

Starlie menuju meja, lalu meletakkannya belanjaannya. "Huh, lelah juga." Kemudian, duduk dan menyandarkan punggungnya. Diik

Jessie nampak masih mengapit teleponnya di antara pundak dan kepalanya. Mulutnya berkomat-kamit, alisnya naik sebelah, dahinya mengerut. Kemudian, matanya mendelik. "Serius lo?" tanya ia dengan suara yang tak rendah.

Yang di dapur pun memperhatikannya. Namun, tak berani menyela. Menunggu Jessie berhenti bertelepon dengan seseorang. Suara di seberang pun tak begitu jelas.

Lama terjadi keheningan. Antara Jessie yang sibuk mendengarkan si penelepon dan lainnya yang masih memperhatikan Jessie.

"Nah, itu gue juga heran. Kenapa heran, ya, dia? Herannya itu, buat orang makin tambah heran. Makanya, gue heran juga sama keheranan dia," ucapnya.

Apa yang disampaikan Jessie juga turut membuat yang lain heran. Ada apa gerangan? Mengapa semuanya menjadi heran?

Terdengar suara tawa dari Jessie. Gadis itu tidak menaruh belanjaannya dahulu. Masih berdiri di tengah perbatasan ruang tamu dan dapur.

Hi, We Are ZxVorst Team Where stories live. Discover now