Chapt. 11

561 35 7
                                    

Eyyy, sedang apa kau?
Pasti sedang membaca ini. Iyalah

Ada yang Aiden kenapa? Ada yang udah nebak? Yuk, komen

==========================================

Terlepas dari dugaan Aiden mabuk itu, kini sang ketua ZxVorst tengah berbaring lemas di ranjang rumah sakit. Tangannya terpasang infus dan hidunya tersambung tabung oksigen. Miris melihatnya.

"Lo kalau dah bangun, jangan lupa bayar pajak ke gue, ya, Den. Atas apa yang gue korbanin buat betulin toilet," ucap Ravend di sebelah kanan Aiden.

Bahkan, sejam lamanya ia berusaha mengajak ngobrol Aiden. Namun, yang ia dapat hanyalah sebuah omongan temannya yang menyinyir.

Rain jengah. Ia mulai tak kerasan di sini. Pikirannya terpaku pada cucian di rumah, masakan yang di atas meja makan belum ditutup, jendela-jendela, hingga jemuran yang entah apakah sekarang masih berada di posisinya atau nyangkut di atas pohon mangga lagi.

Karena merasa tak tenang, Rain memutuskan untuk menghampiri Aiden seraya berpamitan. "Den, gue balik, ya? Cucian numpuk tuh di rumah. Belum beresin kamar lo juga."

Jelas saja tidak akan ada sahutan. Manusia yang terbaring itu tak kunjung membuka matanya sejak dibawa ke ruangan ini. Ruang khusus untuk satu pasien saja. Sengaja, agar ketika seluruh anggota ZxVorst menjenguk, tak akan berdesakkan.

Ravend melirik sejenak, kemudian menyela. "Ke sini lagi bawain gue martabak, ya, Jan. Gue laper."

Rain menoyor jidat Ravend. "Pala lo! Kalau lapar, ya, makan sana. Banyak pedagang asongan noh di depan!"

"Ish, gue mager, sumpah!"

"Ya, kalau lo nunggu gue ke sini, bisa-bisa udah ganti hari. Apalagi dah malam. Begonya ga usah disimpan, Pen!"

"Lo mau gue kasih kebegoan, nggak?" tanya Ravend bercanda. Namun, ia kembali menerima toyoran.

"Ogah!" tolak Rain, kemudian melangkah meninggalkan ruangan. Tanpa berpamitan pada yang lain karena semuanya telah memejamkan matanya di atas tikar, terkecuali Ravend.

Namun, baru sepersekian detik Rain meninggalkan ruangan, Aiden tiba-tiba saja menggerakkan tangannya. Kakinya terasa sangat kaku, seluruh tubuhnya sungguh pegal.

Ia melenguh, hingga Ravend yang berada di sisinya menoleh. Kemudian, ia bertanya. "Kok, gue di sini? Siapa yang ngangkat gue?"

Ravend dengan wajah agak kesalnya membalas, "Gue gotong pakai kerenda mayat noh!" ucapnya seraya menoyor kepala Aiden.

Tatapan sang leader seketika berubah. Sinis dengan wajah yang kesal. "Gue ngga lagi bercanda. Lo bisa serius?"

"Minta diseriusin gimana lagi? Lagian elo, udah tahu ada masalah, ngapain segala mabuk? Dipikir bisa bikin lo jadi tenang? Kagak!" kesal Ravend. "Mikir pakai otak lah, Den. Jangan pakai hati. Hati lo itu buat nyimpen perasaan yang baik aja, simpan hal yang baik, yang buruk lo pendem di usus kek, lambung atau empedu. Hati lo harus suci, sesuci otak gue," lanjutnya.

Aiden membuang muka. Ia merasa tak enak hati. Apa yang dikatakan Ravend benar adanya. Ia tidak mengada-ada. Namun, perasaan mengganjal seketika menyelimuti hatinya. Sebagai sang ketua, tentunya ia harus menjadi panutan yang baik. Lantas bagaimana? Ia bahkan mencontohkan hal yang buruk. Sangat buruk.

Hi, We Are ZxVorst Team Where stories live. Discover now