Bab 5

168 27 4
                                    

*

Aku pergi ke kuil, akan kembali sebelum makan siang—berbohonglah sedikit pada nenek sihir itu agar kau tak kena marah karena-ku.

Xiao Yi Er menghela napas berat saat membaca secarik kertas yang ditinggalkan tepat di samping alas tidurnya. Sebuah pesan ditinggalkan oleh sahabatnya.

Hela napas itu tentu saja karena ia lagi-lagi harus berbohong pada nenek sihir pemilik Qingluo, dan malangnya kebohongannya tak pernah berhasil hingga akhirnya dia akan tetap terkena semburan amarah wanita tua itu.

Dengan malas Yi Er bangkit dari tidurnya, melemparkan kertas bertuliskan pesan itu kesembarang arah sementara dia sendiri berjalan ke arah cermin—menatap pantulan bayangannya sendiri di permukaan halus benda itu. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat memandang bayangannya sendiri di cermin...

Sementara itu, di tempat lain—beberapa ratus meter dari Qingluo, Xiao Zhan tengah berjalan dengan langkah yang sedikit terburu menuju ke satu arah, ke sebuah bukit dibagian barat ibukota—tempat berdirinya sebuah kuil.

Wajah pemuda itu tertunduk tak lepas memadangi jalanan seperti orang yang meneliti kemungkinan adanya koin jatuh disana. Biasanya seorang calon nanji tidak pernah pergi keluar Qingluo sendirian, karena itu Xiao Zhan terus berjalan menunduk—takut jika ada pria yang pernah menjadi tamu-nya melihatnya sendirian di luar Qingluo.

Terus dan terus berjalan dengan langkah kaki yang tanpa disadarinya semakin cepat saat kedua pasang matanya sudah bisa menangkap gerbang kuil di ujung jalan—tanda bahwa jalanan akan semakin mendaki karena kuil yang ditujunya ada di puncak bukit itu.

Xiao Zhan sebenarnya juga tak tahu apa yang membuatnya harus ke sana—berdoa 'kah? Ia pun tak tahu pasti apa yang akan dimintanya ditempat itu, yang pasti ketika terbangun dari tidurnya yang hanya sekejap malam itu—sesuatu dalam hatinya memerintahkannya untuk pergi.

Napas Zhan mulai tersengal-sengal karena ia hampir berlari menapaki anak-anak tangga dari bebatuan yang menjadi jalan termudah untuk mencapai kuil. Sayup-sayup terdengar suara segerombolan pria saling bersahutan memberi isyarat baginya untuk menepi sebentar memberi mereka jalan untuk lewat. Mereka adalah rombongan prajurit kekaisaran yang tengah latihan pagi—menyusuri jalan setapak mengelilingi bukit itu.

Xiao Zhan pikir ia sudah memberi jarak yang cukup bagi pria-pria berseragam militer itu untuk lewat—namun ternyata dugaannya meleset. Ia berdiri di tempat yang salah—bahu-bahu kekar beberapa orang dari pasukan itu menabraknya, membuatnya pijakannya goyah—tubuhnya oleng, dan ya....

Pemuda tampan bertubuh ramping itu jatuh tergelincir—tubuhnya beberapa kali menghantam anak-anak tangga sebelum mendarat dengan posisi telungkup diatas anak tangga yang space-nya cukup luas. Ia hanya bisa mengaduh pelan sambil berusaha bangun dari posisi telungkupnya—berharap akan ada salah satu dari prajurit itu setidaknya menolongnya untuk bangkit.

Sayangnya, nihil. Sekelompok prajurit itu berlalu begitu saja—meninggalkannya meringis menahan sakit karena luka-luka lecet di betis dan siku-nya, sementara ia merasa ngilu di pergelangan kakinya—menerka-nerka kemungkinan sendinya bergeser.

"Xiao Zhan?!" suara familiar yag terdengar panik itu membuat Zhan terkejut dan dengan segera mengangkat wajahnya mencari sang pemilik suara.

Terkaannya tepat. Pria itu berdiri disana—dalam balutan pakaian seragam militer hitam dan pedang yang terselip di pinggang kirinya—Wang Yibo. Wajah pria itu terlihat sangat khawatir—dan dalam hitungan detik ia telah berlutut tepat disampingnya, menyentuh lengannya yang terluka. Hati Xiao Zhan terasa sesak seketika—ekspresi khawatir di wajah pria itu adalah untuknya....

  Xiǎo Tùzǐ  [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang