Bab 9

161 20 1
                                    


**

Suara amukan dan benda-benda yang jatuh saling berbenturan dengan lantai kayu terdengar dari dalam ruang pribadi Xiao Zhan malam itu—malam setelah pertemuan rahasianya dengan Wang Yibo.

Kemungkinan terburuk yang bahkan tak terbersit sedikit pun dikepalanya saat menghabiskan malam bersama orang yang dicintainya menjadi kenyataan malam itu...

Sang jendral mengamuk. Amarahnya meledak tepat sesaat setelah ia melihat semua bekas kiss mark yang tertinggal ditubuh Xiao Zhan yang berbaring diatas tempat tidur dengan setiap lapisan pakaiannya yang terbuka. Setelah bersabar menunggu selama empat belas hari, ia bermaksud menikmati tubuh pemuda itu—namun apa yang dilihatnya saat itu membuat semua kendali dirinya lepas.

Dengan kasar Wen Zhou mencengkaram rahang pemuda bersurai hitam itu—menariknya hingga separuh tubuhnya yang terbaring terangkat, menatap tajam kedua bola mata yang jelas bergetar takut.

Xiao Zhan gemetar--rasa takut itu merambat perlahan melalui aliran darahnya—rasa takut yang seolah menahan deru napasnya. Pemuda ramping itu bisa melihat semuanya—semua yang ada di dalam pikiran pria dihadapannya itu dan akibat dari rencana yang dipikirkannya saat ini.

Ia bisa melihat jelas apa yang akan terjadi pada cintanya....

Ya, setalah sekian lama—pemuda itu bisa kembali merasakan datangnya kejadian buruk, dan kali ini ia melihat peristiwa yang akan membuatnya kehilangan Wang Yibo selamanya. Bayangan itu terpantul jelas di refleksi kedua manik mata elang sang jendral yang menatap tajam padanya.

"Kau tahu Xiao Zhan...." desisnya mengancam tepat diwajah Zhan yang mulai meringis karena rasa sakit. "Aku tak pernah main-main dengan semua ucapanku. Saat kubilang, hanya jasad Wang Yibo yang akan kau lihat memasuki gerbang rumah ini....maka itu-lah yang akan terjadi," suara pria itu sangat rendah, berusaha meredam amarahnya agar ia tak menyobek tenggorokan Xiao Zhan dengan belati yang selalu tersimpan didalam lipatan bajunya.

Lagi-lagi dengan kasar pria itu menghempaskan tubuh Xiao Zhan ke atas alas tidurnya sementara ia sendiri bangkit dari posisinya sambil merapikan pakaiannya bermaksud meninggalkan ruangan itu. Namun, belum sempat kakinya melangkah—sepasang lengan memeluk erat salah satu kakinya, menahannya meninggalkan tempat itu.

"Jenderal?!"

Xiao Zhan merendahkan dirinya, memohon pada pria itu.

"Kumohon, jangan lakukan apapun padanya. Kau boleh melakukan apa pun padaku, dan aku bersumpah akan menghapus semua tentangnya dari dalam kepalaku. Kumohon biarkan dia tetap hidup."

Melihat Xiao Zhan memohon sampai seperti itu nyata-nya justru membuat amarah sang jendral semakin memuncak hingga ia tak bisa lagi menahannya—dengan kasar ia menendang tubuh itu hingga melepaskan tangannya dari menahan gerak kaki-nya.

Amarah berhasil merubuhkan prinsipnya untuk tidak menyakiti pemuda itu lagi—kedua manik matanya tajam melihat Xiao Zhan yang saat itu mulai berkaca-kaca kedua matanya, dengan ekspresi wajah mengiba agar ia melakukan apa yang dimintanya tadi.

Tapi seorang Wen Zhou tidak bodoh. Membiarkan Wang Yibo hidup sama saja dengan memendam bibit rasa yang ada di dalam hati pemuda itu sementara—dan ia hanya akan bisa memiliki tubuhnya karena hatinya masih dipenuhi oleh perasaan yang sama pada adik angkat-nya yang begitu ia benci.

"Wen-laojun...." Xiao Zhan merangkak menghampirinya, merendahkan diri serendah-rendah-nya hanya demi orang itu. "Kumohon...."

Bayangan-bayangan mengerikan dari kejadian yang bisa saja benar-benar terjadi pada Wang Yibo membuat Zhan tak lagi peduli dengan harga diri-nya. Dengan pakaian yang masih terbuka, ia tetap merangkak menghampiri sang jendral. Memohon.

Alih-alih mendengarkan ucapan pemuda itu sampai selesai, Wen Zhou justru pergi meninggalkan ruangan itu—mengabaikan Xiao Zhan yang terus meracau memohon padanya.

Suara pekik teriakan pemuda itu masih terdengar di kesunyian malam itu ketika sang jendral melangkah pergi menjauh dari ruang pribadi pemuda itu—menyusuri koridor yang temaram sambil mengepal erat kedua tangannya, menggenggam semua emosinya sebelum dia menghancurkan sesuatu atau bahkan melukai salah satu dari pengawal yang senantiasa mengekor dibelakangnya.

Sementara itu di dalam kamar, Xiao Zhan duduk meringkuk di tengah ruangan dengan tubuh yang gemetar lantaran rasa takut yang masih mencengkram dan juga isak tangisnya yang tak tertahan. Ia benar-benar sendirian dan akan segera kehilangan satu-satunya yang ia miliki, Wang Yibo.

.

.

.


Hari demi hari berlalu tanpa ada kabar apapun dari medan perang di wilayah barat yang sampai di telinga Xiao Zhan yang masih saja bungkam dicengkram rasa takut akibat bayang-bayang kematian Yibo yang terus berputar dalam kepalanya.

Sebenarnya pemuda itu tak ditinggalkan sendirian di kediaman Wen, lagi-lagi sang jendral memerintahkan seseorang untuk menjaganya, dan orang itu tak lain adalah Yi Er. Tepat sehari sebelum sang jendral pergi meninggalkan ibukota, sahabatnya datang.

Meskipun sahabatnya itu ada dekat dengannya, rasa takut yang menghantuinya tak pudar sedikitpun—bayangan Wang Yibo yang bersimbah darah penuh bekas tebasan pedang dan belasan anak panah menancap menembus baju zirah-nya terus datang setiap malam, membuatnya terus terjaga dan meninggalkan jejak gelap di sekitar mata dan kantung matanya membengkak karena rasa takut itu pula membuat air matanya menetes tiap malam.

Xiao Zhan pun tampak lebih kurus jika dibandingkan dengan saat pertama kali ia tiba di kediaman Wen, karena kekurangan nutrisi. Xiao Yi Er terus memaksanya untuk tetap makan meski akhirnya ia kembali memuntahkannya, karena tubuhnya yang menolak menerima—dan karena pemuda itu pula Zhan aman dari segala usaha bunuh diri yang selalu melintas di kepalanya, Yi Er menjauhkan semua benda tajam, benda pecah belah ataupun tali-temali dari sekitar Xiao Zhan.

Putus asa....

Ya, rasa putus asa mencengkram pikiran Xiao Zhan dan depresi berat membuat kesehatannya tak stabil. Dalam kurun waktu satu bulan, entah berapa kali tabib didatangkan untuk memeriksa kesehatannya.

"Yibo-ge....."

Xiao Zhan menggumam pelan dalam posisinya memeluk erat kedua lututnya—saat ini ia duduk tepat disisi jendela, menatap kosong langit kelabu yang disaput mendung. Udara dingin sama sekali tak mengusiknya yang kala itu hanya mengenakan pakaian tipis warna senada dengan langit yang sedang mendung.

Sudah satu minggu sejak kepulangan Wen Zhou ke ibukota dengan membawa berita kemenangan pasukan kekaisaran menaklukan pemberontak di wilayah barat, namun sayangnya sang jendral tak juga datang menemuinya—bahkan kabar tentang Wang Yibo pun tak pernah sampai padanya.

Pemuda kurus berkulit pucat itu masih menyimpan harap bahwa Wang Yibo masih hidup—cintanya masih hidup, dan tengah berusaha memulai hidupnya dari awal meski ia tak bersamanya.


*

  Xiǎo Tùzǐ  [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang