TRACK 7 • Satu Bulan

33 4 0
                                        

Pagi-pagi sekali.

Motor besar milik Ezra sudah melaju di jalan raya. Ezira di belakangnya terlihat mengusap kedua telapak tangannya, gadis itu sedikit menggigil dibuatnya.

"Zra, jujur, lo ngapain minta berangkat sepagi ini?" keluh Ezira, mengingat belum ada jawaban atas pertanyaan yang sama meski ia sudah lontarkan lebih dari empat kali.

"Pengen." jawab Ezra singkat.

"Pengen apaan?"

"Pengen aja."

"Babi lo. Kedinginan gue ini."

Tidak ada respon. Ezra memang begitu, bersuara sesukanya, menjawab sekenanya, bahkan Ezira dan abang tertuanya menganggap bahwa Ezra ini makhluk tak niat hidup.

Parkiran masih sepi ketika keduanya sampai⸺atau bahkan Pak Satpam sendiripun kalah rajinnya hari ini dengan mereka.

Ezra tanpa mau membuka jaket kanvas hitamnya segera melangkah pergi, meninggalkan Ezira yang masih sibuk merapikan riasan tipis di wajahnya. Entahlah, gadis itu akhir-akhir ini banyak berpikir aneh terhadap abang kembarnya satu itu. Banyak perubahan yang terjadi dan perilaku aneh dari Ezra yang sampai sekarangpun masih tak bisa dipahaminya.

Laki-laki tinggi itu mempercepat langkahnya. Sekolah di pagi hari layaknya bangunan kosong puluhan tahun. Seram dan terasa pengap. Meski menjadi orang pertama yang hadir di dalam kelas, rupanya hal tersebut tidak membuat Ezra menjadi rajin atau semacamnya. Barangkali ia akan mengambil sapu dan mulai menebus dosa-dosa 'meninggalkan tugas piketnya' yang sudah-sudah, atau sekadar mengganti tanggal di pojok papan tulis. Tapi memang ada baiknya jangan berpikir dan mengharapkan yang baik-baik kepadanya, karena sudah pasti hal itu tidak akan dikerjakannya.

Duduk termangu seraya merebahkan kepalanya di meja adalah satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukannya sekarang. Sebab tujuan utama Ezra datang pagi-pagi bukanlah untuk melakukan hal baik, melainkan menunggu seseorang.

Lima menit menunggu, suara derap langkah memaksa dirinya untuk segera menegakkan badan. Ezra segera merampas ponselnya, berpura-pura memainkanya⸺meski yang ia lakukan cuma geser-geser home screen doang.

Derap langkah itu semakin mendekat diiringi suara pintu kelas yang berdecit sedikit. Mata Ezra sontak melirik, memperhatikan siapa yang datang.

Yang pasti bukan Mahes, sebab cowok itu nggak mungkin dateng pagi kecuali mau maling pulpen dengan dalih dapet jadwal piket. 

Figur yang datang ini juga bukan Disti⸺teman sekelas perempuannya yang memulai prahara waktu itu.

Sejenak Ezra menahan napas. Dia sudah datang.

Masih menggunakan jaket hijau lumut dan tas ransel navy, Atma berjalan masuk ke dalam kelas meski harus beradu pandang selama lima detik dengan Ezra.

Atma mempercepat langkahnya agar bisa segera sampai di bangkunya, deret yang sama dengan Ezra namun bedanya ia di paling depan sedangkan Ezra di paling belakang. Laki-laki kecil itu segera melepas tas ransel dan juga jaketnya, lantas duduk manis menunggu bel masuk berbunyi.

Ezra suntuk memperhatikan. Shit, bisa dia diem doang kayak gitu?

Pasalnya Atma benar-benar tidak bergerak, duduk diam dengan tegap seraya memainkan ponselnya. Bahkan Ezra tak bisa mempertahankan posisi tubuhnya seperti itu barang dua puluh detik.

Suasana hening. Tidak ada suara baik dari dalam kelas maupun luar. Canggung sekali rasanya.

Namun Ezra tidak peduli, yang ia inginkan sekarang hanya memperhatikan punggung laki-laki kecil di depannya itu. Baru kali ini ia mencermati orang lain selama ini, bahkan sampai Ezra mengetahui bahwa Atma memiliki tahi lalat di belakang lehernya.

[BxB] Playlist; MY MELANCHOLY BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang