Teror

182 6 1
                                    

Teror.

Firman masih syok, jantungnya masih berdegup kencang. Pikirannya masih di penuhi makhluk berbulu hitam tadi, apalagi jika ia mengingat saat saat ia di kejar makhluk itu. Keringat dingin pun tak kunjung mereda.

Tapi dengan sekuat tenaga dia berusaha menenangkan dirinya. Dan tak ingin berlama lama di percabangan tersebut.

"Terus kita ambil jalur yang mana man?."
Tanya Agung. Memulai obrolan agar Firman tak banyak melamun.

"Kayanya si ke kanan Gung, soalnya jalur kiri makin ke sana makin sempit kaya udah lama ga di injek orang."
Jawab Firman yang mulai sedikit tenang.

"Gimana lu udah bisa mulai perjalanan lagi kan?."
Tanya Agung pada Firman.

"Ayolah gas, takut kemaleman gua di sini."
Jawab Firman.

"Kaki lu gimana Jak? masih sakit?."
Tanya Rendi.

"Au nih lepas kali kaki gua, ga berasa soalnya. Udah ayo jalan lagi."
Jawab Jaka sembari menggoyangkan kakinya yang terkilir.

Mereka kembali berjalan berharap segera sampai di pos 4, dengan kesepakatan bersama mereka mengambil jalur kanan.

Kini perjalanan mulai normal kembali karena kaki Jaka yang sudah membaik.

"Gua kira lepas ni kaki gua buseh."
Celoteh Jaka di tanggapi oleh ketiga temannya dengan tertawa lepas.

Tak berasa mereka karena terlalu asik bersenda gurau, ternyata jalur yang mereka ambil adalah jalur yang benar.

Pukul 5 sore mereka akhirnya sampai di pos 4, rencana mereka untuk sampai di ranu kumbolo jam 4 sore tentu saja gagal.

Tapi tak apa, jarak dari pos 4 menuju ranu kumbolo hanya butuh waktu sekitar 30menit saja. Itu artinya mereka masih bisa melihat sunset disana.

Tak ada istirahat disana, mereka langsung meninggalkan pos 4 untuk mengejar waktu, jalur yang dilalui saat ini adalah menuruni bukit.

Di perjalanan menuju ranu kumbolo mereka berpapasan dengan pada pendaki yang kebetulan akan turun.

Kelompok mereka terdiri dari 7 orang, 2 perempuan dan 5 laki laki.

Mereka saling menyapa dan di ketahuilah bahwa kelompok tersebut berasal dari Jakarta.

"Ko ga ngecamp dulu di ranu kumbolo mas? sayang loh sunsetnya bagus."
Ujar Firman.

"Engga, kita udah sepakat buat turun sore ini."
Jawab salah satu dari mereka yang sepertinya adalah pemimpin kelompok.

"Lagian ini malam satu suro."
Tambahnya dengan suara berbisik tapi masih bisa di dengar oleh Firman dan teman temannya.

Seketika Agung Rendi Firman dan Jaka saling memangdang dengan tatapan yang sulit di artikan.

Firman dan Jaka yang tidak tau hal itu tentu saja kaget.

Sedangkan Agung dan Rendi tidak merasa kaget karena sudah tau dari pelayan di pasar tadi, tapi tak bisa di pungkiri dalam hati mereka berdua ada rasa takut.

Setelah mengucapkan hal itu, kelompok dari jakarta tersebut pamit melanjutkan perjalanan.

"Gung yakin mau lanjut ni?."
Tanya Jaka.

"Mau gimana lagi, kita udah sampe sini masa iya balik lagi nanggung banget."
Jawab Agung.

"Udah gapapa kali kita kan cuma mau liat keindahan alam doang, ga ngapa ngapain."
Timpal Rendi.

sebenernya Firman merasa gamang apalagi jika mengingat kejadian di percabangan jalur tadi, tapi bener apa kata Agung 'nanggung'.

Setelah menguatkan satu sama lain mereka sepakat untuk melanjutkan perjalanan.

Semangat mereka kembali menggebu tatkala disuguhi pemandangan yang begitu indah dari atas bukit.

Agung yang berada di paling depan barisan berhenti dan di ikuti oleh ketiga temannya, mereka terpukau oleh keindahan alam di depan matanya.

Ketakutan mereka seakan luntur ketika melihat pemandangan ranu kumbolo yang begitu indah.

Nama ranu kumbolo di kalangan pecinta alam, sudah tak asing lagi. Karena menjadi lokasi favorit untuk mendirikan tenda dan menikmati alam yang luar biasa indah. Banyak juga dari mereka yang menjuluki Ranu Kumbolo sebagai 'Surga Semeru'.

Mereka kembali berjalan dan tak sabar ingin segera sampai di ranu.

Namun mereka kembali bertemu kelompok pendaki yang akan turun.

Mereka kembali bertegur sapa, ketakutan yang semula musnah seakan hidup kembali mengingat hanya akan ada mereka berempat di gunung ini nanti malam.

Tak berselang lama mereka sampai di Ranu Kumbolo, kedatangan mereka di sambut oleh pemandangan yang yang luar biasa.

Sungguh rasa lelah yang mereka rasakan di perjalanan terbayar lunas, udara yang segar akan membebaskan segala pikiran pusing yang disebabkan oleh kehidupan modern yang penuh dengan kesibukan.

Pemandangan danau yang indah bak lukisan, matahari yang akan terbenam dengan cahaya kemerahan mebuat siapa saja akan betah berlama disini.

Tak ingin menyianyiakan hal tersebut, mereka mengabadikan nya dengan berfoto bersama berharap suatu saat bisa jadi pengobat rindu mereka pada ranu kumbolo.

Setelah puas berfoto dan menikmati pemandangan, kini cacing cacing di perut mereka mulai berontak meminta di beri makan. Mereka kembali ke misi awal untuk memasak makan malam.

Agung dan Rendi mulai mengeluarkan bahan makanan dari tas kariernya, sedangkan Firman dan Jaka memilih untuk mencari kayu bakar, sebelum hari benar benar gelap.

Rencananya mereka akan membuat api unggun dengan kayu bakar tersebut.

Firman dan Jaka mulai mencari kayu bakar, mereka mengumpulkan ranting ranting kering yang berjatuhan.

Sayup sayup Jaka mendengar seperti suara gamelan yang di tabuh, Jaka menghentikan kegiatannya dan ia menajamkan pendengarannya takut jika ia salah dengar.

Ia yakin apa yang ia dengar memang suara gamelan, lantas ia menoleh ke arah Firman.

"Man lu denger ga?."
Tanya Jaka.

Firman menoleh kemudian mengangguk.

"Iya Jak gua juga denger."
Jawabnya.

Rasanya suasana seketika menjadi horror apalagi saat hari ini mulai gelap.

"Udahlah segini aja cukup kali."
Ujar Jaka.

"Yaudah ayo balik lagian hari mulai surup."
Timpal Firman.

Mereka bergegas pergi dari hutan, namun baru beberapa langkah mereka kembali di kagetkan oleh suara wanita yang memanggil Jaka.

"Jaka....Jaka....Jaka....."
Suara perempuan yang begitu lirih di tambah isakan tangis yang menyayat hati.

Dengan susah payah Jaka dan Firman menelan salivanya. Dada mereka bergemuruh nail turun, keringat dingin mulai membasahi wajah mereka. Rasanya ingin sekali berlari namun kaki terasa sangat berat.

"Jaka...Jaka......"
Suara perempuan itu kembali muncul dan kini terdengar lebih dekat.

Dengan susah payah keduanya menoleh, rasa takut memang menyelimuti tubuh mereka tapi rasa penasarannya juga memenuhi pikirannya.

Saat mereka berhasil menoleh terpampanglah sebuah makhluk yang begitu menyeramkan.

Seorang wanita dengan mulut yang robek sampai ke telinga, bola mata yang berwarna hitam seperti akan keluar dari tempatnya serta wajah yang membusuk dan rambut acak acakan yang menjuntai ke tanah, wanita itu kini tertawa cekikikan.

Tubuh Firman dan Jaka bergetar hebat bahkan kayu bakar yang mereka bawa kini berserakan di tanah.

Gedebughh.....

Jaka pingsan dan terjuntai ke tanah, sedangkan Firman berlari tunggang langgang meninggalkan Jaka. Disatu sisi ia ingin menyelamatkan Jaka namun makhluk tersebut terus mendekat, membuatnya terpaksa berlari menjauh.

Pendakian Malam Satu SuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang