Bau amis darah.

222 6 4
                                    

Bau amis darah.

Melihat itu kakek Panca hanya terkekeh.

"Baru disini kalian sudah ambruk, gimana nanti."
Ujarnya lalu memperhatikan mereka satu persatu.

Sembari menunggu, kakek Panca duduk di sebuah akar pohon dan kembali menghisap rokok di tangannya.

Ia memaklumi kelakuan tiga pemuda yang pingsan tak berdaya di hadapannya dan memberi mereka waktu untuk memulihkan kembali tenaga mereka.

Setelah 5 menit berselang. Agung mulai membuka matanya diikuti oleh Rendi dan Firman, mereka bangun dan saling memandang.

Mereka hanya bergidik ngeri mengingat kejadian yang mereka alami barusan.

"Bagaimana? Kalian sudah bisa melanjutkan perjalanan atau mau kembali ke tenda?."
Tanya kakek Panca meledek.

Mendengar itu ketiganya menoleh kearah sumber suara, serentak mereka bangkit menghadap kakek Panca.

"Kami akan melanjutkan perjalanan ini kek."
Ucap ketiganya dengan pasti.

"Kami harus selametin Jaka gimana pun caranya."
Tambah Agung.

Mendengar semangat para pemuda tersebut, kakek Panca lalu berdiri dan mengajak mereka kembali menyusuri hutan larangan ini.

Agung mengambil tas yang tergeletak di tanah, lalu ketiganya mengikuti langkah kakek panca. Mereka sudah siap melanjukan perjalanan mereka.

"Jangan banyak melamun."
Ujar kakek panca di sela sela langkahnya.

"Baik kek."
Ujar Agung yang berada di paling depan.

Di gunung, melamun adalah salah satu hal yang harus di hindari, sangat mudah bagi 'mereka' untuk masuk ke dalam tubuh yang jiwanya kosong.

Mereka terus berjalan melewati hutan yang seperti tak berujung.

30 menit berlalu...

Beberapa tanjakan dan turunan sudah mereka lewati. Dengan hutan yang tidak terlalu rapat seperti sebelumnya, membuat mereka tak terlalu kepayahan saat berjalan.

Otot otot kaki sudah hampir menegang meminta di istirahatkan.

Namun kakek panca seperti tak memiliki rasa lelah, ia terus berjalan bahkan tanpa senter yang menerangi jalannya.

Dengan mengumpulkan keberanian, akhirnya Agung memberanikan diri meminta kakek panca berhenti sejenak.

Namun sebelum Agung berbicara, kakek panca sudah mengetahui isi pikiran Agung.

"Saya beri waktu 5 menit, silahkan beristirahat."
Perintahnya.

Mendengar itu, ketiganya tak menyianyiakan kesempatan yang mereka tunggu.

Mereka duduk di sembarang tempat dan meminum air persediaan mereka secara bergantian, kali ini mereka tak menawarkannya pada kakek panca karena sudah tau jawabannya.

Sisa waktu mereka gunakan untuk meluruskan kaki dan memijatnya harap harap rasa pegalnya sedikit berkurang.

Lima menit berselang kini mereka kembali berjalan. Mereka tak ingin membuang waktu sia sia mengingat nyawa Jaka taruhannya, kali ini mereka tak banyak mengobrol mereka lebih memilih diam dan mempersiapkan diri mereka untuk tantangan selanjutnya.

Namun, Rendi yang di paling belakang merasa ada yang mengikutinya.

Langkah kakinya terdengan jelas, namun ia tak punya keberanian untuk sekedar menoleh.

"Man gantian dong lu di belakang."
Ujar Rendi memohon.

"Aduh ren gua tau yang lu denger, gua juga takut."
Jawab Firman memelas.

"Suruh Agung aja ren."
Tambah Firman.

"Gung..."
baru Rendi ingin mengutarakan niatnya, namun sudah dipotong oleh Agung.

"Ogaahhh, gua juga takut."
Sela Agung.

Ternyata bukan hanya Rendi yang mendengar suara itu namun teman temannya juga. Suara itu sebenarnya sudah ia dengar dari awal perjalanan namun ia abaikan, tapi kini suara langkah kakinya semakin terdengar jelas menakutinya.

"Abaikan saja dia tidak berniat jahat, dia hanya ingin mengecohmu."
Ujar kakek Panca.

Mendengar itu Rendi tak terlalu cemas dan melanjutkan kembali perjalanan dengan tenang.

Tak berselang lama suara hewan malam tiba tiba menghilang, seperti satu jam yang lalu saat mereka disuruh menutup mata.

Bersamaan dengan itu angin kencang datang meniup dedaunan kering, pohon pohon ikut bergerak kesana kemari mengikuti arah angin.

Bau amis darah datang menyeruak.

Agung dan teman temannya sadar bahwa itu adalah aba aba untuk tantangan kedua.

"Lariiii......."
Ucap kakek Panca lantang.

Mereka berempat lari tunggang langgang mencari pepohonan besar yang bisa mereka jadikan tempat untuk bersembunyi.

Tidak lama kemudian, kini angin mulai normal kembali dan dari kejauhan terlihat seperti cahaya arak arakan.

Mereka terlihat membawa obor api yang di acung acungkan ke udara.

Namun, semakin mereka mendekat ternyata wujud mereka tak seperti manusia melainkan seperti siluman.

Di paling depan terdapat kereta kencana yang di tarik oleh dua kuda namun berkepala manusia atau kentaur.

Di dalam kereta kencana tersebut terdapat sepasang laki laki dan perempuan memakai baju seperti dalam film kolosal, dengan mahkota di kepala mereka masing masing.

Sementara di belakang di ikuti oleh makhluk dengan berbagai wujud yang menyeramkan.

Ada yang seperti monyet dengan bulu hitam di seluruh tubuhnya serta mata merah melotot dan kuku yang panjang dan hitam persis seperti yang di lihat Firman di percabangan jalur.

Ada yang seperti kelelawar dengan sayap yang besar serta gigi yang panjang nan runcing.

Ada yang seperti manusia tapi tidak mempunyai wajah.

Ada manusia namun dari dada sampai ke bawanya ular.

Ada yang bermata merah dengan rambut yang tidak beraturan, tubuhnya kurus bahkan tulang tulangnya sampai terlihat, namun dari tubuhnya mengeluarkan api.

Ada yang bertanduk, ada yang bermata banyak, ada yang berjalan, ada yang ngesot dan sebagainya.

Bahkan tak terhitung jenis jenis setan yang sudah tenar di kalangan manusia, seperti pocong, kuntilanak, gunderuwo, tuyul, wewegombel dan sebagainya.

Mereka berjalan beriringan dengan obor api di tangan mereka sembari terus mengucapkan kalimat yang entah apa artinya.

Di balik pohon mereka hanya bisa tercengang melihat pemandangan di depan mata mereka.

Mereka menutup mulut mereka sekencang kencangnya agar tak mengeluarkan suara.

Dada mereka terus bergemuruh menahan rasa takut.

Baju yang baru kering dari keringan satu jam lalu, kini kembali basa oleh keringan dingin yang tak henti hentinya mengucur.

Mereka tidak menyangka perjalanan yang mereka susun dengan rapih akan berakhir seperti ini.

Arak arakan yang mereka sangat panjang, entah berapa ratus atau ribu makhluk yang mengikuti arak arakan ini.

Di sela sela itu ketiga pemuda ini mencari keberadaan kakek panca dan akhirnya mata mereka menemukan kakek kakek itu yang sedang bersembunyi di balik semak semak.

Tidak nampak raut kaget atau takut dari wajahnya, dia seperti biasa saja melihat hal itu. Dengan santainya ia duduk berjongkok sembari terus menyesap rokok yang entah kenapa tak habis habis.

Dia seperti sedang melihat tontonan yang begitu seru, kadang ia tertawa melihat bentuk makhluk yang mengikuti arak arakan tersebut, kadang ia terlihat bingung namun kembali tertawa.

Melihat itu, ketiganya semakin yakin bahwa kakek panca bukanlah manusia seperti mereka.

Pendakian Malam Satu SuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang