Bau bangkai.

144 5 1
                                    

Bau bangkai.

Ketiganya bergegas mengambil jas hujan dari tas yang di bawa Agung kemudian memakainya, dan kembali berjalan menyusul kakek Panca.

Jalan yang mereka lalui saat ini sangat licin, karena rintik hujan yang tak kunjung reda. Di tambah rambatan akar pohon yang memenuhi jalan, yang kapan saja bisa membuat mereka tersandung, mau tidak mau mereka harus menyorotkan headlamp hanya ke jalan yang mereka injak.

Kemudian Rendi yang berada di paling belakang nyeletuk.

"Ko kakek Panca ga kita kasih senter dari tadi?."
Ujar Rendi membelalakkan matanya.

Sontak Agung dan Firman menoleh kearah Rendi bersamaan kemudian beralih menoleh kearah kakek Panca bersamaan pula.
Dilihatnya kakek kakek itu sedang berjalan biasa saja tak kekurangan apapun.

Mereka kaget, pasalnya tak mungkin orang bisa berjalan di hutan malam tanpa senter, apalagi dalam keadaan hujan seperti ini. Yang tentu saja akan mengurangi jarak pandang apalagi dia seorang paruh baya pasti penglihatannya sudah mulai berkurang.

"Tenang saja, aku masih bisa melihat jalan ini dengan jelas."
Ujar kakek Panca tiba tiba.

"Iy...iya kek."
Jawab ketiganya bersamaan.

Ketiganya hanya saling pandang dan sudah bisa menebak apa yang akan terjadi, kakek kakek itu akan selalu tau apa yang ada di pikiran mereka.

Kini pikiran ketiganya penuh dengan pertanyaan tentang siapa kakek panca.

Kenapa dia bisa tau dimana Jaka berada dan dengan sukarela mengantar mereka menembus hutan hujan hujan begini?.

Kenapa dia bisa membaca pikiran orang?.

Roko yang tak padam serta baju yang tak basah walaupun terkena air hujan.

Bahkan dia tak kelihatan capek menempuh perjalanan yang lumayan jauh untuk ukuran orang tua seperti dia. Bahkan kami yang masih muda saja kewalahan menyeimbangkan langkah agar tak ketinggalan.

Dia sebenarnya manusia atau bukan?.

"Aku tidak bisa menjawab semua pertanyaan dalam pikiran kalian, suatu saat kalian akan mengetahui semuanya tapi bukan dari mulutku."
Ujar kakek Panca.

"Yang pasti aku tak punya niat jahat sedikitpun dan mengantarkan kalian adalah salah satu tugasku."
Tambahnya sembari terus berjalan tanpa menoleh.

Mendengar itu ketiga pemuda tersebut terlihat salah tingkah, sembari sesekali menggaruk tengkuk mereka yang tak gatal.

"Hmm sudah ku duga."
Celetuk Rendi.

Dia sudah tau, pasti kakek Panca akan menjelaskan setiap kecurigaan kecurigaan yang ada di pikiran mereka.

"Suuuttt.."
Ucap Firman dan Agung bersamaan sembari meletakan jari telunjuk di depan mulut mereka, tanda menyuruh diam.

"Iya kek, kami minta maaf udah menaruh banyak kecurigaan sama kakek. Kami juga berterimakasih karena kakek mau nganterin kami mencari Jaka."
Ucap Firman hati hati.

Namun kakek kakek itu tak menjawab, dan hanya terus berjalan.

Hampir satu jam mereka berjalan, kini hujan sudah reda dan mereka sudah melepaskan jas hujan yang mereka pakai.

"Kek apakah bisa istirahat sebentar?."
Ujar Firman yang mulai kelelahan.

Mendengar itu kakek panca lalu berhenti berjalan, tapi lagi dan lagi dia tak menoleh.

Ketiganya merasa lega karena bisa beristirahat barang sebentar saja.

Mereka mengeluarkan air minum, lalu meminumnya untuk melepas dahaga.

Tak lupa mereka menawarkan air minum untuk kakek panca namun di tolaknya dengan alasan tidak haus.

Baru sebentar ketiganya duduk di akar pohon untuk meluruskan kaki tiba tiba kakek kakek itu sudah menyuruh berjalan kembali.

"Cepat waktu kita tidak banyak, kalian tidak boleh lemah ini baru awal. Di depan sana masih banyak yang harus kalian hadapi."
Ujarnya. Lalu kembali menyesap rokok yang berada di tangannya. Bahkan rokok itu tak berkurang barang sedikit, walaupun sudah menyala sedari mereka bertemu.

Mau tak mau mereka harus melepas zona nyaman mereka dan kembali berjalan.

Baru lima menit berjalan tiba tiba...

Wusshhh...

Angin kencang tiba tiba berhembus bersamaan dengan bau bangkai yang begitu menyeruak ke rongga hidung.

Bau yang tidak bisa di jelaskan, tidak seperti bau bangkai tikus atau ular yang sering mereka temui di kota. Kali ini bau nya lebih tajam dan mampu mengobrak abrik perut siapapun yang menciumnya.

Suara hewan malam yang menemani perjalanan mereka, seketika hilang bersamaan dengan datangnya bau bangkai tersebut.

Bahkan bulu kuduk ketiga pemuda tersebut ikut berdiri mengingat pesan kakek Panca sebelum memulai perjalanan.

Kakek panca yang berjalan paling depan sontak berhenti dan mengangkat tangan nya ke udara tanda mengomando mereka agar ikut berhenti.

"Tutup mata kalian!!."
Teriak perintah keluar dari mulut kakek panca.

Dengan terpaksa mereka berhenti dan menutup mata sesuai perintah kakek panca.

Mereka menyingkirkan rasa takut yang sebesar gunung itu. Menguatkan hati, mengingat Jaka yang harus segera di selamatkan.

Saat setelah mereka menutup mata, Agung merasa dari kaki sampai ke bagian dadanya seperti di lilit ular besar, tangannya tak bisa di gerakan karena ikut terlilit.

Namun di bagian wajah dia merasa ada tangan dingin nan kasar yang menyentuh wajahnya. Serta hembusan nafas tepat di depan hidungnya. Deru nafas itu sangat bau seperti bau bangkai, sekuat tenaga ia menahan gejolak dalam perutnya yang minta di keluarkan.

Sementara firman merasa ada yang sesuatu yang menyerap ditubuhnya seperti kelabang raksasa, makhluk tersebut merayap ditubuh nya seperti kelabang raksasa, makhluk tersebut merayap dari ujung kaki hingga ujung kepala dan berakhir tepat di wajah dan lehernya.

Rasanya geli bercampur jijik tatkala ia merasa bahwa makhluk tersebut menyebutkan cairan yang lengket dan bau di wajahnya. Rasanya ia ingin membuka mata dan berteriak sekencang kencangnya lalu berlari sekuat tenaga.

Dan Rendi merasa ada seseorang yang memeluknya dari belakang namun tubuhnya kemudian bergetar hebat kala makhluk yang memeluknya tersebut mencium tengkuknya dan berhenti di telinganya lalu tertawa cekikikan seperti kuntilanak. Belum lagi tangannya yang terus meraba wajah Rendi dan memainkan bibirnya.

Nafas Rendi terasa sesak karena ketakutan, tangannya seperti mengajak untuk memukul makhluk tersebut dan kakinya mengakak untuk berlari. Namun sekuat tenaga ia menahan diri untuk tetap diam.

Kakek Panca? Entahlah, hal mengerikan apa yang ia rasakan.

Hingga lima menit berselang, semuanya masih tenggelam dalam rasa takut masing masing tidak ada yang berani membuka mata bahkan untuk sekedar mengintip.

Keringat sudah banjir membasahi baju dan celana mereka.

Untaian Do'a tak henti hentinya mereka ucapkan dalam hati.

Hingga tubuh yang terus bergetar dan detak jantung yang berdetak entah berapa kali lipat dari biasanya karena melawan rasa takut.

Jika tidak mengingat Jaka, sudah pasti mereka menolak mentah mentah perjalanan konyol ini.

Hingga detik detik yang mereka tunggu akhirnya tiba, lilitan ular yang Agung rasakan perlahan melonggar, rayapan kelabang di wajah Firman akhirnya menghilang, serta pelukan kuntilanak di tubuh Rendi juga menghilang.

Kini suara hewan malam kembali terdengar seperti semula.

"Sudah selesai!!, silahkan buka mata kalian."
Perintah kakek Panca.

Ketiganya membuka mata bersama sama dan menghirup udara segar sebanyak banyaknya.

Ketiganya ambruk ke tanah, karena lemas ketakutan.

Pendakian Malam Satu SuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang