"Pesanan atas nama Uci!" seru seorang barista dari balik meja bar. "Pesanan atas nama Uci!" teriaknya lagi hingga seorang siswi dengan pakaian putih abu berbalut kardigan merah muda menghampirinya dengan membawa sebuah setruk.
Suara mesin kopi yang berdesis pelan, juga bunyi lonceng di pintu tidak berhenti terdengar. Sekarang pukul tiga sore. Saat matahari mulai perlahan meredup menyisakan udara lembab, siswa-siswi baru pulang sekolah, dan jalanan mulai padat. Sebuah kafe kecil di pertigaan jalan bernuansa cokelat dipadati oleh siswa-siswi yang mampir untuk sekedar membahas tugas kelompok, juga pekerja kantor yang memilih menghabiskan jam kerja setelah meeting seharian dibanding harus kembali ke kantor.
Kafe Hujan. Nama kafe di pertigaan jalan itu.
Sebuah kafe milik seorang ibu tunggal yang mempunyai anak perempuan semata wayang bernama Ayna. Seorang gadis cantik, pintar, juga aktif dibanyak kegiatan sekolah. Seorang siswi populer tidak hanya di sekolahnya, tapi juga antar sekolah. Seorang gadis yang punya cita-cita ingin membuat kafe kecilnya menjadi massal.
Bel di atas pintu berdenting sekali lagi. Ayna masuk dengan helm hijau pupus di tangan kananya dan ransel di bahu kirinya. Dia mendorong pintu dengan kaca bulat bertulisan khusus karyawan. Dia mengganti seragam sekolahnya dengan kaus polo berwarna cokelat gelap dan celemek dengan warna senada. Rambutnya diikat ekor kuda tinggi, menyisikan poni yang menutupi keningnya. Dia kembali dari ruangan itu menuju meja kasir.
"Kamu sudah istirahat? Istirahat dulu. Biar aku yang gantikan." ucapnya pada seorang gadis lebih tua dua tahun darinya.
"Ngga apa-apa. Aku masih punya waktu tiga puluh menit lagi." ucap gadis itu. "Lebih baik kamu bantu si penggerutu di mesin kopi. Sejak pagi wajahnya selalu cemberut seperti Squidward."
Ayna tersenyum tipis. "Bukankah dia memang selalu seperti itu?"
"Kali ini benar-benar sepanjang hari." ucapnya dengan nada frustrasi.
"Oke, oke. Aku akan bicara dengannya." Ayna menepuk bahu gadis itu dan menghampiri seorang pria dewasa yang sedang berkutik di mesin kopi.
Seperti yang sudah dijelaskan rekannya tadi, pria itu sedang cemberut sambil menakar kopi.
"Apakah mesin ini bermasalah lagi hingga membuatmu sebal?" tanya Ayna.
"Kau sudah datang." ucapnya datar. Bahkan tidak menjawab pertanyaan Ayna.
"Jika bukan karena mesinnya, lalu apa yang membuatmu cemberut seharian seperti Squidward?"
"Gadis manja itu mengadu padamu lagi, ya?"
"Aku pun akan melakukan hal yang sama jika partnerku cemberut seharian." Ayna mengangkat bahunya.
Pria itu berdecak pelan.
Gadis manja itu bernama Dayu dan pria penggerutu itu bernama Chandra. Dayu sosok riang yang selalu punya energi untuk menyapa semua pelanggan yang datang ke kafe. Dia bahkan hafal nama-nama pelanggan tetap kafe. Berbanding 360 derajat, Chandra sosok penggerutu yang jarang menampilkan senyum. Anehnya, banyak pelanggan wanita yang datang hanya untuk melihat si penggerutu ini. Chandra menjadi salah satu alasan kenapa pelanggan Kafe Hujan didominasi wanita. Selain Chandra, ada pria lain yang membuat wanita-wanita ini datang.
"Kak, hari ini Pangestu manggung, kan?" seorang gadis berseragam putih biru mendekati meja kasir.
Dayu melihat jam dinding. "Ya, hari ini jadwal Pangestu manggung. Dia akan sampai sebentar lagi."
"Oke, terima kasih." dia kembali ke mejanya dengan wajah semringah.
Ya, Pangestu menjadi penyanyi reguler di kafe milik Ayna. Selain alasan karena Ayna temannya, tentu karena dia sangat mencintai musik. Dia bercita-cita ingin menjadi musisi populer nan jenius walaupun ditentang habis-habisan oleh Bapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disonansi - Senandung Pilu Seorang Perayu
Teen FictionSebelumnya, hatiku hanya dipenuhi oleh musik. Sudah tidak ada ruang. Namun, kemudian dia hadir. Gadis pucat dengan wajah yang selalu tertunduk. Sebelumnya, aku tidak pernah khawatir akan apa pun. Rasanya semua baik-baik saja. Namun, kemudian dia had...