Esok harinya, Kinara datang ke sekolah berbalut jaket berwarna ungu pastel. Kinara memasuki kelas dan mendapati Pangestu sudah duduk di kursinya.
"Tumben jam segini sudah di kelas. Biasanya ada di studio sampai bel bunyi." ucap Kinara.
"Gue lagi tidak berselera ke studio."
Kinara mengangguk-angguk.
Pangestu memerhatikan Kinara yang sedang mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas. Meski mulutnya tidak mengeluarkan satu kata pun, tatapan khawatir Pangestu tidak dapat disembunyikan.
"Aku tidak apa-apa, Pangestu. Aman." Ucap Kinara sambil mengembangkan senyum. "Bersikaplah biasa. Kamu sudah berjanji tidak akan menjadikanku pusat perhatian."
Pangestu menghela napas. "Oke."
Namun, perjanjian yang mereka lakukan itu tidak bertahan lama. Karena pada pelajaran kedua merupakan giliran kelas olahraga. Di saat matahari mulai beranjak naik, mereka berbaris di tengah lapangan mengikuti gerakan guru olahraga mereka melakukan senam dengan musik yang memekakkan telinga. Pangestu tidak memalingkan pandangannya dari Kinara yang tampak gelisah karena sesekali dia melihat ke langit untuk memastikan kapan dia harus berlari ke koridor untuk berlindung. Setelah tiga puluh menit mereka melakukan gerakan aerobik, akhirnya mereka berhenti. Guru olahraga mematikan tape dan membiarkan mereka untuk melakukan olahraga sendiri disisa jam pelajaran. Beberapa siswi memilih untuk duduk-duduk di tepi lapangan sambil berbincang, sisanya mengambil bola voli. Kinara mengikuti siswi yang memilih untuk duduk-duduk di tepi lapangan. Kinara duduk agak berjarak dari kerumunan. Tidak terlalu jauh, kira-kira sepuluh senti agar dia tetap bisa mendengar mereka membicarakan apa dan tentu saja agar mereka tidak sadar bahwa Kinara menjaga jarak.
Sementara Pangestu, tentu saja memilih untuk bermain futsal dengan teman-temannya. Pangestu sangat mahir di lapangan jika dia fokus. Hari ini, pikirannya tidak fokus. Beberapa kali dia terlewat untuk menangkap operan dari timnya karena tengah memperhatikan Kinara. Jantungnya berdebar cepat. Namun kali ini, bukan karena berolahraga. Melainkan dia takut kejadian kemarin terulang.
"Oy! Pangestu! Kalau tidak fokus main, mending keluar dari lapangan!" teriak salah seorang timnya.
Pangestu menoleh dan mengangkat sebelah tangannya. "Oke, oke. Gue cabut!" serunya.
Pangestu berjalan keluar lapangan dan menghampiri Kinara. Tanpa meminta persetujuan, Pangestu langsung menarik tangan Kinara menuju koridor sekolah.
"Kita masih di jam pelajaran. Tidak boleh ke kantin."
"Gue tidak bilang kalau kita mau ke kantin."
"Terus?"
"UKS."
Kening Kinara berkerut. "Tapi, aku tidak sakit."
"Iya. Lo tidak sakit."
Mereka sama-sama tahu kebenarannya. Bahwa Kinara benar-benar sakit.
Sesampainya di ruang UKS, Pangestu menyibak tirai putih yang menutupi bangsal tidur di sana. Dia mengisyaratkan Kinara untuk merebahkan diri di sana. Kinara menurut saja karena sedang malas mendebat. Pangestu menarik kursi ke samping bangsal. Dia duduk di sana sambil memperhatikan Kinara yang sedang berbaring.
"Hari ini lo pulang sama siapa?" tanya Pangestu
"Kakakku."
"Cowok yang pernah jemput lo juga?"
Kinara mengangguk. "Kenapa?"
Pangestu menggeleng. Dia bangun dari kursinya kemudian meraih selimut dan menyelimuti Kinara. "Lo di sini saja sampai bel bunyi. Gue mau sebat."
"Sebat?"
"Merokok." Sahut Pangestu sambil menarik gagang pintu.
Alasan merokok tentu saja bukan alasan sesungguhnya. Pangestu tidak merokok dan tentu saja tidak boleh merokok di sekolah. Remaja lelaki itu hanya ingin ke gudang belakang sekolah, menyendiri. Sejak kemarin, kepalanya selalu memutar adegan Kinara menatapnya dengan sendu dan pipi yang basah. Autoimun sistemik yang disebutkan Kinara kemarin, juga mengusiknya. Dia mencari tahu sampai tengah malam apa itu autoimun sistemik hingga dia menemukan bahwa Lupus merupakan salah satu penyakit autoimun sistemik yang bisa membuat penderitanya mengalami kerusakan organ dalam seperti otak, ginjal dan paru-paru.
Bel istirahat berbunyi. Namun, Pangestu tidak beranjak dari tempatnya. Suara riuh siswa-siswi terdengar dari gedung di belakangnya tidak juga membuat Pangestu bergeming. Pikirannya masih penuh. Ini merupakan hal baru buatnya dan dia tidak tahu harus berbuat apa.
"Dicari ke mana-mana ternyata ada di sini." Sapa Timur. Dia mengambil tempat di samping Pangestu.
"Gue tidak tahu harus apa, Tim."
"Ha? Tunggu dulu. Jelasin dulu konteksnya apa."
"Kinara sakit."
Kening Timur berkerut. "Ya, bawa ke UKS saja."
Pangestu mengembuskan napas frustrasi.
Timur sama frustrasinya. "Apa, sih. Semenjak cewek pucat itu datang, Gue lihat-lihat lo semakin aneh."
"Lo tidak mengerti, Tim. Kinara itu sakit."
"Ya Gue tahu. Tapi, sakit apa, Bangsat? Gue tidak akan tahu dia sakit apa kalau lo tidak bilang."
Pangestu mengembuskan napas lagi. "Autoimun sistemik. Pernah dengar lo?"
Timur menggeleng.
"Gue baca, penyakit itu bisa merusak organ dalam penderitanya. Ginjal, paru-paru, otak." Suara Pangestu terdengar sendu.
"Anjir. Lo tahu dari mana?"
"Kemarin Gue temani dia ke rumah sakit dan.. Ya..." Pangestu mengembuskan napas lagi.
Timur menepuk bahu Pangestu. Ini kali pertamanya Timur melihat Pangestu terlihat sangat frustrasi.
Pangestu itu tidak pernah memakai hatinya hampir untuk banyak hal. Kecuali untuk Ibunya dan musik. Rasa yang dia tunjukan pun rasa senang dan bahagia bukan rasa sendu dan frustrasi seperti ini.
"Anjirlah. Tidak enak banget rasanya!" maki Pangestu. Kali ini benar-benar frustrasi.
![](https://img.wattpad.com/cover/328098307-288-k123719.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Disonansi - Senandung Pilu Seorang Perayu
Genç KurguSebelumnya, hatiku hanya dipenuhi oleh musik. Sudah tidak ada ruang. Namun, kemudian dia hadir. Gadis pucat dengan wajah yang selalu tertunduk. Sebelumnya, aku tidak pernah khawatir akan apa pun. Rasanya semua baik-baik saja. Namun, kemudian dia had...