Langit begitu cerah, seperti tidak memiliki kesedihan. Berbanding terbalik dengan Kinara yang berdiri dengan berderai air mata. Rahangnya terkatup rapat. Bahunya dalam dekapan Kakaknya. Ayah sedang berdiri di liang kubur, sedikit berjongkok dekat makam Bunda. Suaranya bergetar saat mengumandangkan adzan untuk terakhir kalinya di telinga Bunda.
"Ayo, sebar bunga dulu untuk Bunda." Ucap Ayah saat sudah berada di atas. Dia menyodorkan sekantong besar kelopak bunga mawar kepada Kinara dan Kakaknya.
Kinara menaburkan kelopak-kelopak itu ke dalam liang kubur Bunda dengan perasaan yang campur aduk. Dalam semalam, dunianya tiba-tiba berubah menjadi kelabu.
Setelah selesai menaburkan bunga, Ayah mengisyaratkan kepada dua petugas makam untuk menutup liang kubur Bunda. Hati Kinara sakit sekali, seperti dihujam dengan ribuan jarum suntik. Bunyi tanah yang dicangkul menjadi latar tiga pasang mata merelakan orang yang mereka sayang untuk selamanya. Bahu Kinara masih dalam pelukan Kakaknya, dan kini jemarinya digenggam erat oleh Ayah. Ternyata dua tahun tidak cukup untuk mereka berjuang bersama. Ternyata genggaman tangannya tidak cukup kuat untuk membuat Bunda bertahan bersamanya. Rasa-rasanya dia ingin ikut bersama Bunda di sana. Toh, cepat atau lambat dia juga akan menyusul Bunda.
Setelah petugas makam selesai menutup liang kubur Bunda, mereka kembali menaburkan bunga di atas gundukan tanah merah itu. Kinara menatap nisan Bunda sekali lagi sebelum tubuhnya pasrah saat diarahkan untuk berbalik.
Langit masih begitu cerah, seperti tidak punya empati untuk dunia Kinara yang kini menjadi kelabu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disonansi - Senandung Pilu Seorang Perayu
Novela JuvenilSebelumnya, hatiku hanya dipenuhi oleh musik. Sudah tidak ada ruang. Namun, kemudian dia hadir. Gadis pucat dengan wajah yang selalu tertunduk. Sebelumnya, aku tidak pernah khawatir akan apa pun. Rasanya semua baik-baik saja. Namun, kemudian dia had...