Harum masakan dari dapur sudah tercium membuat Ayna bangun dari tidurnya. Sambil mengucek mata dan handuk tersampir di bahunya, Ayna berjalan ke dapur dan menemukan Bunda sedang sibuk dengan penggorengan.
"Pagi, Sayang."
"Pagi, Bunda. Bekal hari ini apa?" Ayna melongok ke penggorengan Bunda.
"Bunda masak bola-bola kentang keju untuk camilan kamu. Sarapanmu sudah di atas meja makan."
Ayna mengangguk-angguk.
"Hari ini Bunda akan pulang malam, ya. Ada tiga sidang hari ini."
Ayna menghela napas. "Kasus apa hari ini, Bun?"
"Ya, biasa. Bunda masih menangani kasus-kasus selebritas dadakan yang kena kasus."
"Semoga sukses memberi efek jera ke mereka ya, Bun."
Bunda tersenyum dan mengelus kepala Ayna. "Mandi sana. Biar Bunda antar ke sekolah hari ini."
Ayna mengangguk-angguk dan berjalan ke kamar mandi.
Ayna lahir dari seorang ibu muda. Saat melahirkan Ayna, Bunda masih berumur dua puluh tahun. Kekasih Bunda—ayahnya, tidak mau bertanggungjawab atas kehamilan Bunda yang membuat Bunda harus menjalani kehamilan sendirian. Setelah Ayna lahir, Bunda mulai membuka kafe kecil di ujung jalan. Sembari mengelola kafe, Bunda kembali berkuliah dengan mengambil jurusan hukum. Dalam ingatan Ayna, ada satu waktu dia berada di sebuah ruangan dengan Bunda memakai jubah berwarna hitam di hadapannya sambil membawa selembar kertas menjelaskan sesuatu yang tidak dia mengerti saat itu. Bunda terlihat menggebu-gebu menjelaskan sesuatu yang dipegangnya. Ayna hanya bisa menatap dengan mata berbinar, terkagum-kagum melihat Bunda. Ayna kecil tidak mengenal Cinderella atau Wonder Woman. Ayna kecil hanya mengenal Bunda yang siang-malam terlihat sibuk memastikan Ayna akan tumbuh nyaman, senang dan penuh kasih sayang.
Ayna masuk ke dalam mobil. Bunda sudah siap di belakang kemudi. Sekolah Ayna satu arah dengan pengadilan yang akan Bunda datangi. Biasanya, Ayna akan mengendarai motor sendiri. Mereka berdua menyusuri jalanan kota ditemani alunan musik pop inggris kesukaan Bunda. Saat ini jalanan masih lengang, jadi hanya membutuhkan lima belas menit untuk sampai ke sekolah. Namun, jika mereka telat lima menit saja, maka mereka akan terjebak macet.
"Sampai." Bunda tersenyum. Dia mengulurkan kotak bekal ke Ayna. "Jangan lupa bekalmu."
"Terima kasih, Bunda."
"Kamu hari ini ada latihan pemandu sorak, kan?"
Ayna mengangguk. "Persiapan untuk PORSENI, Bun. Aku lagi latihan beberapa gerakan baru. Habis itu aku baru ke kafe untuk memeriksa apakah Dayu dan Chandra bertengkar lagi."
Bunda tertawa. "Jadi, alasan kamu setiap hari ke kafe itu dua anak itu, ya?"
"Ya, kan Bunda tahu sendiri bagaimana kepribadian Chandra."
Bunda mengangguk-angguk sambil terkekeh kecil. "Ya, sudah. Kamu masuk sana. Sebentar lagi bel."
"Oke, Bun. Ayna masuk dulu, ya. Semangat untuk sidangnya nanti. Dadah, Bunda. Love you!"
*
Bel pulang sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Sekolah pun sudah mulai lengang. Hanya tersisa tim basket dan tim pemandu sorak sekolah yang tengah berlatih di lapangan, juga beberapa siswa di lantai dua yang tengah menonton mereka berlatih, termasuk Timur dan Pangestu. Ayna menoleh ke arah Pangestu, disambut oleh lambaian tangannya.
Ayna dan tim pemandu sorak tengah berlatih untuk kegiatan PORSENI antar sekolah yang diadakan setiap tahun. Tim pemandu sorak sekolah tidak pernah dikalahkan oleh sekolah mana pun. Selain karena mereka tidak pernah menampilkan gerakan yang sama, tentu saja karena tim pemandu sorak sekolah merupakan kumpulan dari siswi-siswi populer yang cantik dan berprestasi dalam bidangnya masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disonansi - Senandung Pilu Seorang Perayu
Genç KurguSebelumnya, hatiku hanya dipenuhi oleh musik. Sudah tidak ada ruang. Namun, kemudian dia hadir. Gadis pucat dengan wajah yang selalu tertunduk. Sebelumnya, aku tidak pernah khawatir akan apa pun. Rasanya semua baik-baik saja. Namun, kemudian dia had...