Dalam usaha penyesuaian dari dunianya yang tiba-tiba menjadi kelabu, Kinara dipaksa untuk lagi-lagi beradaptasi. Karena sudah tidak ada alasan untuk menetap di kota kecil ini, Ayah memutuskan untuk kembali ke Ibukota. Disisa tenaganya, Ayah meyakinkan Kinara untuk pindah. Lagi pula, Kinara bisa mendapatkan pengobatan yang lebih baik di Ibukota.
"Ayo, Kinara. Ayah sudah menunggu di depan." Ganendra memasuki kamar persegi di ujung lorong. Kinara sedang berdiri di ambang pintu dengan dua koper besar di sisinya. Dia menepuk bahu Adik satu-satunya itu pelan. "Kita harus pergi sekarang agar sampai sebelum gelap."
"Kenapa dunia di luar sana masih baik-baik saja padahal duniaku sudah kelabu, Kak."
"Hidup tetap harus berjalan meski orang yang kita sayang pergi." Ganendra tersenyum ketika gadis itu menoleh. "Ayo. Ayah sudah menunggu di depan."
Kinara tidak ingin setuju dengan perkataan Kakaknya, namun dia tidak punya kata untuk membantahnya. Ya, dunia tetap berjalan sebagai mana mestinya meski dunia milik Kinara berubah menjadi kelabu.
Perjalanan menuju Ibukota dari kota kecil ini hanya membutuhkan waktu sekitar empat jam. Pemandangan yang awalnya didominasi oleh pepohonan besar dan rumput liar di samping jalan, serta jalan layang tinggi yang baru dibangun berubah menjadi barisan gedung tinggi dengan kaca-kaca yang memantulkan cahaya matahari sore. Kinara duduk di kursi belakang bersisian dengan boneka beruang besar berwarna jingga, sementara Ganendra duduk di kursi penumpang di samping kemudi sedang asyik mengobrol dengan Ayah. Beberapa kali Ganendra berusaha mengikutsertakan Kinara dalam perbincangan mereka, namun respon yang diberikan hanya senyum tipis dan helaan napas. Ganendra bisa memaklumi sikap adiknya.
Mobil SUV berwarna perak itu akhirnya berbelok ke sebuah gerbang perumahan tepi jalan. Deretan rumah dengan tipe dan tampilan sama berjajar di sisi jalan. Mereka berhenti di depan sebuah rumah dengan papan bertulisan 'terjual' di halamannya. Sebuah mobil pick up terparkir di sana. Dua orang petugas ekspedisi sedang menurunkan barang-barang mereka. Sebenarnya tidak banyak barang yang mereka bawa. Hanya beberapa koleksi buku, pakaian dan pernak-pernik peninggalan Bunda. Kinara turun dari mobil sambil memeluk boneka beruangnya, berdiri bersisian dengan papan bertulisan 'terjual'. Matanya mengikuti petugas yang hilir mudik bergantian mengangkut barang-barang. Dari ujung matanya, Kinara menangkap dua sosok yang tengah memperhatikannya. Kinara menoleh. Keduanya tengah menatap penuh minat ke arahnya. Salah satu dari mereka mengembangkan senyum—yang membuat Kinara mau tak mau ikut mengembangkan senyum tipis—dan yang lainnya hanya menatap sambil memeluk sebuah gitar akustik yang tampak usang.
"Sedang apa di sini?"
Kinara menoleh kemudian menggeleng.
"Ayah ingin kamu memilih kamarmu. Ayo kita ke dalam." ucap Ganendra sambil menggandeng tangan adiknya.
Kinara mengangguk dan mengikuti langkah Ganendra. Sebelum masuk ke dalam pintu, Kinara kembali menoleh ke dua pemuda di seberang rumahnya. Keduanya sudah saling mengobrol dengan sayup-sayup terdengar suara petikan gitar.
Rumah yang kini mereka tempati tipe rumah minimalis dengan tiga kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, ruang tamu yang merangkap ruang keluarga, halaman belakang yang minimalis dan teras serta garasi mobil yang terbuka. Kinara berkeliling sebentar sambil mempertimbangkan pilihannya. Satu kamar berada di depan, bersampingan dengan ruang tamu dengan jendela menghadap ke teras depan. Satu kamar di tengah ruangan tanpa jendela dan satu lagi di belakang dekat dapur dengan jendela menghadap halaman belakang. Rumah mereka menghadap barat dan Kinara selalu suka melihat matahari tenggelam. Jadilah pilihannya jatuh pada kamar depan dengan jendela yang menghadap teras depan.
"Aku pilih yang ini saja, Kak."
Ganendra tersenyum dan mengelus kepala Kinara penuh sayang. "Kamu boleh merapikan kamarmu dahulu sebelum kita makan malam nanti."
"Giliran siapa yang memasak hari ini?" tanya Kinara.
"Hari ini kita akan makan di luar. Tidak ada yang sanggup memasak hari ini setelah perjalanan panjang dan merapikan rumah."
"Baiklah. Tapi, boleh aku yang memilih restorannya?"
"Tentu saja." Ganendra tersenyum. "Jam tujuh kita berangkat, ya."
Kinara mengangguk.
*
Sejak siang itu, Pangestu sering bertemu dengan gadis yang selalu menundukan wajah ketika bertemu dengannya. Seringnya mereka berpapasan saat Pangestu pulang sekolah dan gadis itu sedang mengambil makanan pesan antar. Dia akan buru-buru masuk ke dalam rumah setelah menerima makanannya seperti tidak ingin siapa pun melihatnya keluar rumah. Rumahnya pun sangat sepi. Pangestu tidak pernah melihat siapa pun yang lalu lalang masuk ke dalam rumah selain gadis itu, seorang paruh baya dan lelaki dewasa. Sepertinya hanya mereka bertiga saja yang ada di sana.
Seperti siang ini.
Pangestu tengah berjalan kaki bersama dengan Timur dari halte bus menuju rumah. Dari kejauhan dia melihat gadis itu keluar rumah dengan kaus lengan panjang berwarna merah muda dan celana tidur berwarna abu-abu pupus sedang menghampiri ojek online yang mengantarkan makanan. Samar, gadis itu mengembangkan senyum. Namun, saat mendapati Pangestu dan Timur sedang berjalan ke arahnya—yang mana sebenarnya ke arah rumah Pangestu yang berada di depan rumahnya, gadis itu buru-buru menghapus senyum di wajahnya dan menundukkan wajah lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Kening Pangestu mengernyit. Ada yang aneh dengan gadis itu. Seperti alergi dengan manusia lain.
Pangestu dan Timur menyebrang jalan dan memasuki halaman rumahnya. Sebelum mendorong pintu depan rumahnya, Pangestu kembali menoleh ke rumah minimalis depannya. Dia melihat sepasang mata tengah mengintip dari balik tirai berwarna putih yang kemudian buru-buru ditutup. Dia semakin penasaran dengan gadis itu.
"Assalamualaikum! Ibu, Pange pulang!" Pangestu berteriak saat memasuki rumah.
"Waalaikumsalam. Ibu di dapur, Nak."
Kedua remaja lelaki itu menghampiri wanita paruh yang mengenakan kebaya dan rambutnya disanggul sederhana. Pangestu mencium tangan wanita itu, diikuti oleh Timur.
"Ibu nggak ke sanggar?" tanya Pangestu.
"Sehabis masak Ibu ke sana. Kamu mau ikut?"
"Malas. Pementasan Ibu kan masih lama. Nanti saja kalau sudah persiapan baru Pange ke sana."
Wanita itu tertawa pelan. "Ya, sudah. Ganti baju dulu sana. Sebentar lagi makanannya selesai. Kaus Timur ada di ruang gosok, ya. Baru selesai Ibu setrika."
"Iya, Bu. Kami naik dulu, ya."
Pangestu dan Timur menaiki tangga dari kayu. Di ujung tanggal ada ruang tanpa sekat berisikan sebuah sofa panjang dan televisi. Di sisi kanannya ada dua kamar. Kamar Pangestu berada di paling kanan dekat tangga.
Ruang persegi berwarna dasar putih gading dengan beberapa poster band dalam negeri. Kasur lantai lusuh dekat jendela. Pangestu melempar ranselnya sembarang dan berbaring di kasur lantai sambil memeluk gitar dan memetik senarnya lemah. Timur menghampiri meja belajar, menyampirkan tas ransel pada kursinya. Dia mengeluarkan sebuah buku gambar dan alat gambar yang sengaja dia tinggalkan di sini.
"Hari ini, Ayna bikin elo risih lagi?" tanya Timur.
"Nggak."
"Terus kenapa muka elo kayak begitu?"
Pangestu mendengus. Dia bangun dari kasur dan mengintip dari jendelanya ke arah rumah di seberang. "Cewek di depan. Beberapa hari Gue lihat dia ambil makanan cepat saji terus dan rumahnya sepi banget."
"Dia tinggal sendiri?"
"Nggak. Kan pas dia pindah kemaren elo liat ada dua orang lagi."
"Oh iya. Terus kenapa muka elo jadi kayak begitu?"
"Emang elo merasa nggak ada yang aneh dari dia?" Pangestu mengernyit.
Timur menggeleng pelan. Disahut dengusan oleh Pangestu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disonansi - Senandung Pilu Seorang Perayu
Fiksi RemajaSebelumnya, hatiku hanya dipenuhi oleh musik. Sudah tidak ada ruang. Namun, kemudian dia hadir. Gadis pucat dengan wajah yang selalu tertunduk. Sebelumnya, aku tidak pernah khawatir akan apa pun. Rasanya semua baik-baik saja. Namun, kemudian dia had...