Suara gamelan terdengar menggema di ruangan teater. Ibu sedang berdiri di samping panggung sambil memberikan arahan pada sekelompok orang yang tengah menarikan Tarian Bedhaya. Pangestu duduk di kursi penonton dengan kakinya diangkat ke atas sandaran kursi di depannya.
Sepulang sekolah tadi, Pangestu menebeng mobil Timur minta diantarkan ke sanggar tari Ibu di bilangan Cikini. Pementasan tari Ibu sudah hitungan minggu dan ini pementasan kedua pada tahun ini.
"Oke. Kita rehat tiga puluh menit, ya. Sehabis itu, kita lakukan lagi mulai dari awal sebelum menutup latihan kita hari ini, ya." seru Ibu di hadapan sekelompok orang yang berbaris.
"Baik, Buu..." Semuanya membeo, kemudian berhambur membubarkan diri.
Ibu menghampiri Pangestu yang masih duduk santai mengangkat kakinya dan duduk di sampingnya. Dia mengelus kaki Pangestu, mengisyaratkan untuk menurunkan kakinya.
"Tadi di telepon sih bilangnya mau bantu Ibu. Tapi sampai sini kok malah duduk santai di sini." sindir Ibu.
"Anu belum makan siang, Bu. Tidak bisa bekerja kalau lapar."
"Alah. Nanti kalau sudah kenyang alasannya mengantuk, deh."
"Ibu tahu saja."
Mereka berdua tertawa.
"Bu, dulu Ibu ketemu sama Bapak di mana, sih?"
Kening Ibu mengerut mendengar pertanyaan anaknya. "Kenapa tiba-tiba ingin tahu?"
Pipi Pangestu memerah. "Tidak apa-apa. Ingin tahu saja."
Ibu membenarkan posisi duduknya sambil menghela napas. "Ibu dan Bapak dulu ketemu di sebuah perhelatan besar di Jogja. Saat itu, Ibu masih mahasiswi tingkat empat jurusan seni tari dan Bapak sudah menjadi kurator lukisan.
Ibu dan kelompok tari menjadi salah satu penampil di acara tersebut dan Bapak menjadi tamu undangan. Bapak yang melihat keluwesan Ibu di atas panggung, terpesona dan mencari tahu tentang asal-usul mahasiswi cantik itu. Setelah Bapak dapat kontak Ibu, Bapak memberanikan diri untuk mengajak kencan.
Awalnya, Ibu ragu. Karena usia Bapak dan Ibu yang terpaut cukup jauh. Ibu masih di usia dua puluhan awal, sementara Bapak sudah hampir memasuki usia kepala tiga. Namun, melihat kengototan Bapak untuk mengencani Ibu, akhirnya Ibu luluh juga.
"Setelah setahun pacaran, Bapak melamar Ibu dan kami menikah. Sepuluh tahun kemudian, kamu lahir. Anugerah Pangestu." Tutup Ibu.
"Kenapa namaku Anugerah Pangestu? Keduanya punya arti yang sama."
"Perjalanan Ibu dan Bapak untuk mendapatkan kamu itu tidak mudah, Nak. Mangkanya kami memberimu nama Anugerah Pangestu untuk mensyukuri itu."
Ibu menatap anak semata wayangnya. Pangestu memandangi panggung yang kosong jauh di depan. Kemudian Ibu tersenyum lebar.
"Kamu lagi naksir sama cewek, ya?"
"Ha? Kenapa Ibu nebak begitu?"
"Kamu tahu, kamu itu orang yang paling mudah ditebak."
"Apa?" Pangestu menantang Ibu. Padahal dalam hatinya berdebar-debar.
"Kamu itu kalau naksir sama orang, jadi pemikir. Ada saja yang dipertimbangkan di otakmu itu. Terus malah jadi jutek ke orangnya. Mangkanya, jarang ada yang kejadian sampai jadi pacar. Takut duluan habisnya."
Pangestu sudah ingin membantah pernyataan Ibu, namun diurungkan. Karena tidak ada yang bisa dia bantah.
"Jangan banyak ditimbang. Kalau suka, gerak. Nanti diambil orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Disonansi - Senandung Pilu Seorang Perayu
Подростковая литератураSebelumnya, hatiku hanya dipenuhi oleh musik. Sudah tidak ada ruang. Namun, kemudian dia hadir. Gadis pucat dengan wajah yang selalu tertunduk. Sebelumnya, aku tidak pernah khawatir akan apa pun. Rasanya semua baik-baik saja. Namun, kemudian dia had...