Renald, sosoknya yang kerap dipanggil abang dari kedua adiknya itu lantas menahan napas setengah mati. Candaan Hajun di room chat kala itu mengundang amarah dari sang ayah. Salah siapa berbicara sembarangan, apalagi di depan adiknya, Marcello.
“Jun, ayah gak suka ya kamu bercanda seperti itu.” Sang empu cepat menunduk, merutuki tingkah lakunya tadi malam.
Bukan apa-apa sang abang susah payah menahan napas, bahkan hidungnya kembang kempis sebab ia tengah setengah mati menahan tawa melihat ekspresi Hajun yang merengut. Hajun diam, setelahnya ia meminta maaf kepada sang ayah.
“Jangan diulangi. Kamu itu sudah cukup besar, Hajun. Jangan jadi contoh yang jelek buat adik kamu.” Ucapan ayah di setiap kalimat masih penuh dengan penekanan.
Pasalnya, bukan Renald yang mengadu. Justru karena Cello kecil yang masih polos, yang masih butuh bantuan orang dewasa untuk mencerna kata-kata asing yang baru saja terdengar familiar di telinga, mengharuskan bocah itu mengadukan semuanya pada sang ayah. Tentu melihat hal itu, Renald ikut gemas.
Setelah dimarahi, Hajun berjalan gontai tak ada energi. Sontak sang empu menatap iris gelap sang kakak yang nampak berbinar, memancarkan kebahagiaan yang seakan-akan senang melihat dirinya diomeli ayah. Hal tersebut tentu saja mengundang desis kecil dari mulut Hajun.
“Gak usah marah, salah sendiri suka sompral.” Setelahnya, Renald cekikikan geli.
Hajun merotasikan bola matanya, “Rasanya pengen gue blacklist tuh bocah dari kartu keluarga.”
"Izin dulu sama bunda kalo bisa."
"Gue belum cukup amal buat nyusul bunda ke surga, bang. Manaan masih punya hutang jajan bakwan di kantin belum dibayar." Setelahnya Hajun terkekeh. Hal tersebut membuat hati si kakak sulung terenyuh.
"Heh kaya orang ga mampu aja. Kenapa ngehutang?"
"Duitnya dipinjem temen."
"Lain kali bawa bekal dari rumah, jadi kalau duitnya abis ngga kelaperan ngutang di kantin."
"Masakan ayah ngga seenak bunda."
Tak lama kemudian, suara riuh dari arah luar, tepatnya pekarangan rumah membuat atensi keduanya beralih. Hari ini hari minggu, Hajun baru ingat dirinya berpesan pada Cello untuk mengajak teman sang adik untuk datang bermain ke rumah. Beberapa hari yang lalu, sepulang sekolah tampak si bungsu senang bukan main. Ini pertama kalinya lagi bagi Ayah, Bang Ren dan Kak Jun melihat adiknya sepulang sekolah tampak gembira.
"Ayah!! Abang!! Kakak!!"
"Astaga dek, jangan lari-larian nanti jatuh!"
"Lolo punya temen baruuu!"
"Seneng banget ya adek? Libur sekolah nanti ajak dia main ke rumah ya."
Cello akhirnya punya teman sekolah. Tentu saja hal itu mengundang rasa senang dari ayah bersama yang lain. Hajun sudah berniat untuk bermain PS baru yang ayah belikan beberapa hari yang lalu. Dirinya ikut senang, melihat Cello tampak tak murung lagi, apalagi semenjak kepergian bunda yang membuat sinar bahagianya kala itu redup seketika.
“Abang, kakak, kesini deh!!” Suara pekikan Cello yang sudah tak asing di telinga. Lantas keduanya menurut, menghampiri si adik bungsu yang berteriak di depan rumah.
Rupanya, Cello tak sendirian. Melihat kedatangan kedua kakaknya, Jendra melempar senyum sembari manik nya yang menutup setengah bagai bulan sabit.
“Hachimmmm!!” Tubuh Hajun tergoncang, bersin.
Renald menekuk wajahnya, tangannya bergerak memukul pelan lengan sang adik.
“Kalau bersin tutup, Hajun! Jigong nya muncrat ke abang!” Sentaknya dengan ekspresi jijik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamat tidur, anak mama.
Fiksi PenggemarDanaka Jendra berpikir bahwa dirinya hanyalah bagaikan selembar kapas yang menyerap rasa sakit dari jahatnya semesta. Sosok mama sudah lebih dari cukup sebagai plester luka nya, walaupun beracun, Jendra yakin penderitaannya akan hilang saat kembali...