"Tuan, bangun, sarapan sudah siap."
Jihan menggeliat dalam selimutnya saat mendengar suara gaduh dari luar, matanya berkedip beberapa kali untuk mendapatkan kesadarannya. Ia melihat sekitar, lalu tersadar jika sekarang Ia sudah tak berada di rumahnya lagi. "Aku kira cuma mimpi," gumamnya.
Dengan malas pemuda manis itu bangkit dari tidurnya, Ia membuka pintu kamarnya dan melihat bi Inah yang tersenyum manis padanya. "Tuan, sarapan sudah siap. Tadi tuan Chan berpesan agar tuan Jihan tidak melewatkan sarapan," ucap bi Inah dengan sopan.
Pemuda itu tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Dia lagi sarapan?"
Bi Inah menggeleng kecil, "Tuan Chan sudah berangkat kerja 15 menit yang lalu, tadi beliau sempat menunggu tuan Jihan turun, tapi saat saya bilang tuan masih tidur beliau langsung pergi setelah kasih saya pesan tadi."
"Aku cuci muka sama gosok gigi dulu ya, bi. Nanti aku turun," kata Jihan lalu diiyakan oleh bi Inah.
Butuh waktu kurang lebih 15 menit, akhirnya Jihan turun untuk menikmati sarapannya. Kakinya melangkah cukup jauh menuju meja makan karena memang rumah ini begitu luas, pandangannya mengedar ke segala penjuru ruangan yang terlihat begitu megah, namun sepi.
Saat Ia sudah menduduki bangku di meja makan, matanya menatap beberapa menu ringan yang sepertinya sudah menjadi menu sarapan setiap harinya disini. Ada roti panggang, sandwich, dan beberapa roti yang Jihan sendiri tidak tau namanya.
Matanya mengarah ke Bi Inah yang tengah mencuci piring di dapur, "Bi, semua orang pada kemana?"
Bi Inah terlihat menyudahi aktivitas nya lalu berjalan ke arah Jihan, "Maaf tuan, maksudnya gimana ya?"
"Rumah ini terlihat sepi, orang-orang pada kemana?" tanyanya ulang.
Senyum kecil terpatri di bibir bi Inah, "Setiap hari memang begini tuan, rumah tuan Chandra memang selalu sepi. Beliau hanya tinggal sendiri disini, saya begitupun pak Agus hanya datang saat beliau memanggil kita kemari, begitupun para asisten lainnya."
"Jadi bibi nggak setiap hari disini?"
Anggukan singkat bi Inah berikan, "Benar tuan, saya pun kemari sejak kemarin karena tuan Chandra menyuruh saya untuk menemani tuan Jihan, pak Agus juga langsung pulang semalam. Hanya tersisa scurity yang selalu berjaga di gerbang depan."
Jihan mengangguk mengerti, "Tapi bukannya pak Agus supir pribadinya dia, ya?"
Kali ini sebuah gelengan yang bi Inah berikan, "Pak Agus itu supir pribadinya tuan dan nyonya besar, semalam dia kemari karena disuruh beliau. Tuan Chandra lebih suka mengendarai mobilnya sendiri."
Disela makannya Jihan mengangguk lagi, Ia tersenyum kecil pada bi Inah yang dengan sabar menjawab semua pertanyaannya. "Maaf ya bi, aku banyak bertanya."
"Nggak papa, tuan. Itu justru bagus, berarti tuan Jihan ingin tau lebih banyak tentang tuan Chandra," ucapnya sambil tersenyum hangat.
Lagi-lagi anggukan singkat Jihan berikan sebagai tanggapan, tepat setelah itu Ia menyelesaikan makannya. Pemuda itu langsung bangkit dengan piring ditangannya, hal itu membuat bi Inah langsung berlari kecil mencoba mengambil alih piring kotor tersebut, "Kemarikan piring kotornya tuan, biar saya cuci."
Menggeleng kecil, Jihan justru melewati bi Inah begitu saja dan menuju wastafel guna mencuci piring kotornya. "Aku bisa sendiri, bi."
"Duh jangan tuan, nanti saya bisa dimarahin tuan Chandra," ucap Bi Inah mencoba mencegah kegiatan Jihan, namun tetap saja, Jihan itu kepala batu.
"Bibi tenang aja, di rumah dulu Jihan selalu bantu Bunda cuci piring. Lagi pula cuma satu bi, bibi nggak perlu berlebihan kayak gitu."
"Bi Inah, tolong bikinin kopi satu," Chandra masuk begitu saja tanpa menoleh ke arah dapur, Ia bahkan tidak melihat ada siapa saja disana. Pria itu langsung mendudukkan dirinya di meja makan dengan mata yang tak lepas dari ponsel di genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Young Marriage (Chansung)
Roman d'amourJihan tidak pernah menyangka disaat orang-orang seusianya tengah menikmati masa remaja mereka, Ia justru dijodohkan dengan seorang yang usianya cukup jauh dengannya. Bukannya apa, Ia hanya tak habis pikir dengan orang tuanya yang tanpa persetujuan d...