.
[ ame (jpn); hujan ]
.
.
.
Sung Hanbin menyukai dua hal di dunia ini.
.
Hal kedua. Hujan.
.
Cahaya jingga sudah mengintip masuk ke dalam sebuah ruangan perpustakaan tua. Lengang sekali disana, hanya ada seorang pemuda bersurai karamel yang terlihat sangat serius membaca sesuatu.
Pemuda itu, Sung Hanbin, entah sudah berapa lama ia berapa di tempat itu. Arloji di tangan kirinya mengatakan sudah pukul enam kurang lima belas sore, namun pemuda itu tidak mengindahkannya. Terlalu tenggelam dalam kumpulan essay sosiologi yang membosankan itu.
"Hei nak, hari sudah mulai gelap. Aku mau pulang." Bapak tua penjaga perpustakaan itu mulai beranjak dari tempat duduknya, mengisyaratkan kepada Hanbin agar segera meninggalkan tempat tersebut.
"Maaf, Pak. Bisa tidak saya tinggal disini sedikit lebih lama? Bacaan saya tinggal sedikit lagi, dan saya tidak bawa kartu perpustakaan," rayu Hanbin. Bapak tua itu mengurut keningnya, terlihat berpikir.
"Aku lelah, jadi aku tidak bisa menungguimu disini lebih lama. Aku tutup pintunya, kuncinya kuletakkan di meja depan. Nanti kau kunci saat kau pulang, mengerti?" ujar bapak tua itu panjang lebar. Pemuda yang di depan nya mengangguk tanda mengerti.
Tinggallah Hanbin sekarang sendirian di dalam perpustakaan sekolah itu, benar-benar sendirian. Sepi sekali, hanya terdengar suara2 kecil halaman buku yang ia sibak perlahan, dan suara arloji.
Hanbin suka sekali suasana sepi semacam ini. Ia dapat membaca buku-buku yang ia mau tanpa gangguan. Belum lagi ia besok harus mempresentasikan materi sosiologi ini di depan gurunya, hukuman perdebatan panjangnya dengan yang bersangkutan siang tadi.
Perlahan namun pasti, cahaya jingga yang tadi menemaninya hilang, tergantikan gelap dari langit yang semakin mendung. Awan-awan yang sedari tadi tengah mengumpulkan pasukan air, sekarang sudah terlalu kelebihan beban dan akhirnya menumpahkan semua pasukannya kebawah.
Titik-titik air itu jatuh semakin deras, membuat atap diatas Hanbin bising. Buyar sudah konsentrasi belajarnya.
Tapi Hanbin suka hujan, suka sekali. Suasana yang dingin, dan petrikor yang menguar menusuk indra penciumannya. Benar-benar suasana yang sempurna, andai saja essay dan buku-buku sosiologi ini tidak harus menganggunya sekarang.
Masih berkutat dengan buku-buku itu, hujan semakin deras diluar. Baiklah, sekarang ada satu hal yang pemuda manis itu resahkan. Bagaimana caranya ia pulang?
"Disini kau rupanya, Tuan Sung."
Hanbin mengalihkan perhatiannya sejenak dari buku di tangannya, mendapati sepasang netra obsidian tengah menatapnya serius di depan pintu masuk. Sejak kapan orang itu datang? Ia bahkan tidak mendengar suara pintu terbuka.
"Aku membaca buku untuk tugasku besok. Ada apa, Tuan Zhang?"
Pria yang di panggil Tuan Zhang itu lalu masuk kedalam, mendekati Hanbin.
"Sudah berapa lama kau disini? Kau tahu sekarang jam berapa?" tanyanya kemudian. Surai gelapnya terlihat sedikit basah karena hujan.
"Entahlah? Mungkin tiga jam? Sekarang sudah jam enam lewat." Hanbin melirik arlojinya.
"Kau tahu kan diluar sekarang hujan?" Pria di depannya bertanya lagi.
"Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak tahu?" jawab Hanbin santai.
"Lalu bagaimana kau akan pulang, Sung Hanbin yang jenius?" Pria itu berkacak pinggang. Hanbin menyeringai, sepertinya Tuan Zhang ini mengajaknya berdebat.
"Aku bisa menerobos hujan. Lagipula aku suka hujan. Kau tahu itu kan, Tuan Zhang Hao yang bijak?"
Zhang Hao menggeleng. "Tidak. Kalau kau menerobos hujan, kau bisa sakit."
"Lalu, kalau aku sakit kenapa?"
"Sung Hanbin."
"Apa, Zhang Hao?"
"Berhenti berdebat dan ayo pulang."
"Aku belum mau pulang sekarang. Aku belum selesai."
"Kau tahu? Aku tidak suka menunggu."
"Kalau begitu tidak usah menungguku. Mudah, kan?"
Zhang Hao menghela napasnya pelan. "Sung Hanbin-ssi, setelah kupikir-pikir, aku benar-benar tidak suka bekerja sama denganmu."
"Wah, tidak bisa seperti itu, Tuan Zhang. Ralph Linton pernah berkata, kita sebagai masyarakat adalah kelompok manusia yang hidup bekerja sama dalam waktu yang lama dan--"
"Sudah cukup. Aku tidak mau pusing dengan materi sosiologimu yang gila itu."
"Aku juga tidak suka materi geometrikal dan algoritmamu yang gila itu."
Skak. Zhang Hao terdiam, Hanbin tersenyum menang. Sedikit perdebatan ini mengalihkan mereka dari dinginnya suasana hujan diluar sana.
"Ayolah, tidak bisakah kau menuruti apa perkataanku kali ini saja?" Zhang Hao memohon. Hanbin terkikik.
"Hahaha, apa ini? Seorang Zhang Hao yang berharga diri tinggi memohon padaku? Lucu sekali," tawa Hanbin. Zhang Hao menghela napas, lagi.
"Hanbin-ie, ayolah,"
Hanbin tertawa lepas sekali kala Zhang Hao memanggilnya demikian, tawanya menyatu dengan suara bising atap yang terkena hujan. Hanbin tidak menyadari selama mereka berdebat tadi, hujan semakin deras.
"Baiklah. Ayo kita pulang." Hanbin meletakkan buku-buku yang dibacanya tadi ke tempat semula, lalu berjalan kearah pintu, mendahului Zhang Hao.
"Hanbin-ie"
"Ya?"
Saat itu juga Hanbin merasa sebuah tangan meraih bahunya, menahan pergerakannya untuk sesaat. Kemudian Hanbin bisa merasakan sebuah benda dari kain yang menutupi tubuhnya.
"Pakai ini. Diluar dingin," ujar Zhang Hao. Setelah memakaikan mantel itu pada Hanbin, lalu ia mengeluarkan payung lipat dari saku mantelnya sendiri.
Hanbin mengernyit. "Payungnya hanya satu?"
"Memangnya kenapa? Kita bisa berbagi payung, kan?" ujar Zhang Hao kemudian.
"Tentu."
"Ngomong-ngomong, Hanbin,"
"Ya?"
Tangan Zhang Hao meraih mantel Hanbin yang sedari tadi hanya digantungkan tanpa dipakai dengan benar. Membenarkan letaknya, lalu dengan mengancingkannya dengan erat. Hangat menjalari tubuhnya.
"Pakai mantelmu dengan benar. Aku tidak mau melihatmu kedinginan," ujar Zhang Hao, lalu menyelipkan jemari hangatnya pada jemari yang lebih muda. Hanbin tersenyum hangat.
"Terima kasih, Hao-ge."
.
Sung Hanbin menyukai dua hal di dunia ini.
.
Hal kedua, hujan.
Hal pertama, Zhang Hao.
.
.
end.
[twt, ao3, write.as: kouschii]
KAMU SEDANG MEMBACA
daisies [haobin]
Hayran Kurgusebuah kompilasi cerita pendek; zhang hao x sung hanbin. written in bahasa indonesia. [will be updated in random times, enjoy.]