5 | janji makan siang.

1K 257 101
                                    


Saat bel istirahat berbunyi Ringgana melebarkan mata doe-nya, menutup buku, membuang ingus pada lembaran tisu senada memasukkan semua ke tas. Buru-buru menghadap depan lagi untuk memiringkah tubuh demi melihat kolong meja, semangat mengeluarkan kotak bekal buatan pengasuh dan menoleh pada Irgis berhias senyum lebar.

"Irgi—"

Api dalam senyumnya mendadak padam karena Irgiswara telah bangkit dari duduk, merespon anak-anak kelas yang mengajaknya menuju kantin.

Ringgana mengerjap bingung, "Irgis? Irgis mau kemana?"

Pertanyaan itu sontak merenggut perhatian Irgiswara dari siswa lain, menoleh dan menunduk memperhatikannya. Ketika netra mereka bersinggungan Irgis mengulas senyum lembut serta berkata, "Kamu tunggu di sini dulu ya," kemudian membungkuk demi berbisik ke telinga Ringgana, "Aku ikut anak-anak makan di kantin biar mereka gak ngikutin aku buat bareng kamu," ia pun menarik diri, mempertemukan mata mereka dari jarak cukup dekat, "Mau 'kan? Sebentar doang kok."

Tanpa pikiran buruk, begitu polos Gana menganggukkan kepala; "Oke! Aku tunggu ya!"

Irgis hanya mengangguk sekali sebelum mengikuti anak-anak lain.

Saat jarak mulai menjauh hingga menuju pintu kelas, siswi yang semenjak awal selalu ingin memonopolinya menoleh ke belakang; memperhatikan Ringgana lewat tatapan tak senang lalu kembali pada Irgiswara.

"Irgis temenan sama Si ingus?"

Semula Irgis diam mendengarkan anak-anak lelaki yang berusaha mengajaknya bicara soal game, kini melirik, melihat siswi itu sambil berpikir. Tak lama ia mengulas senyum tenang, "Semua yang ada di kelas kan temen?"

Anak perempuan ini mengerutkan kening, "Iya sih. Tapi anak itu ingusnya gak berhenti-berhenti, masa gak dibawa ke dokter sama mamanya? Keluarganya juga pasti jorok deh."

Merespon hal tersebut raut Irgis berubah dengan netra melirik sembarang arah, bibir sedikit terbuka, tertatih saat mengatup bibir lagi dan menatap siswi ini melalui cara yang bingung, "Mungkin ... mamanya gak punya uang?"

Meski demikian suaranya jelas, tanpa gemetar ataupun sayup-sayup, total membuat semua siswa di sekitarnya dapat mendengar.

"Ih, masa dia sekolah di sini gak punya uang cuma buat ke dokter?" siswi itu menyahut heran.

"Ya mungkin aja? Aku juga gak tau," Irgis mengendik bahu kala mengulas senyum lagi, "Tapi aku yakin kok dia ingusan bukan gara-gara keluarganya jorok, pasti ada alesannya, mamaku bilang gak boleh mikir jelek soal temen."

"Iya bener kata Irgis!" anak perempuan lain menyahut. Disetujui anak-anak lain.

Membuat siswi sebelumnya merasa agak bersalah hingga salah seorang siswa bertubuh besar di belakang Irgis menoleh, meneliti Ringgana sebelum menghadap mereka lagi terburu-buru; "Tapi kayanya betul deh mamanya gak punya uang, liat aja tuh dia bawa makan dari rumah."

Selanjutnya dimulai lah bisik-bisik segerombolan anak ini seraya terus melangkah keluar kelas.

"Kasian ya?"

"Iya, pantes ingusnya gak ilang-ilang."

"Kamu mau temenan sama dia? Kasian tau mamanya gak punya uang."

"Enggak ah. Kamu aja. Ayah aku bilang sekolah di sini mahal jadi harus nyari temen yang setara."

"Ayah kamu bilang gitu?"

"Iya."

"Yaudah aku juga."

"Iya aku juga sama."

"Aku juga deh kalo gitu."

Irgiswara RingganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang