part 8

242 22 2
                                    

"eh--ehm," Lita gelagapan. Aroma maskulin itu sejenak membuatnya bingung.

Untuk gadis introvert seperti dirinya yang belum pernah merasakan apa itu jatuh cinta, ini membuatnya heran . Dada yang tiba-tiba bergemuruh kencang dan berdebar-debar, hingga panas yang menjalari wajah, baru ia rasakan.

Lita  dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah jalan dan menyentuh wajahnya yang menghangat.

"Dingin, ya? ini minum dulu, susu jahe hangat, biar kamu ga masuk angin," Zicko melebarkan senyum, dan mengulurkan secangkir susu jahe hangat yang masih mengepulkan asap tipis ke arah Jelita, dan gadis itu menerimanya.

Zicko memutari bangku berbahan besi dengan lapisan cat minyak berwarna putih yang sedang diduduki Lita dan mendaratkan bokongnya tepat di samping Lita, ia lalu memangku sepiring tusukan bakso bakar yang bercampur tusukan tahu dan juga hati ampela yang dari aromanya saja sudah menggugah selera.

"Di cobain, Ta. Bakso bakar di sini terkenal enak. Kamu pasti ketagihan," ujarnya santai, tapi tentu tidak dengan Lita yang sejak tadi mati-matian menyembunyikan debar dalam dadanya.

Angin semilir, di temani jatuhnya rintik-rintik air dari pepohonan rindang yang menaungi mereka, serta pemandangan ibukota dan lalu lalang kendaraan, membuat suasana canggung itu perlahan mencair.

Terkadang, riak-riak tawa menyelingi percakapan mereka hingga membuat rasa nyaman itu timbul begitu saja. Seperti sudah pernah saling mengenal lama.

"Ta, boleh aku bertanya?" Zicko menyandarkan tubuhnya dan menoleh ke arah Lita, gadis itu  mengangguk pelan seraya mengunyah bakso bakar yang sangat terasa aroma rempahnya.

"Ta, kamu ngerasain hal yang sama, ga? kenapa ... aku merasa pernah mengenal dirimu lama dan sering berbincang seperti ini sebelumnya?" Zicko menatap Lita lekat.

Gadis itu bergeming beberapa saat, sebelum bibir alami berwarna merah jambu itu terbuka perlahan.

"Eumh, iya sih, tapi kan kita memang sempat berbicara beberapa kali dan mungkin itu penyebabnya," sahut Lita.

Kali ini malah Zicko yang terdiam. Bukan itu maksud dari perkataannya, tapi malam sepertinya membuat obrolan itu terpaksa harus terhenti saat itu juga.

"Ayo, aku antar pulang, Ta. Sudah larut malam," Zicko beranjak dari duduknya dan membawa piring kosong beserta dua gelas kaca yang juga isinya sudah kandas.

"Tunggu sebentar, ya, aku antar ini dulu,"

Lita merespon dengan anggukan. Gadis itu kembali menatap lurus ke arah seberang jalan, di mana anak-anak pengamen itu sudah pulang.

Tempat yang semula ramai itu mendadak kosong. Mata Lita tiba-tiba memicing. Di balik rimbunan tanaman perdu yang berbaris sebagai saringan udara ibukota, netra coklat Lita menangkap sesosok manusia yang tidak begitu tampak wajahnya sedang menatapnya lekat dengan tangan bersidekap di dada.

Darah Lita berdesir, sosok itu seperti menyunggingkan senyum dengan kepala yang di tutup kain, lebih tepatnya selendang hitam yang melilit di leher jenjangnya.

Brumm!

Suara motor sport yang menderu mengangetkan Lita. Gadis itu terjingkat dan menoleh ke arah Zicko yang sudah berada di atas motornya.

"Ayo Lita, kita pulang," ujarnya.

Lita bangkit dan sebelum ia naik ke atas motor besar itu, ia sempat menoleh ke arah seberang jalan, di mana sosok itu sudah tak lagi terlihat.

Dahinya mengernyit, bingung. Hanya dalam kedipan mata, sosok itu menghilang begitu saja.

Lita kembali merapatkan jaket parasutnya, tubuhnya sedikit menggigil karena udara dingin yang semakin menusuk.

Jin Penunggu Cincin 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang