BAB 20 : USAI DUKA

377 17 0
                                    

Suasana haru menyelimuti kepergian Nenek di TPU Karet Bivak daerah Jakarta pusat. Angkasa masih bersimpuh di hadapan pusara Nenek dengan kacamata hitmanya. Ia sudah lupa bagaimana caranya untuk berhenti menangis, setelah kepergian Nenek tadi pagi, Angkasa tidak berhenti menangis. Saat memandikan jasad Nenek, mengafaninya, mengantarkannya ke liang lahad bahkan mengadzaninya, Angkasa tidak berhenti menangis.

Si Mbok sudah mengingatkan Angkasa untuk tidak menangisi Nenek karena hal itu akan membuat Nenek berat untuk meninggalkan Angkasa. Namun Angkasa seolah tidak memperdulikan ucapan si Mbok, air matanya tetap mengucur deras membasahi wajahnya mengantar kepergian Nenek.

Seperti tadi pagi, setelah Nenek berbaring dengan wajah tenang di tengah rumah, kain kafan sudah menyelimuti badannya dari dingin angin duka. Hidungnya sudah ditutupi dengan kapas. Sungguh, Nenek pergi dengan wajah tenang dan ayu.

Angkasa masih berdiam di kamarnya sendiri, Varend sudah beberapa kali membujuk Angkasa untuk ikut mengaji di depan Nenek, ia ingin Angkasa hadir untuk Nenek. Beberapakali Angkasa menolak ajakan Varend. Bukan karena malas Angkasa tidak ingin mendatangi jenazah Nenek. Rasa sakitnya betapa kuat menahan Angkasa untuk tidak datang menghampiri jenazah Nenek.

“Mas.” Sapa si Mbok yang masuk setelah mengetuk pintu kamar Angkasa yang terbuka. Melihat si Mbok datang, varend lalu beranjak pergi meninggalkan Angkasa. Menepuk pundak anak kuat itu lalu pergi.

“Mbokkkkkkkkkk.” Tangis Angkasa makin pecah kala si Mbok memeluknya. Ia tak kuat menahan rasa sakit yang dideranya. Hatinya pecah berkeping-keping. Benteng pertahanannya hancur mengingat Nenek benar-benar pergi dan takkan kembali lagi untuknya.

“Nenek udah janji mau foto bareng sama Papa Mbok, kita mau ketemu Papa hari ini.” Kata Angkasa terisak.

“Iya Mas.. iya..’’ Si Mbok mengusap rambut Angkasa, membelai anak itu dengan lembut dan penuh kasih sayang. Ia tahu betapa berat ujian cobaan yang telah dilalui Angkasa. Hanya Nenek tempat pulang yang Angkasa miliki, namun sekarang? Rumah itu sudah pergi, rumah itu sudah hilang. Angkasa sudah benar-benar kehilangan rumah untuk pulang.

“Yuk.. kita lihat Nenek dulu, sebelum kita antar Nenek ke rumah barunya.” Ajak si Mbok pada Angkasa.

Angkasa mengangguk dan mengikuti si Mbok yang berjalan duluan turun ke lantai satu. Langkah Angkasa gontai saat melihat jenazah Nenek terbaring disana. Rasanya Angkasa tidak percaya denga napa yang dilihatnya hari ini. Tidak pernah terpikirkan olehnya Nenek akan meninggalkannya secepat ini.

Angkasa bersimpuh di samping jenazah Nenek, matanya kembali penuh dengan bulir air mata yang nyaris tumpah. Namun dengan sigap Angkasa menyeka iar matanya.

“Ayo, boleh kalau mau mencium Nenek, tapi jangan sampai air matan kamu menetes di wajah Nenek ya Mas.” Kata tante Alma yang berada di belakangnya.

Angkasa mengusap wajah Nenek lembut, ia sudah tidak membayangkan betapa jelek dan semerawut wajahnya sekarang, yang pasti hatinya lebih hancur dan pecah beribu keping saat ini.

Angkasa perlahan mendekatkan wajahnya di depan kening jenazah Nenek, dengan hati-hati Angkasa mengecup kening jenazah Nenek lembut. Matanya terpejam menahan agar air mata tidak tumpah disana. Tante Alma dan Varend yang berada di belakangnya ikut meringis, menutup mulut mereka menahan agar suara perih menjerit itu tidak lantas keluar.

Sementara Davira. Dia hanya terdiam di belakang Alma dengan kacamata hitamnya. Melihat Angkasa dengan tenang dari kejauhan seperti tidak terjadi apa-apa.

Apa sebenarnya yang kau cari Davira? Obat seperti apa yang kau inginkan untuk bisa menyembuhkan lukad ari traumamu? Bahkan saat suasana berkabung seperti ini, kau masih bisa bersikap tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Disaat anakmu nyaris gila karena kehilangan rumahnya, kau masih bisa nyaman seolah dunia sedang baik-baik saja.

MENYELAMI ANGKASA [TELAH TERBIT DI LOVRINZ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang