Harmony 1: Murid Baru

78 44 37
                                    

"Aku berangkat dulu!"

'Sial,' kata Dea memaki dalam batin. Bisa-bisanya ia terlambat. Ini memang salahnya, siapa suruh untuk berlatih piano semalaman seperti hantu yang sedang mengusik ketenangan rumah. Padahal Dea sudah diperingatkan, tapi ia tetap saja keras kepala.

Dengan tali sepatu yang belum terikat, gadis itu berlari menuju halte berharap bus kuning itu berhenti sekali lagi. Ia tahu bus itu akan mondar-mandir karena memang itu tugas bus bukan?

Dea duduk seraya mengikat tali sepatu yang berserakan seperti rambut keriting karena berkali-kali terinjak. Kakinya bergetar gugup, iringan doa senantiasa ia ucap dalam hati, semoga saja dirinya tidak terlambat!

'Sial,' katanya lagi. Bus itu tak kunjung datang, gadis itu hanya bisa berlari. Padahal baru beberapa jarak, peluh keringat sudah membasahi dahinya. Sekuat tenaga ia kerahkan dan kurang satu menit bel berbunyi, ia akhirnya sudah duduk di bangku kelas.

"Kali ini kamu beruntung," ucap Dea memberi pujian pada diri sendiri. Bisa gawat jika gadis itu terlambat, mungkin ia akan dipanggil ke kantor lalu mendapat surat peringatan.

"Selamat pagi anak-anak!"

Kelas tiba-tiba saja terasa sunyi. Mereka menjadi serius apabila kedatangan guru itu. Beliau adalah guru yang paling lama mengajar di yayasan ini, bisa dikatakan senioritas beliau cukup tinggi. Tak ada yang dapat mengelak ketika sudah diberikan perintah darinya.

Guru itu tanpa banyak bicara menuliskan beberapa not musik di papan tulis. Tanpa perintah pula, kami langsung menyalin.

Jari jemarinya membetulkan letak kacamatanya seraya berkata, "Beberapa bulan kemudian, kita akan menggelar pertunjukan seni sekaligus pertemuan antara kepala yayasan."

Mata beliau beralih ke kertas berisi kumpulan nama murid di kelas yang tengah ia isi. Sorot matanya begitu tajam, hingga suatu nama murid membuat matanya membulat sempurna.

"Dea Ashana!"

Dea bergumam lirih sambil mengangkat tangan. Entah perasaannya saja atau bagaimana, ekspresi beliau masih sama namun atmosfer yang ditunjukkan terasa menyenangkan. Beliau tersenyum tipis.

"Kamu mengambil alih piano." Ia tidak terkejut tentang hal itu. Dea sudah terbiasa ditunjuk sebagai pianis bahkan yang lain juga memaklumi. Sampai-sampai ia berpikir bila ia tak memiliki bakat ini, apa ia kan dikenal? Apa Dea bisa memiliki prestasi yang sudah ia raih namun dengan bakat yang lain?

Ketukan pintu terdengar dan beliau mempersilakan seseorang untuk masuk. Dea terbelalak bukan main saat melihat orang itu. Sebab, murid itu akan selalu familiar untuk orang sepertinya. Dia itu...

"Kita juga kedatangan murid baru."

Dea ingat! Murid itu adalah murid yang bermain piano dan membuat Dea senantiasa menjadi juara dua. Namanya yaitu..

"Silakan perkenalkan dirimu, nak."

Evan...

"Salam kenal, namaku Evan Carlos."

Carlos. Ya, itu namanya. Meski masih remaja sama seperti Dea, ia mahir dalam bermain piano bahkan juga dikenal sebagai pianis muda setelahku. Dea harap ia tak mengingat nama Dea Ashana yang pernah ia kalahkan saat kompetisi itu.

"Sepertinya kita punya dua orang pianis disini." Evan menjelajahi sorot matanya pada semua anak yang sedang menatap ke arahnya. Beliau mengerti lalu meminta Dea untuk angkat tangan, lagi.

"Dea Ashana, itu anaknya."

Astaga. Guru, anda benar-benar tahu cara mempersulit seorang murid! Gerutu Dea di dalam hati. Ia pun terpaksa mengiyakan dan berdiri memperkenalkan diri.

"Salam kenal, Dea Ashana," ucapnya menundukkan tatapan. Menurut peraturan yayasan, ketika memperkenalkan diri sambil menatap pada lawan jenis itu dianggap tidak sopan. Yayasan ini dibangun dengan berpegang teguh sopan santun dan kedisiplinan tinggi. Banyak nama siswa dicoret dari daftar kelulusan seleksi hanya karena lalai dalam aturan.

Evan Carlos, Perempuan itu dengar kalau lelaki itu tak perlu mendaftar masuk, cukup dengan bakat pianisnya saja. Yayasan mana coba yang akan menolak murid berbakat ini?

Evan mengangguk paham dan mengisi bangku kosong yang ternyata tepat di samping Dea. Jantung gadis itu seketika berdegup hebat dan sepertinya akan meledak jika saja ia tidak bisa mengendalikannya. Setelahnya, Dea meraih pulpen melanjutkan menulis catatan.

Bel istirahat berbunyi. Kelas selesai penuh damai. Gadis pianis itu menghela napas berat, kini kelas menjadi ricuh karena dia, Evan Carlos. Dea berdiri lalu hendak lekas pergi meninggalkan mereka. Tetapi sayangnya segenggam jari menyentuh pergelangan tangan Dea yang membuat langkah kakinya terhenti.

"Tunggu."

Dea menoleh terkejut. Orang itu bukan lain Evan Carlos?!

"Ada hal yang harus kita bicarakan."

Our Harmony (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang