Sore itu, angin berhembus pelan membelai lembut rambut gadis yang ditemani suara burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Dengan langkah bersemangat, Martha berjalan menuju pintu gerbang sekolah yang sedari tadi pagi ia harap sudah angkat kaki dari tempat ini.
Dia yang terlalu menggebu-gebu kegirangan terkejut saat pundaknya ditepuk oleh seseorang dari belakang. Martha menoleh patah-patah melirik siapa dia. Matanya membulat kala Evan yang menepuk gadis itu.
"Martha!"
Sungguh dia memanggil nama Martha setelah sekian lama. Dia juga tampak terengah-engah sambil memegangi dadanya. Jantung Martha berdetak cepat saat Evan menyentuh kulitnya yang berkeringat. Terlebih dia berdiri tepat di sampingnya.
Martha mematung layaknya pahatan tatkala dia membawa seorang gadis yang tentunya dia kenal. Gadis itu yang melahap roti pemberiannya. Yah, dia tahu tak pantas untuk berharap banyak. Namun, entahlah mengapa hatinya tetap berharap dengannya.
"Jadi ini temanku," ucap Evan dengan menyentuh tangan gadis itu pula. Mereka berdua hanya diam saling menatap. Terjadi keheningan yang cukup lama diantara mereka seolah waktu berhenti berputar seluruh manusia kehilangan kesadarannya kecuali kami bertiga.
"Salam kenal, Dea." Gadis itu mengucapkan nama yang jelas sudah kuketahui sedari awal serta mengajak Martha berjabat tangan. "Martha," jawabnya singkat membalas jabat tangan Dea.
Kemudian, tanpa rencana mereka pulang bersama dan kebetulan jalan mereka searah. Hari itu langit bercatkan sinar orange dari matahari yang akan segera tertidur lelap tergantikan oleh sang bulan yang terkadang mengerjakan kewajibannya.
Lalu kau tahu apa yang paling menjadi canggung saat itu? Martha berjalan berdua hanya dengan Dea sementara Evan berada jauh di belakang mereka. Lebih parahnya, selama perjalanan itu mereka tak berinteraksi sedikitpun. Rasanya Martha ingin berlari menuju tempat dimana dia takkan bertemu dengan mereka lagi selamanya!
"Rumahku sudah dekat, aku pulang dahulu."
'Akhirnya tempat naungan yang paling aman! Aku datang padamu, sayang.' Martha merogoh kantong rok mencari-cari kunci rumah. Segera setelah dia dapatkan, gadis itu segera membuka pintu dan menghilang tanpa mengatakan sepatah katapun pada mereka.
Dari jendela, dia bisa melihat bahwa sedari tadi Martha hanyalah benalu bagi hubungan mereka. Gadis itu tak punya tempat untuk berada di sisi mereka. Lihatlah, Dea yang dikenal kaku dan tak banyak senyum itu seketika senyumnya merekah hanya untuk Evan.
Mereka juga banyak bercanda ria layaknya pasangan kekasih yang baru jadian saja. Hati Martha bak tengah ditusuk oleh ribuan panah yang jatuh dari langit dan itu ditujukan kepadanya. Ya, hanya untuk dirinya seorang.
Hujan panah itu seakan mengirimkan pesan bahwa Martha sudah tak ada lagi kesempatan. Jika dia tetap memaksa untuk mengejarnya, hujan panah itu akan terus dia dapatkan selagi masih memiliki secuil harapan padanya.
Gadis itu tahu berharap pada manusia hanyalah hal bodoh yang sering orang-orang lakukan saat jatuh cinta. Tapi gadis itu senantiasa melakukannya, walau itu berarti dia sama saja dengan orang-orang bodoh itu. Martha menelan air ludahnya sendiri. Ia tersenyum miris.
Kini rasakan akibatnya, Martha.
Ternyata jatuh cinta membuat kita kehilangan akal ya? Buktinya otak tergeletak tak berguna karena perasaan kita jauh lebih berkuasa.
Setelah melihat roti pemberiannya diberikan pada Dea, Martha sudah bersumpah untuk melepaskannya. Namun semua itu hanyalah omongan belaka.
Kau tahu bahwa kau mengaku sudah tak lagi mencintainya di saat orang itu tidak ada di hadapanmu, akan tetapi itu akan berbanding terbalik saat orang itu muncul. Kau akan merasakan kembali debaran jantung yang kau katakan sudah tak ada untuknya.
Sangat jelas gadis itu berbohong pada dirinya sendiri dan orang lain. Bukan, bukan begitu. Hanya saja dirinya bak telah menipu seisi dunia. Kini satu dunia seperti sedang menertawakan Martha yang terkikis oleh terbakarnya rasa cinta yang tak terbalaskan olehnya.
"Sungguh bodoh," desisnya. Ia tahu tidak ada orang yang akan mengatakan ini, tetapi dengan perkataan itu, Martha ingin dirinya sadar.
"Ah.. Aku tahu. Evan mengenalkanku padanya hanya sebagai teman. Apa kau dengar tadi, Martha? Teman. Ya, hanya seorang teman."
Martha tertawa meringis tipis. "Kukatakan sekali lagi, hanya t-e-m-a-n. Teman," katanya seraya mengeja kata 'teman' itu. Bibirnya yang tersenyum lebar itu tak lama lagi akan berubah menjadi sebuah tangisan yang benar-benar dia benci saat suatu nanti gadis itu mengingatnya.
Hari itu pula awan menangis deras membasahi alam semesta. Kali ini dunia sedang berpihak padanya. Dengan baik hati, mereka menemani Martha yang tengah menangis tersedu-sedu. Saking derasnya hujan, dia merasa bila dunia ikut bersedih bersamanya sekarang. Perasaan Martha semakin tenggelam dalam kegetiran yang gadis itu rasakan. Dia dibuat terombang-ambing oleh keadaannya sendiri.
"Ayo Martha.. Kumohon lupakanlah Evan, demi kebaikanmu sendiri," ucapku menyemangati. "Tapi.. Aku masih memiliki rasa padanya, Martha," katanya sekali lagi.
Martha memang begitu. Di saat dia bimbang, dua kepribadiannya akan muncul lalu mereka bertarung demi harga diri mereka. Mereka akan memberikan pendapat yang berbeda layaknya orang-orang lain. Mereka ini cenderung sering bertengkar di dalam otak ataupun secara langsung.
"Baiklah, kuputuskan aku ingin secara bertahap melupakan Evan. Aku tahu jelas bahwa aku takkan bisa melampaui Dea."
Faktanya, gadis itu dapat bersaing dengan orang-orang yang mencintainya, namun dia tak dapat bersaing dengan orang yang ada di dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Harmony (The End)
Teen Fiction'Sampaikanlah. Kumohon, tersampaikanlah...' Dea Ashana dengan talenta pianis yang ia miliki berhasil menembus dinding tebal yayasan pendidikan musik yang dikatakan sulit untuk berhasil memenuhi kualifikasi yayasan tersebut. Cukup beberapa lomba, di...