Waktu berjalan cukup cepat. Tak terasa kalau hari ini telah tiba. Sekarang akan ada pertunjukan seni antar sekolah sekaligus menjadi penyambutan atas pertemuan antar yayasan.
Dea telah mempersiapkan dirinya. Ia harap lelaki itu akan melihatnya, kemudian terkagum, dan kembali memiliki keinginan untuk bermain kembali. Benar-benar sulit untuk membujuk pria itu bermain, tapi mungkin hanya ini yang bisa gadis itu lakukan. Hanya berharap kalau pesanku tersampaikan melalui musik.
Meski ia benci akan kekalahan, ia ingin lelaki itu kembali menjadi rival pianisnya.
"Dea, apa kau sudah siap? Sebentar lagi giliranmu," ujar guru yang menjadi pembimbing musik Dea.
Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya. Yah... walau aku agak gugup, tapi aku sudah siap!"
"Kalau begitu, bersiap-siaplah di belakang panggung."
"Baiklah."
Segera ia langkahkan kakinya. Musik not piano yang dimainkan anak dari sekolah lain terdengar seiring dengan langkah kaki. Ah, musik Moonlight Sonata milik bethouven, ya? Dea cukup menyukai alunan musik satu ini.
Sesampainya di balik panggung, Dea melihat orang-orang tengah sibuk sendiri dengan musik yang akan dimainkan. Ada yang mendengar musik menggunakan earphone, ada yang menggerakkan tangannya seperti bermain, dan ada juga yang menyandungkan nada-nada musik.
Nampaknya tak ada yang berniat mengajak gadis itu berbicara. Biasanya ini dilakukan guna menghilangkan rasa gugup mereka. Namun itu berarti kabar baik bagi Dea. Yosh, kalau begitu ia akan ikut menghapalkan not piano sembari bermain game.
Ya, awalnya ia benar-benar duduk tenang seraya menghapalkan not musik, tapi sebuah tepukan mengacaukan konsentrasinya. Ah, menyebalkan. Siapa yang mengganggunya kali ini?
Seorang remaja lelaki menyunggingkan senyum pada gadis itu. Ia menatap pakaian lelaki itu. Kelas lXC. Lalu di name tagnya tertulis "Griffin Ivander". Oh? ternyata masih anak SMP. Tapi kenapa rasa nyalinya setinggi ini?
"Hai, namaku Griffin Ivander. Dari Smp Bina Nusantara. Panggil saja Griffin. Aku baru belajar piano. Walau permainan pianoku mungkin buruk, tapi kuharap kita bisa berteman baik," ujarnya riang.
Griffin Ivander
Ah, berteman ya? Gadis itu tidak pernah dan tidak ingin memikirkannya di sekolah barunya ini. Memangnya... memiliki teman itu menyenangkan? Namun dalam lubuk hatinya, ia ingin mencobanya.
"Oh, namaku-"
"Ashana Dea, kan? Eh, bukan. Maksudku Dea Ashana. Hehehe, maaf. Aku terkadang selalu terbalik dengan namamu," timpalnya sambil menyengir.
Gadis itu cengo mendengarnya. Mulutnya sampai membentuk huruf 'O' besar. "Bagaimana kau tahu namaku?"
"Karena kau idolaku?"
"Hah?"
"Alasanku untuk bermain piano adalah untuk bertemu denganmu! Sebenarnya... Aku telah lama melihatmu bermain di panggung. Kau selalu saja menjadi juara dua. Seperti langganan saja. Walau kau terus mendapatkan juara dua, kau tetap berusaha keras mendapatkan nomor pertama. Apa aku salah?" jelas pria itu tak kalah riang dari yang tadi.
Gadis itu tersentak dengan perkataan Griffin. Dengan kepribadiannya yang seperti ini, ada yang mau mengidolakannya? Ia tak percaya. Ia kira Dea begitu lemah dan tak berdaya. Walau ia berusaha keras pun, usahanya selalu saja gagal. Selalu saja begitu.
Dasar pecundang...
Ah, hidup ini memang tidak adil.
"Bagaimana pun, hidup ini memang tidak sempurna. Terkadang kita menganggap kalau dunia ini memang tak adil, tapi... apa yang bisa kau harapkan dari dunia ini? Cobalah untuk bersenang-senang. Hidup itu hanya sementara. Coba kerahkan usahamu dengan segenap hati dan bergembiralah. Suatu hari, kau pasti akan bahagia dengan hasil yang kau dapat." Dea terharu. Griffin mengucapkan hal yang terdengar hebat buat Dea. Bahkan ucapannya seperti tanpa sadar telah menjawab gerutuan gadis itu di dalam hati.
"Terima kasih, Griffin..." Dea lukiskan senyuman yang tulus untuknya. Sejenak dia terlihat bingung setelah melihat senyuman gadis itu. Dea menelengkan kepalanya bingung. Memang ada yang salah dengan senyumannya?
"Aaaaa... Aku dapat senyuman dari idolaku! Cantik banget! Kya!" Remaja lelaki itu melompat-lompat kegirangan tanpa rasa malu. Gadis itu mengernyitkan wajah aneh. Astaga. Ia kira Griffin normal, tapi sepertinya tidak.
"Eh?"
Selang beberapa waktu, ia memberikan teleponnya ke arah Dea. Gadis itu memiringkan kepala bingung. Ada apa? Apa Griffin mau memberikan gadis itu telepon untuk ia jual?
"Minta nomor telepon dong. Mungkin kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti. Aku juga butuh teman mengobrol kalau malam-malam." Dea terdiam. Ia menghela napas panjang setelahnya. Yah... Dea kira Griffin akan memintanya untuk menjual telepon itu.
083*********
Setelah selesai mengetikkan digit-digit nomor itu, gadis itu langsung memberikan benda pipih ini tanpa berkata-kata ke Griffin. Ia kembali melompat-lompat kegirangan. Lelaki yang satu ini... benar-benar bar-bar!
"Griffin Ivander dari Bina Nusantara." pengumuman itu menjelaskan kalau waktu kami mengobrol sudah habis.
"Aku duluan ya, bye!"
"Ya."
Punggung pria itu menjauh, semakin menjauh, hingga tak nampak lagi di depan mata Dea. Pria itu berjalan ke depan panggung. Setelah aba-aba itu dilontarkan, ia segera memainkan nada-nada musik yang terdengar indah.
Chopin, Fantaisie impromptu op 66. Nada-nada piano yang membuat pendengarnya seperti terjebak di dalam imajinasi musik pemainnya. Kalau dilihat sekilas, orang-orang takkan tahu kalau dia sebenarnya adalah pemain pemula yang baru saja belajar. Walau ada beberapa kesalahan, tapi lelaki itu tampak sangat santai bermain.
Walaupun begitu, Dea cukup menyukainya. Menurutnya, Griffin hebat karena bisa memainkan lagu-lagu yang sulit seperti itu padahal ia baru belajar memainkannya.
"Dea Ashana." Tepat ketika namanya dipanggil, ia menatap sekeliling sampai menemukan seorang pria yang menatapnya. Lelaki itu melanjutkan, "Setelah lelaki itu selesai bermain, kau langsung masuk ke tengah panggung ya..." pinta seorang lelaki jangkung dengan topi biru navy yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin, dia yang menjadi project officer sepertinya.
Ah, ternyata Dea akan bermain setelah Griffin. Ia anggukkan kepalanya, tanda mengiyakan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Griffin mengangkat tangannya. Kedua tangan yang sedari tadi digerakkan ke sana-kemari telah berhenti memainkan piano. Ini merupakan tanda kalau ia harus bermain sebentar lagi.
Hei, Evan. Aku harap kau melihatku memainkan musik piano ini untukmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Harmony (The End)
Teen Fiction'Sampaikanlah. Kumohon, tersampaikanlah...' Dea Ashana dengan talenta pianis yang ia miliki berhasil menembus dinding tebal yayasan pendidikan musik yang dikatakan sulit untuk berhasil memenuhi kualifikasi yayasan tersebut. Cukup beberapa lomba, di...