Harmony 21: Harmony Milik Kami

26 21 3
                                    

Setelah pria paruh baya itu pergi, Dea jatuh terduduk. Tubuhnya lemas. Kakinya seolah tak ada kuasa untuk berdiri. Evan... punya trauma? Kenapa lelaki itu tak pernah memberitahunya?

Evan selalu berusaha memahami gadis itu. Meski lelaki itu harus terluka, tetapi dia dengan ringan tangan tetap memahami Dea bahkan lebih baik dari Dea sendiri.

Kenapa? Apa gadis itu belum pantas bagi Evan? Sebagai seorang teman dekat, harusnya mereka bisa saling berbagi cerita masing-masing kan?

"Dea..." desis Martha dan Griffin.

"Aku ingin tetap di sampingmu sedikit lama lagi, ah tidak. Maksudku untuk selamanya,"

Apa Evan akan melanggar perkataanya sendiri? Kalau lelaki itu ingin bersama Dea untuk selamanya, harusnya lelaki itu takkan meninggalkannya. Padahal Dea sudah memberikan rumahnya untuk tempat menginap sementara. Tetapi ketika perlombaan tiba, lelaki itu malah tak datang.

Dasar tukang bohong...

Kemunculan Evan memberikan banyak sekali dampak di dalam hidupnya. Hidup gadis itu tak lagi monoton. Dunia jadi lebih berwarna dan bermakna dengan adanya lelaki itu. Musik kedamaian terus saja ditabuh ketika bersama Evan. Begitu nyaman dan damai. Ia tak ingin melepaskan Evan begitu saja.

Setidaknya setelah perlombaan ini. Setelah ini, ia akan merelakan rival pianisnya untuk selama-lamanya. Ia takkan memaksa Evan bertemu dengan musik lagi.

Evan membuatnya mengetahui banyak hal. Perasaan ketika jantung berdebar kencang. Perut yang terasa menggelitik ketika mendapat perlakuan hangat lelaki itu. Dan terakhir adalah ketika pipinya bersemu merah ketika lelaki itu melakukan hal-hal manis padanya.

Ia mungkin belum mengerti benar mengenai perasaan ini, tapi sedikit yang ia tahu bahwa tanda-tanda ini adalah gejala seseorang yang tengah jatuh cinta. Dea mengalaminya dan mungkin ini adalah kenyataan yang harus dialami gadis itu.

"Peserta nomor 23, Dea Ashana..."

"Baik!"

Perasaan jatuh cinta seperti yang dialami oleh Dewi Harmony. Tak ia sangka kalau ia akan mengalami nasib yang mirip. Dimana ia mengharapkan cintanya itu mendatangi gadis itu untuk menyelamatkannya. Namun semakin dalam ia berharap, semakin sakit pula hatinya.

"Kenapa gadis itu sendirian?"

"Kemana partner gadis itu?"

"Apa mereka berdua tengah bertengkar hebat?"

"Bukankah ini buruk untuknya?"

Semua orang terus saja mencibir Dea. Kebanyakan dari mereka mengatakan  hal-hal buruk mengenai Dea. Dengan susah payah, gadis itu tersenyum. Ia menghela napas panjang dan berat.

Para juri telah siap dengan kertas diskualifikasinya. Namun mereka tetap saja ingin menonton pertunjukkan gadis itu. Rasanya Dea ingin menangis sejadi-jadinya. Pertama kalinya dalam hidup Dea, ia mengalami tekanan seberat ini.

Gadis itu kembali menghela napas. Tenang, Dea... tenang... meski tak ada Evan di sini, tapi jangan pernah mengecewakan dirinya. Kamu kuat. Kamu pasti bisa!

Tangannya mulai menari-nari di atas piano. Nada, tempo, semuanya telah ia hitungkan. Otaknya dipaksa mengingat semua perkataan Evan ketika latihan mereka.

Ia pasti bisa.

Ia harus bisa menaklukannya.

Prelude and Fugue in C minor, BMV 847 (Bach, Johann Sebastian). Pasti akan Dea taklukkan!

Dalam pertunjukkan kali ini, gadis itulah yang akan menjadi dalangnya. Dialah yang akan memukau penonton dengan boneka-bonekanya yang berupa harmonika nada-nada tuts piano milikya. Para penonton akan bersorak atau berseru itu tergantung padanya.

Bagaimanapun caranya, ia harus bisa menaklukkannya. Ia harus bisa membanggakan Evan sekaligus idolanya.

"Gadis ini..."

"Nadanya sama tapi entah kenapa terdengar berbeda dari peserta lain."

"Ini unik hanya saja..."

Dea tak peduli apa kata orang tentangnya. Ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan ini dengan baik lalu pulang.

"DEA! SEMANGAT!"

"ANAKKU PASTI BISA!"

"PUTRIKU! IBU MENDUKUNGMU!"

"Kak Dea! Ayo, kakak pasti bisa!"

Selagi ada orang-orang yang mendukungnya, ia harus bisa bertahan. Lupakan soal cinta dan harapan milik Dewi Harmony. Raihlah impianmu yang setinggi langit itu. Jikalau sayapmu patah, kau bisa terus berusaha meski hanya bisa terus berjalan maju. Yang bisa dia lakukan adalah tetap maju. Apapun caranya, ia tak boleh menyerah.

Lantas ia kembali menekan-nekan tuts dengan percaya diri. Nada-nada piano itu terus menari di ruangan itu. Dialah dalangnya. Dialah yang harusnya mengendalikan situasi di pertandingan ini.

Juri-juri mengernyitkan dahi mereka. Tangan mereka menggores-gores pena mereka di kertas yang mereka letakkan di atas meja.

"Perlambatkan temponya, Dea..." Sebuah suara lembut menerpa pendengarannya. Ia menatap seseorang di sebelahnya. Evan Carlos ada di sebelahnya dengan senyuman sendu yang terlihat manis.

Lelaki itu kembali melanjutkan, "Kamu ini kebiasaan. Selalu tiba-tiba mengubah tempo bermainmu."

Kalau saja ini bukanlah lomba, mungkin Dea sudah sedari tadi menonjok wajah orang ini. Namun, gadis itu tentu segera mempersilakan Evan untuk duduk di sebelahnya.

"Ke mana saja?"  tanya Dea.

"Ehm... sedikit mengulang masa lalu?"

Alunan piano milik Bach tetap mengalun lembut di antara sunyinya para penonton. Dengan permainan milik Evan, para penonton bak tersapukan mantra sihir yang kuat. Permainan musik mereka jadi lebih sempurna dari sebelumnya.

Para juri tersenyum bahagia mendengar suara yang akhirnya memenuhi ekspektasi mereka. Sudah saatnya memberikan mereka berdua nilai yang tepat. Maka dari itu, juri akan segera mengambil keputusan.

Dewi Harmony yang baru telah menorehkan ceritanya di buku sejarah. Tak ada salahnya berharap, tetapi harus dengan cara yang baik dan benar agar semuanya akan terasa lebih mudah.

"Yang akan menjadi juara adalah..."

Our Harmony (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang