Sinar yang begitu terang menerangiku secara tiba-tiba. Lampu rumah dinyalakan. Evan jadi terlonjak bangun karenanya. Ayahnya berada di depan. Tatapannya begitu tajam dan menusuk.
"Apa ini, Evan? Bagaimana pianonya bisa di sini?"
"Memangnya kenapa? Aku tidak boleh bermain piano?"
"Ck, seperti ibumu saja. Kurang kerjaan."
"Jangan bawa-bawa ibu. Yang salah aku, kenapa ibu juga ikut disalahkan?"
"Diam. Terus ini kertas apa?" Pria tua itu menunjuk secarik kertas di atas meja. Kertas itu masih dalam kondisi tertutup, sepertinya belum terbaca oleh ayah Evan. Maka dari itu, Evan langsung mengambilnya sebelum diambil ayah.
"Bukan apa-apa. Bukan urusan ayah. Ayah mau dibuatkan apa? Kopi biasa, atau yang lain?"
"Apa begini caramu memperlakukan ayahmu? Merahasiakan sesuatu darinya?"
"Ayah... tapi ini bukan hal yang penting. Jadi ayah tidak perlu tahu!"
Setelah itu, ayahnya menarik Evan masuk kamar dan mengunci lelaki itu dari luar. Ah, sepertinya dia tidak akan mendapatkan jatah makan malam. Dia buka buntelan kertas itu dan membacanya.
Cepat sembuh... Kalau tidak, akan kuajak Griffin saja untuk ikut lomba!
Dea Ashana
Sial, dia memberikan ancaman? Awas saja, Dea Ashana...
××××
Hari masih benar-benar gelap pagi ini. Tak ada cahaya mentari yang menusuk mata. Bunyi kecil alarm masih terdengar di dekat kasur.
04.00
Lelaki itu memutuskan untuk berangkat pagi-pagi sekali. Jendela kamar masih bisa digunakan untuk kabur. Tapi jujur, sangat susah. Apalagi ukurannya terbilang cukup kecil untuk lelaki seukurannya. Tapi syukurlah masih bisa kabur dari sini.
Tas hitam yang ia pakai di punggung. Lengkap dengan buku-buku dan peralatan alat tulis di dalamnya. Hebatnya karena lelaki itu memiliki kamar mandi di kamar, jadi Evan tidak perlu bersusah payah menumpang mandi di tempat Dea.
Ya, dia akan kabur dari rumah.
Dengan tubuh yang cukup ramping, harusnya tak begitu susah untuk keluar dari sini. Iya, harusnya. Kalau ukuran tubuh mungkin memang tidak masalah, tapi cara agar tak menimbulkan banyak suara itu yang paling sulit. Tapi tak mengapa. Karena akhirnya dirinya bisa keluar dari sini tanpa ketahuan.
Lelaki itu tahu kalau ayahku pasti akan memblokir kartu ATM nya sebentar lagi. Apalagi selepas ia mengetahui kepergian putranya tanpa seizin darinya. Pasti ia berpikir kalau putranya tak memiliki uang, maka putranya akan segera pulang. Tapi maaf saja, Evan masih memiliki uang tabungan yang sudah dia kumpulkan dari TK. Harusnya cukup untuk satu bulan.
Kedua kaki itu terus berjalan mencari warung yang sudah buka. Hingga akhirnya dia temukan satu warung yang sudah buka setelah 10 menit berjalan. Evan membeli dua bungkus roti untuk dimakan pagi ini.
Lalu setelah itu, kakinya berjalan menuju rumah Dea. Kaki ini seakan telah hafal dengan letak rumahnya. Tiap kali akan menemuinya, entah mengapa jantung lelaki itu serasa dipompa hebat. Dag dig dug tak karu-karuan.
Apalagi ketika ia mengatakan kata-kata ambigu tanpa ia mengerti. Terlihat lucu! Evan sampai tak bisa menahan wajahnya. Terkadang menjentik ke dahi gadis itu agar ia sebal. Walaupun begitu, ia nampak begitu lucu dengan raut sebalnya. Mungkin menjahili Dea adalah hal terfavoritnya tahun ini.
Dea dengan sifat juteknya. Berbanding terbalik dengan ibunya yang memiliki sifat yang begitu lemah lembut dan penuh kasih sayang. Namun entah mengapa, mereka seakan adalah orang yang sama. Tatapan mereka, atau bahkan kehangatan yang tercipta tiap kali bersama mereka.
Ketika ibunya meninggal, hal itu membuatnya berhenti bermain piano. Bukan, bukan karena Evan membenci piano. Tapi karena dirinya tak bisa lagi fokus ketika bermain piano. Entah mengapa. Lelaki itu benar-benar tak tahu alasannya.
Bohong namanya kalau Evan mengatakan benci pada piano. Lelaki itu begitu menyayangi piano. Karena piano selalu berhasil mengingatkannya pada ibu. Seakan-akan ada ibu yang tersenyum lembut di sana. Hendak mengajak untuk bermain bersama.
Kalau bisa, Evan ingin terus bersama ibu. Hanya saja... segala di dunia ini tak ada yang abadi. Begitu pula ibu.
04.30
Apa Evan datang terlalu pagi? Kalau begitu, apa dirinya perlu membangunkan Dea? Ah, tidak. Sepertinya itu tidak sopan. Atau Evan berangkat ke sekolah saja terlebih dahulu? Dia tinggal bilang ke Dea kalau ada urusan mendadak pagi ini karena itu kali ini tidak bisa berangkat ke sekolah bersama.
Eh, tapi siapa juga yang ingin berangkat bersama Evan? Percaya diri sekali. Dea juga bahkan tidak pernah memintanya. Bahkan terkadang gadis itu terlihat keberatan atau terbebani kalau Evan berangkat bersamanya. Dialah yang selalu ingin berangkat bersama Dea. Dialah yang selalu ingin bersama Dea. Mungkin terdengar egois. Tapi lelaki itu tak ingin Dea menjadi milik orang lain. Evan ingin terus bersama gadis itu tuk selamanya. Itu saja cukup.
Tapi mungkin lelaki itu tak boleh egois kali ini. Untuk kali ini saja... Biarkan gadis itu berangkat sendiri. Evan hanya terus-terusan akan membuat gadis itu kesal.
Maaf, Dea... Tapi memang begitulah aku. Tanpa piano, aku tak berguna. Aku tak bisa apa-apa selain piano. Kalau kemampuan bermain pianoku hilang, maka aku sudah bukanlah manusia yang tak berguna lagi. Aku tak pantas menjadi orang yang pernah mengalahkanmu yang selalu bekerja keras. Pada akhirnya... bakatku menghilang bak tertiup angin.
Dea
Dea
P
Aku ada urusan mendadak pagi-pagi
Sorry yaa
05.00Hari ini sepertinya kamu harus berangkat sendirian
Jangan kangen!
05.01Jangan sedih karena nggak ada aku
Plis jangan kangen!
Duluan ya...
Maaf sekali lagi
Bye!
05.02Hm
Asem banget...
Suara notifnya mengganggu sekali
Mending kau katakan intinya saja!
Mengganggu tidurku tahuu!
05.10Pasti dia sekarang memasang wajah cemberut. Memukul bantalnya lalu menggerutu kesal. Sayang sekali kalau harus melewatkan momen itu.
Tapi ya sudahlah... Untuk kali ini saja. Mulai nanti, mungkin Evan akan sedikit sibuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Harmony (The End)
Jugendliteratur'Sampaikanlah. Kumohon, tersampaikanlah...' Dea Ashana dengan talenta pianis yang ia miliki berhasil menembus dinding tebal yayasan pendidikan musik yang dikatakan sulit untuk berhasil memenuhi kualifikasi yayasan tersebut. Cukup beberapa lomba, di...