"Martha... Mau ke kantin?" Gadis itu menatap orang yang menanyainya. Evan Carlos. Ia terdiam sebentar sampai ia menggelengkan kepalanya. Ia tetap diam sembari membuka buku yang aku tak tahu isinya.
Ketika pulang sekolah, lelaki juga menanyai Martha. "Hei, Martha... Mau pulang bersama kami?" tanya Evan. Gadis itu tersenyum dan menjawab, "Maaf... tapi hari ini aku ada tugas rumah."
Dea menatap Martha aneh. Kata Evan, Martha adalah temannya, tapi mengapa gadis itu seperti tengah menghindar dari Evan?
Keesokan harinya, Dea berusaha memastikan hal itu, "Martha... mau anterin aku ke toko alat tulis, nggak?"
Gadis itu hanya diam. Evan yang tengah berada di sebelah bangku Dea bercelutuk, "Aku bisa mengantarmu!"
Dea menatap Evan dengan tatapan tajam sebelum Martha menjawab, "Maaf... hari ini aku ada ekskul."
Tuh, kan? Gadis itu seperti berusaha menghindari Evan entah ada apa. Ada yang tidak beres. Dea akan coba bertanya padanya.
"Kau bisa membolos, kan?" Martha menggelengkan kepalanya beberapa kali. Matanya agak berkaca-kaca, tak terlalu terlihat karena ia terus menunduk.
Dea akhirnya mengambil keputusan final, "Baiklah, aku akan berbicara dengan Pembimbing Ekskulmu. Guru pembimbingmu siapa?"
"E-eh... Itu... ehm... Bu Ani." jawab Martha terbata-bata.
"Baiklah, nanti aku akan minta izin dengannya." Gadis cantik itu lihat, Martha hanya mengangguk singkat sembari menundukkan kepalanya. Tak ada lagi alasan baginya untuk melawan kemauan Dea.
Dea menatap Evan tajam dan berkata, "Kamu nanti pulang duluan aja. Aku mau sama Martha dulu."
"T-tapi..."
"Nurut atau..." Gadis itu menggerakkan ibu jadinya di leher guna mengancam lelaki itu. Evan menelan ludah dan mengiyakan. Membuat Dea tersenyum tipis.
Gadis itu membelai rambut Evan dengan lembut, "Bagus... Anak pintar..."
"Memangnya anak kecil..." gerutu Evan.
"Nggak sih, tapi kamu bayi besar menyebalkan yang pernah ada di dunia," timpal Dea dengan nada yang terdengar sinis.
Evan memegang dadanya dramatis. "Aduh... ucapanmu ngejleb banget, sih..." Aih, lebay.
Sedangkan Martha, ia hanya terus diam, tak menanggapi apa-apa.
Sepulang sekolah, Martha benar-benar menurut. Gadis itu menunggu Dea di depan pintu kelas sembari memainkan kaki kanannya. Ketika Dea sampai, dia langsung mendongak menatap wajahnya. Hanya saja Dea tetap tak menunjukkan ekspresi kali ini. Hanya raut datar, raut wajah tanpa emosi.
Tangannya Dea pegang dan tanpa basa-basi, dia bawa ke tempat tujuanku. Sebenarnya dia tidak berencana untuk membawanya ke toko alat tulis. Gadis itu hanya ingin membawanya ke rooftop karena tempat itu lumayan sepi. Dengan begini, tidak akan ada yang mendengar pembicaraan mereka.
"D-Dea, kita... bukankah arah ke toko alat tulis di sana?" tanya Martha sembari menunjuk. Gadis itu tak menjawab. Hanya terus melajukan langkah. Namun anehnya Martha tetap sabar mengikutinya.
Lalu, sampailah mereka di rooftop. Angin sepoi-sepoi berembus lembut. Menerbangkan lembut helai-helai rambut mereka.
"Sudah lama aku tidak ke sini." Dea merentangkan tangannya sembari menghirup udara segar. Martha hanya menatap gadis itu bingung.
"Kenapa kau membawaku kesini?" tanya Martha.
"Memang bukan sesuatu yang penting, sih... tapi aku ingin bertanya padamu, kenapa kau seperti tengah menghindari kami?" Tanpa banyak basa-basi, Dea memutuskan untuk langsung bertanya pada Martha. Ia tentu cukup terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba yang gadis itu lontarkan.
Martha tersenyum lembut. Dea sontak terkejut. Dengan senyumannya, Martha jadi tampak berbeda. Gadis itu tak tahu kalau Martha ternyata cukup cantik. Martha dengan perlahan menjawab, "Aku... hanya merasa tidak enak pada kalian."
"Apa maksudmu?"
"A-ah itu... ehm..." Ia tanpa sadar malah memainkan kedua jari telunjuknya sambil melanjutkan, "Apa aku bisa bertanya dulu?"
"Eh, b-boleh sih..."
"Apa hubunganmu dengan Evan?" Dea benar-benar terkejut dengan pertanyaan yang terlontar itu. 'Tidak, kami hanya teman.' Iya... Niatnya Dea ingin menjawab seperti itu dengan lantang, hanya saja... entah kenapa perasaannya jadi berat sekali.
Tiba-tiba saja pipinya Dea terasa panas. Jantung gadis itu juga berdebar kencang. Dia benar-benar bingung. Apa yang tengah terjadi padanya sebenarnya?
Dengan lirih Dea menjawab, "Kami hanya teman. Iya, hanya teman. Kalau kau berpikir kalau kami pacaran, maka itu salah. Aku tak mau berpacaran dengan orang semacam Evan. Tidak, tidak, aku tidak suka dengan orang itu. Tidak akan pernah."
Namun anehnya setelah Dea mengatakan itu, butiran air mata Martha malah menetes. Dea menelengkan kepalanya bingung. 'Kenapa dengan orang itu?' batinnya bingung.
"Begitu ya... Dea sudah suka dengan Evan ternyata..." gumam Martha begitu lirih hingga hampir terdengar oleh Dea.
"A-apa maksudmu?"
Gadis itu tersenyum. Senyumannya tampak lembut sekali seperti bunga kapas. "Ah, tidak ada! Lagipula, aku juga tidak akan menang."
Dea benar-benar tak paham dengan untaian kata yang diucapkan oleh Martha. Penuh dengan kalimat yang tak dia mengerti. Dasar! Lagipula... Dia takkan mau jatuh cinta. Pada orang lain apalagi...
Deg!
Kepada Evan.
Martha mendekap Dea erat. Waktu seakan melambat. Gadis itu tak tahu apa yang terjadi, tapi Dea tahu... kalau Martha tengah menangis. Gadis itu ternyata sangat rapuh.
Walau Dea tak tahu masalah yang menimpa gadis itu, dirinya tetap membalas pelukan hangat Martha. Tak apa. Dea hanya ingin Martha membagikan kesedihannya. Lagipula gadis itu selalu sendirian. Bahkan aku tak pernah melihatnya bergabung dengan orang lain.
Gadis itu kesepian. Martha mungkin selalu menyimpan masalahnya sendiri. Meski hanya sebentar, mungkin Dea bisa menjadi temannya untuk berbagi semua hal. Mungkin bahu Dea bisa menjadi senderannya.
"Menangislah. Tak apa. Asalkan perasaanmu bisa berubah lebih baik, aku akan membiarkanmu menangis." Seketika tangisan gadis itu berubah menjadi keras karena aku. Semoga setelah menumpahkan semua tangismu, perasaanmu akan menjadi lebih baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Harmony (The End)
Teen Fiction'Sampaikanlah. Kumohon, tersampaikanlah...' Dea Ashana dengan talenta pianis yang ia miliki berhasil menembus dinding tebal yayasan pendidikan musik yang dikatakan sulit untuk berhasil memenuhi kualifikasi yayasan tersebut. Cukup beberapa lomba, di...