"Dea Ashana."
Gadis berambut pendek itu menghela napas pendek guna menetralisir rasa gugupnya. Ia angkat kepal tangannya. 'Ayo, Dea pasti bisa!' ujarnya dalam hati. Dengan wajah berseri-seri, gadis itu akhirnya naik ke atas panggung lalu memberi salam pada penonton. Puluhan bahkan ratusan orang berkerumunan menatap Dea. Mereka semua tampak kecil. Seperti lautan semut yang hendak bertransmigrasi. Namun bukan itu yang akhirnya menjadi fojus Dea. Melainkan ia begitu terkejut saat melihat Evan hadir dalam pertunjukan ini.
'Dasar, pembual. berkata tidak akan datang, tapi apa ini?' batin Dea kesal. Ia terdiam sejenak ketika mata mereka bertemu tepat di satu titik. Evan yang menyadari itu langsung memberi senyuman tipis disertai bisikan semangat. Meski dari kejauhan, Dea masih tetap dapat mendengar jelas kalimat Evan.
'Berjuanglah,' Kira-kira begitulah ucapan Evan.
Dea mendudukkan dirinya ke bangku piano di saat para penonton sudah duduk manis. Ia tarik napas dalam-dalam lantas menekan satu per satu tuts piano. Lalu berusaha tuk bermain setenang mungkin sembari menikmati seluruh suasana yang tengah mengguncangnya.
Winter Wind Etude, Chopin op 25 no.11
Tuts piano dengan nada yang berbeda-beda itu menjadi enak didengar setelah dimainkan oleh ahlinya. Seluruh penonton dan nampaknya Evan juga terpukau akan permainanmya hari ini.
Gadis itu benar-benar berharap lelaki itu akan mengucapkan, 'Kamu cukup bermain baik kali ini.'
Hanya saja gadis itu masih agak gugup. Tubuhnya bergetar hebat karena pertunjukkan ini. Tangannya bahkan serasa kaku setelah berpindah tuts berkali-kali.
'Aku yakin kau pasti bisa, Dea.' Sesekali Dea melihat Evan yang berbisik bak hendak menyemangati gadis itu. Dia bahkan mengepalkan kedua tangan layaknya ada api membara di dalamnya.
Pertunjukkan diakhiri dengan sempurna. Tepukan meriah datang dari penonton membuat Dea sumringah dalam hatinya.
"Akhirnya selesai."
"Oh. Evan.. Dia.."
Gadis itu mematung menatap Evan yang tersenyum seraya bertepuk tangan. Tentu saja tepukan itu untuk pertunjukan musik ini.. "Kau sungguh luar biasa, Dea," cicit Evan menatap bangga. Wajah gadis itu tiba-tiba memerah. Perutnya terasa menggelitik mendengarnya. Apa-apaan ini? Hanya dengan kata sederhana seperti itu membuat pipi gadis itu memerah. Walau kikuk, gadis itu membalas senyum Evan.
Setelah tirai panggung ditutup, gadis itu langsung melangkah ke belakang panggung untuk beristirahat. Begitu ia ke belakang panggung, Dea kembali dikejutkan oleh Evan. Ternyata Evan tadi langsung berlari cepat untuk menemui perempuan itu setelah acara tepuk tangan selesai.
Tentu saja gadis itu menggerutu sebal. Apa sih masalah lelaki itu? Kenapa malah mengikuti Dea sampai ke sini? Memangnya akan ada yang mau dengan gadis jutek sepertinya. Apakah tidak ada lelaki lain yang bisa menggantikan orang di depannya ini.
Biasanya orang-orang akan mengejeknya, biasanya orang lain akan mencibirnya karena terlalu cuek. Namun kenapa lelaki ini... tak pernah melakukan seperti yang mereka lakukan?
Evan berbeda, itu saja.
"Evan! Apa yang kau lakukan di sini?" Gadis itu berinisiatif bertanya sembari mendekati Evan. Evan melepas jasnya lalu ia pakaikan pada bahu Dea yang tampak jelas terekspos. Gadis itu tentu saja agak tersentak dengan perlakuan Evan.
"Apakah harus ada alasan untuk bertemu denganmu?" Evan mengambil air mineral dari tas yang Dea bawa. Ia dengan cepat membuka segel botol itu dan meminta gadis itu untuk segera meminumnya. Aneh. Ini benar-benar aneh. Tiba-tiba saja Evan peduli. Tiba-tiba saja lelaki ini pethatian? Kenapa? Ada apa dengan pria menyebalkan satu ini?
Evan duduk dengan menahan ledakan gunung berapi yang ada di atas kepalanya. "Jadi.. Ayo kita duduk dan bicarakan ini." Dea menelan ludahnya. Ia sedikit takut pun duduk menjauh darinya.
"Duduk disini." Evan menarik kursi yang Dea tempati sampai mereka duduk bersampingan. Mata gadis itu membulat melihat tingkah apalagi yang Evan perbuat.
"Apa yang perlu kita bicarakan sampai kau seserius ini?" tanyaku heran. Evan menggeleng membuatku semakin kebingungan.
"Kau memberi nomormu pada bocah itu kan?" Sebentar, gadis itu perlu waktu untuk mengingat kembali siapa bocah itu. Eh, tapi satu pertanyaan muncul di pikiran, bocah yang dimaksud olehnya itu yang mana?
"Tunggu, siapa yang kau sebut bocah itu?"
"Ck, Griffin anak SMP Bina Nusantara itu." Evan menjawab kesal pertanyaan terbilang tak berguna milikku itu. Dia juga menggaruk kepalanya yang padahal tidak gatal sama sekali. Dea ber 'oh' ria tanpa wajah dosa. Lagipula, kenapa coba dia harus merasa kesal?
"Oh Griffin. Itu benar, tapi darimana kau tahu? Oh iya satu hal lagi, jangan panggil dia bocah." Emosi lelaki itu secara berkala semakin meningkat bila memperhatikan reaksi Dea yang mungkin menurutnya kelihatan aneh.
Evan menggendong tas Dea seraya menggandeng tangannya. "Lain kali, jangan sembarangan memberi nomormu pada orang lain," lirih Evan. Gadis itu tentu saja tak terima sembari melepas genggaman. "Memang kenapa? Aku hanya ingin membuat teman, lagi pun kau tidak ada hubungan denganku. Kenapa pula kau mengatur?!" cibir Dea. Langkah kaki mereka juga sama-sama berhenti.
"Maksudku itu, aku tak suka jika kau memberi nomormu pada orang lain," gerutu Evan.
Dea menatap Evan nyalang. Siapa dia hingga gadis itu harus mematuhi perintahnya? Pacar? bukan. Teman dekat bukan. Saudara bukan. Saudara juga bukan. Lelaki itu bukan siapa-siapanya, jadi tak wajib untuk mematuhi permintaannya.
Lelaki itu kemudian menghela napas berat. "Kuberi waktu lima menit menuju parkiran. Jika kau belum datang juga, kuanggap kau tak ingin pulang."
Dea mengepalkan tangan geram. 'Aish, kenapa dia begitu menyebalkan?' batin gadis itu kesal.
Evan bergegas menuju parkiran menggunakan lift. Dengan begitu, ia akan sampai lebih dulu. Gadis itu menatap Evan tak percaya. Kenapa Dea malah ditinggal sendiri? Aish, pria itu benar-benar menyebalkan!
Ia menggelembungkan pipinya kesal. Dea yang merajuk karena ditinggalkan dirinya pun akhirnya memilih untuk turun melewati tangga. Sebetulnya ia sama sekali tak terbiasa memakai sepatu hak tinggi, namun karena ini adalah sebuah perunjukan, makanya Dea terpaksa harus melepas benda tak nyaman ini.
Selang beberapa lama, Evan kembali ke sini. Ia menoleh ke sana-kemari.
Dea mendengus bangga. Apa lelaki itu menyesal karena telah meninggalkanku tadi? Niatnya Evan hendak kembali naik ke atas. Namun belum ada satu anak tangga pun yang terpijak, Dea malah sudah keluar menampakkan diri. Suara pijakan sepatu hak Dea terdengar jelas makanya membuat Evan membatalkan niatnya. Gadis itu menatapnya sebal. Ia tak peduli kalau ia agak terganggu dengan wajah Dea yang sedang tidak ramah. Pokoknya ia kesal padanya!
Lelaki itu melirik ke arah bawah. Ia menatap kaki Dea. Tak pakai alas kaki, sepatunya pun tengah ia pegang. Selang beberapa waktu, Evan meraih sepatu hak tinggi Dea lalu memberikan gadis itu sepasang sandal selop. Gadis itu melongo menatap perbuatan Evan.
Tunggu sebentar! Sejak kapan Evan jadi orang semacam ini?
"Pakai. Dengan begitu kakimu terasa lebih nyaman." Ck! Sebenarnya, ia masih sedikit jengkel pada Evan karena meninggalkan Dea sendirian di sini. Hanya saja... tidak enak jika ia menolak permohonan lelaki itu yang telah peduli terhadapnya. Akhirnya gadis itu mengukir senyumannya
"Terima kasih," pungkasku. Seketika, suasana hati Evan nampak lebih baik. Ia juga membalas senyum Dea. Ah, seketika wajah pria menyebalkan itu berubah menjadi lebih ramah. Ia terlihat... begitu tampan!
"Ayo kita pulang."
"Iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Harmony (The End)
Teen Fiction'Sampaikanlah. Kumohon, tersampaikanlah...' Dea Ashana dengan talenta pianis yang ia miliki berhasil menembus dinding tebal yayasan pendidikan musik yang dikatakan sulit untuk berhasil memenuhi kualifikasi yayasan tersebut. Cukup beberapa lomba, di...