Evan mengantar Dea pulang ke rumah dengan aman, damai, tentram, selamat, nan sehat sentosa. Selama perjalanan memang tak ada perbincangan di antara mereka. Namun hal itu bukanlah masalah. Apalagi dengan diri Dea yang tak terlalu menyukai kebisingan.
"Terima kasih karena telah mengantarku," Ketika Dea hendak melangkah masuk, Evan malah menahan tangannya. Seakan tidak mau gadis itu pergi darinya saja. Lalu, ia menengadahkan tangannya yang memegang hp. Gadis benar-benar dibuat bingung olehnya.
"Aku minta nomormu, dong... Masa iya, kamu mau-mau saja memberikan nomormu dengan bocil itu, tapi tidak mau berbagi nomor denganku?" Evan tersenyum lebar.
"Tapi tadi kamu bilang kalau aku tidak boleh berbagi nomorku dengan sembarang orang. Itu berarti, aku tidak boleh memberikan nomorku dengan mudah padamu, dong?" bantah gadis itu.
Evan tersenyum miring, "Iya. Kau memang benar."
Dea tersenyum senang mendengarnya, jadi...
Evan memotong perbincangan hatinya. "Tapi, aku bukanlah orang yang sembarangan. Kamu bisa mempercayaiku."
"Bagaimana caranya agar aku bisa percaya padamu? Kita tidak memiliki hubungan apapun. Keluarga bukan, saudara juga bukan, apalagi pacar." Gadis itu bersidekap sembari menatap Evan sinis.
Namun kalimat Evan selanjutnya membuat ia menganga. "Kita memang belum memiliki hubungan yang spesial. Tapi... Aku pastikan kalau kita akan memilikinya." Lihat? Lelaki itu mengatakannya dengan ambigu.
Alhasil, Dea terpaksa memberikan lelaki itu nomornya agar dia tidak merengek lagi. Kesal sekali karena ia baru tahu kalau lelaki ini ternyata benar-benar berisik. Membuat Dea muak dengan rengekan sok sedihnya.
×××××
12.00 malam. Langit telah berwarna hitam kelam. Gedung-gedung kota bahkan terlihat indah dan bercahaya. Seorang gadis dengan ikatan pita di rambut masih saja bermain piano.
Moonlight Sonata milik Bethouven tengah mengalun cepat di ruangan itu. Namun gadis itu tak peduli. Ia tetap memainkan nada-nada piano itu dengan tempo yang cepat. Tetap fokus. Tetap fokus pada not balok di kertas partitur!
Gadis itu adalah Dea Ashana. Perempuan yang harus bekerja lebih keras dari orang lain ketika melakukan sesuatu. Ia benar-benar tak tahu mengapa suasana hatiku mendadak buruk seperti ini. Agar gadis itu tak hilang kendali, ia biasanya segera memainkan piano yang diletakkan di kamarnya seperti yang ia lakukan sekarang.
"Loh, Dea? Kok kamu belum tidur? Udah malem loh..." Seseorang membuka pintu kamar gadis itu. Ibu datang sembari mengucek-ngucek matanya. Ah, sepertinya ia terbangun karena bunyi piano yang Dea mainkan.
-> Ibu dari Dea (Amanda Nata)
"I-iya bu... Entah mengapa suasana hatiku sedang buruk hari ini. Makanya aku bermain piano. Apa aku mengganggu tidurmu, ibu?" tanya gadis itu yang langsung dibalas dengan anggukan pendeknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Harmony (The End)
Teen Fiction'Sampaikanlah. Kumohon, tersampaikanlah...' Dea Ashana dengan talenta pianis yang ia miliki berhasil menembus dinding tebal yayasan pendidikan musik yang dikatakan sulit untuk berhasil memenuhi kualifikasi yayasan tersebut. Cukup beberapa lomba, di...