Prolog

1.3K 203 11
                                    

"Ini!"

Aruna yang tengah duduk merenung di tepi kolam renang seketika terkesiap saat sebuah sapu tangan terulur kearahnya.

"Aku nggak nangis kok," gumamnya seraya mengusap air matanya buru-buru.

Tanpa mengindahkan ucapan Aruna, Leon menempatkan dirinya duduk di sebelah gadis kecil itu. Ikut mencelupkan sebagian kakinya kedalam kolam.

"Itu!" tunjuknya kearah wajah Aruna.

"Apa?" Dengan bingung, Aruna meraba kulit wajahnya.

Leon tersenyum lembut. "Air matamu," ucapnya seraya menyeka wajah Aruna dengan sapu tangan yang ia bawa.

Gadis kecil itu menggigit bibirnya menahan malu. "Apakah kini aku terlihat seperti anak cengeng?"

"Sama sekali tidak, kamu adalah anak tertangguh yang pernah ku temui!"

Jawaban Leon sukses menerbitkan senyuman di wajah Aruna yang sebelumnya terlihat muram. Pria yang terpaut usia enam tahun dengannya itu selalu memberinya rasa nyaman. Kedekatan mereka terjalin karena persahabatan orang tua mereka. Sama halnya Aruna yang kehilangan sang mama, Leon pun harus rela kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan yang sama. Dan sejak saat itu, Leon tinggal di rumah Aruna mengingat kini ia hanya hidup sebatang kara. Layaknya seorang kakak, Leon selalu menjaga dan melindungi Aruna. Sikap over protective Leon kepada Aruna semakin menjadi-jadi ketika papa Aruna menikah lagi dan membawa istri baru serta anak tirinya ke rumah. Meski Aruna bukan anak yang lemah dan ia bisa menjaga diri sendiri, tapi Leon mengerti perasaan Aruna. Anak itu pasti terluka melihat sang papa tampak lebih menyayangi dan memperhatikan saudara tirinya di banding anak kandungnya sendiri.

Seperti saat ini misalnya, Papa Aruna tidak berhenti membandingkan nilai-nilai ujian Aruna yang kurang baik dengan Andini yang lulus dengan mendapatkan nilai tertinggi di sekolah.

"Jangan di dengarkan kata-kata papamu! Kamu sudah berusaha keras, nilai-nilaimu sudah jauh lebih baik dari sebelumnya!" Leon merangkul bahu Aruna dan menariknya hingga kepala gadis kecil itu bersandar di bahunya.

"Papa tidak akan berpikir sepertimu! Karena bagi papa, jika Andini saja bisa kenapa aku tidak!" Aruna menghembuskan napas sebelum mencebikkan bibir mungilnya. "Andai saja aku terlahir pintar, Papa pasti tidak akan mengomeliku terus menerus!"

Leon tersenyum getir. "Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus lebih rajin belajar!"

Aruna kembali menghela napasnya. "Entahlah, aku merasa sekeras apapun aku belajar, aku tetap tidak akan bisa sepertimu dan Andini!"

"Kenapa bicara seperti itu?" Leon menggenggam kedua bahu Aruna dan menghadapkan wajah mereka.

"Itu kenyataannya! Aku memang tidak pintar seperti kalian!" sahut Aruna skeptis. "Apalagi kamu juga akan pergi ... siapa nanti yang mau mengajariku sesabar kamu?"

Mendengar ucapan Aruna, wajah Leon semakin murung. "Kamu kan masih bisa meneleponku! Kapanpun kamu membutuhkanku, jangan segan untuk meneleponku, okay?"

Aruna melepaskan genggaman Leon di bahunya dan kembali menghadap kolam. "Tidak! Aku tidak mau mengganggumu, kau kan disana mau belajar!"

"Tapi aku tidak keberatan menjawab panggilanmu, jarak bukan alasan untukku berhenti mengajarimu." Seraya tersenyum, Leon mengusap-usap kepala Aruna.

Aruna lama terdiam, menundukkan wajah hanya untuk menyembunyikan kesedihannya. "Leon ... apa tidak bisa kau kuliah disini saja?" lirihnya dengan suara bergetar menekan tangis.

Untuk sesaat Leon tercenung, permintaan lirih Aruna membuatnya kehilangan kata-kata. Memang, sejak ia mengatakan rencana kepergiannya pada Aruna, anak itu menjadi lebih banyak diam. Namun Aruna sekalipun tidak pernah memintanya untuk membatalkan rencananya itu, baru sekarang Aruna melakukannya. "Apakah aku sudah pernah bilang, jika ini adalah keinginan papaku sebelum meninggal?"

Aruna mengangkat wajahnya untuk menatap Leon, dalam hitungan detik ia langsung memeluk pria itu. "Maaf aku tidak tahu, kalau begitu pergilah dan kejar cita-citamu dan juga Om dan Tante. Maaf jika aku egois dengan memintamu tetap tinggal disini," gumamnya sambil sesekali menyeka air mata yang mulai muncul di kedua netranya.

"Tidak apa-apa, aku mengerti." Leon balas memeluk Aruna. Sebenarnya ia pun berat meninggalkan anak itu, tapi ia melakukan ini demi menuruti permintaan papanya yang ingin ia meneruskan pendidikan di luar negeri. Lagipula ia pergi bukan untuk selamanya.

"Aku janji, aku akan sering pulang mengunjungimu," janjinya sambil mengetatkan pelukannya ke tubuh gadis kecil itu.

Tbc

Prolognya segini aja ya...

Sampai jumpa di bab selanjutnya...

Love
Neayoz 😘

Aruna (Terjerat Cinta Dan Benci)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang