4: Tanda Kutip

135 34 3
                                    


Mobil sedan itu tak bisa melaju dengan cepat. Lalu lintas di depan mereka terhambat oleh genangan air yang memenuhi berbagai ruas jalan. Sementara itu, pembaca berita di radio malah sibuk mengabarkan berita tentang seorang politisi yang tertangkap basah melakukan suap. Tak ada yang menyangka bahwa kasus itu akan menimpanya, sebab selama ini ia dikenal sebagai sosok yang religius. Mungkin semua orang memang menyimpan rahasia gelap di dalam dirinya, pikir Alma.

"Kita mau ke mana, Om?" tanya Alma, berusaha tak mendengarkan radio. Ia sudah muak dengan berita politik. Toh, ia tak merasa bisa berbuat apa-apa terhadap politisi-politisi busuk itu--mereka hidup di dunia yang jauh berbeda dengan dirinya.

"Ke vila pribadi di Puncak. Oke, kan?" jawab Said.

"Boleh juga tuh," ucap Alma sambil menarik rok mininya ke bawah karena pahanya mulai terasa dingin lagi.

Melihat itu, Said segera mengecilkan AC dan mengambil jaket yang tergantung di kursi mobilnya. Dilemparkannya jaket itu untuk menutupi kaki Alma, kemudian ia menyarankan Alma untuk segera meminum kopinya sebelum dingin.

Sebenarnya Alma lebih suka kopi hitam, tapi entah kenapa Said malah membelikannya cappuccino. Alma meniup cappuccino-nya perlahan dan membiarkan uap hangat menyentuh wajahnya. Nyaman sekali. Sudah lama ia tak merasa senyaman ini, padahal ia sedang berada di dekat orang asing dalam situasi yang asing.

Ia coba menyeruput cappuccino itu, tapi segera menjauhkan gelas dan mengernyitkan dahinya. Lidahnya melepuh, rasanya perih.

"Udah tahu panas, masih diminum," ledek Said.

"Kirain udah nggak sepanas ini," ucap Alma, lalu menjulurkan lidahnya yang mulai mati rasa. Kalau sudah begini, biasanya lidahnya akan terasa kasar dan kebal hingga seharian penuh. Ia terus mengeluarkan lidahnya dan berharap rasa perih itu bisa hilang kalau terkena udara dingin. Said tertawa melihat tingkahnya, lalu memberikan sebotol air mineral dari bawah kursi. Alma meneguk air itu. Meski tidak mengobati lidahnya, tapi bisa sedikit menenangkan perasaan.

Dalam hatinya, ia sedikit bersyukur, setidaknya malam ini tidak semengerikan yang ia bayangkan. Ia masih ingat cerita Nadin, bahwa pelanggan pertamanya di dunia terlarang ini adalah seorang pria gendut dengan masalah bau badan yang memperlakukannya dengan kasar. Ia bahkan hampir muntah ketika sedang melayani pria itu. Pernah juga, dalam kesempatan lain, Nadin dijebak oleh seorang pelanggan brengsek. Saat Nadin tiba di kamar hotel, tiba-tiba saja ada dua orang pria lain yang ikut masuk ke dalam kamarnya. Tidak terima ingin dipakai secara bergilir, Nadin sampai harus melarikan diri dan kejar-kejaran dengan pria-pria jahanam itu. Itulah pengalaman terakhirnya sebelum ia mendapatkan seorang sugar daddy: seorang pejabat yang memperlakukan Nadin dengan baik dan membiayai hidupnya—sebelum orang itu akhirnya ditangkap KPK.

Alma tidak ingin mendapatkan pengalaman sejauh itu. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia berharap ini adalah pengalaman yang pertama dan terakhir. Bila setelah malam ini ia berhasil mendapatkan uang yang cukup untuk membayar utangnya yang paling mendesak, ia mungkin akan mencoba untuk kembali hidup normal. Mungkin ia akan kembali mencari lowongan SPG atau memenuhi tawaran temannya untuk bergabung dalam MLM.

Sambil menutup botol air mineralnya, Alma melirik ke arah Said. Ia menebak-nebak, bahwa di dalam pikiran pria ini hanya ada kesepian dan rasa rindu kepada istrinya yang sudah tiada. Andai saja kemalangan tidak menimpa hidupnya, ia pastilah tetap menjadi seorang pria yang manis dan setia. Menyadari bahwa pelanggan pertamanya adalah sejenis herbivora yang baru belajar menyantap daging, Alma mulai merasa percaya diri. Seharusnya ia tak perlu canggung, seharusnya ialah yang mengendalikan keadaan.

Alma menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan tubuh Said, meski terhalang oleh perseneling. Perlahan-lahan, ia meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha Said. Tiba-tiba saja tubuh Said agak terkejut, gerakan mobil sedikit goyah, seolah Alma adalah wanita super yang bisa menyalurkan listrik lewat telapak tangannya.

Ia kembali menggerakkan tangannya, kemudian menimbang-nimbang apakah ia harus bergerilya lebih jauh? Apakah itu akan berbahaya bagi keselamatan mereka? Sementara itu, dari sudut matanya, ia dapat melihat wajah Said yang mulai memerah. Ia nyaris terkekeh melihat ekspresi itu.

Alma baru sadar bahwa di dashboard mobil itu terselip sebuah foto seukuran kartu pos. Samar-samar pada foto itu terlihat sosok Said sedang merangkul seorang perempuan dengan latar belakang pemandangan pegunungan dan pohon-pohon tinggi. Mereka mengenakan sweater berwarna hijau yang tampak seragam. Said merangkul perempuan itu, sementara si perempuan tersenyum sambil membuat tanda victory dengan jarinya. Apakah itu Melinda? Perempuan di foto itu memang agak mirip dengan dirinya, meski sepertinya lebih pendek dan mungil.

"Itu ... Melinda?" tanya Alma sambil menarik tangannya.

"Iya," jawab Said.

"Cantik," gumam Alma, diikuti dengan perasaan malu karena seolah sedang memuji dirinya sendiri. "Apa yang bikin Om jatuh cinta sama dia?"

"Baik dan ceria," jawabnya singkat.

"Terlalu abstrak. Coba jawaban yang lebih konkrit!"

Said terdiam sejenak, seolah sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengekspresikan jawabannya.

"Lesung pipinya."

Baginya, kedua lesung pipi itu seperti sepasang tanda kutip. Dalam tulisan, sebuah kata yang diapit oleh tanda kutip biasanya menyimpan makna yang tersembunyi, makna konotatif, kiasan. Begitu pula dengan senyum Melinda. Senyum dalam "tanda kutip" itulah yang membuat Said penasaran sejak pertama kali melihatnya di foto yang terlampir pada surat lamaran kerja.

Satu tahun lebih bekerja sebagai atasan dan bawahan, Said dan Melinda berakhir di pelaminan. Namun, seperti kata Said, kebahagiaan mereka hanyalah sebuah drive-thru. Melinda hanya melintas sesaat dalam kehidupannya, kemudian pergi menghilang ke dalam kegelapan malam.

"Oh, iya. Jadi, saya harus bayar berapa, nih?" tanya Said, memotong ceritanya sendiri dan mengalihkan topik. Jalanan di hadapannya sudah mulai lancar. Ia mengganti gigi dan menginjak pedal gas lebih dalam.

Alma menghela napas kecewa. Sebenarnya ia masih ingin mendengar cerita tentang Melinda, tapi ia terlalu sungkan untuk meminta Said melanjutkan ceritanya. Pertanyaan yang salah bisa membuka kenangan yang salah dan merusak suasana yang sudah mulai mencair ini.

"Tergantung. Om berani bayar berapa? Nanti servisnya disesuaikan," jawab Alma sambil membetulkan posisi duduk.

"Uang bukan masalah," jawab Said, layaknya seorang bos sejati, "yang penting, kamu bisa apa aja?"

Alma menahan napas, lalu menjawab cepat sesuai apa yang terlintas dalam pikirannya. "Yang penting, no anal."

"Selain seks?" tanya Said nyaris berbisik.

Alma terdiam. "Selain seks?" Wajah Alma datar, pikirannya kosong.

"Iya. Bisa, kan?" tanya Said lagi.

"Maksudnya semacam .... nemenin Om ngobrol semalaman suntuk sambil pura-pura jadi Melinda, supaya Om bisa nostalgia? Gitu?"

Said tersenyum, tapi kemudian wajahnya berubah serius. "Nggak. Bukan itu."

"Terus apa?"

"Bantu saya mengubur Melinda."

Jawaban Said membuat Alma bingung. Ia kira, laki-laki ini ingin bernostalgia dan merawat kenangan bersama istrinya, tapi kenapa sekarang ia malah ingin "mengubur"? Alma mengamati wajah Said yang masih fokus mengamati jalan. Dingin dan gelap. Tidak, Said tidak berlesung pipi. Tidak ada "tanda kutip" di wajahnya, tidak ada tanda kutip dalam kata-katanya. Ia benar-benar ingin mengubur istrinya.

Sebelum Alma sempat mengucapkan pertanyaan, tiba-tiba saja terdengar suara hentakan keras dari belakang. Alma dan Said sama-sama menoleh. Dari balik kaca jendela, mereka melihat pintu bagasi mobil terbuka sendiri.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang